"Sudahlah teman, anak seperti itu nanti bakal kena batunya," ujar Wira menenangkan.
Sogol ternyata juga senasib dengan Murti. Pada putaran kedua Sogol harus mengakui keunggulan lawannya. Tetapi nasib baik masih menyertai Ratri. Ia berhasil mengalahkan lawannya yang anak laki-laki. Rupanya karena terlalu meremehkan Ratri, lawannya menjadi lengah, dan itu berhasil dimanfaatkan oleh Ratri.
Widura di putaran kedua berhasil mengalahkan lawannya. Sebuah sikutan dan pukulan mampu mengenai sasaran dengan telak. Sedangkan sebuah sapuan kaki akhirnya menyudahi pertandingan.
Maka hingga saat ini yang masih bisa melanjutkan ke putaran ketiga hanya Widura dan Ratri. Di putaran ketiga, peserta yang tersisa ada 8 anak. Dan sesudah istirahat sejenak, putaran ketiga dimulai.
Ratri mendapat giliran tampil dahulu daripada Widura. Sebelum melangkahkan kakinya ke tengah arena, semua teman mengucapkan berbagai kata dukungan. Sedangkan terlihat lawan Ratri adalah seorang anak laki-laki yang menggunakan pakaian yang sepertinya seragam dari sebuah padepokan silat, karena di suatu sisi pinggir arena terdapat 2 anak dengan seragam yang identik. Dua anak itu ditemani oleh seorang pemuda yang juga mengenakan pakaian yang mirip.
Setelah pertandingan dimulai, ternyata Ratri dan lawannya sama-sama gesit. Namun sepertinya karena Ratri kurang berpengalaman dalam pertarungan, lawannya berhasil mengunggulinya. Walau akhirnya harus mengakui kemenangan sang lawan, Ratri masih bisa memasukkan sebuah serangan telak.
"Saudara semuanya. Karena Nak Ratri berhasil menjadi peserta putri terbaik, maka ia mendapatkan hadiah!" ujar penyelenggara yang berdiri di tengah arena.
Penonton bertepuk tangan menyambut pengumuman tersebut. Ratri yang awalnya kecewa karena kekalahannya barusan, segera menghapus raut masam di wajahnya. Tapi ia masih tidak percaya dengan pendengarannya. Dengan ekspresi keheranan ia memandang ke wajah penyelenggara di sisinya. Namun pria yang dipandangi hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Seorang penyelenggara lainnya memasuki arena sambil membawa bingkisan di tangannya. Setelah menyerahkan sebuah bingkisan, penyelenggara itu menyerahkan sebuah medali yang terbuat dari perunggu kepada Ratri. Setelah bersalaman dan mendapat elusan di kepalanya, Ratri berlari ke pinggir arena menemui teman-temannya.
Ratri dan teman-temannya mengagumi medali itu. Baru kali ini mereka memegang sebuah benda yang terbuat dari campuran logam yang berharga. Medali itu berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran terdapat ukiran dua tangan mengepal yang menyilang. Pada bagian luar lingkaran dipenuhi ukiran tulisan.
Cukup puas menikmati keindahan ukiran di medali, Ratri membuka bingkisan hadiahnya. Ternyata itu sebuah baju untuk berlatih silat. Kainnya terasa lembut dan terdapat hiasan batik di beberapa tempat yang menunjukkan ciri khas buatan Desa Turi Agung.
Sesudah merapikan bingkisan, Ratri baru merasakan sedikit pegal dan linu di anggota gerak tubuhnya. Ia pun menggosok tubuhnya yang terasa tidak nyaman dengan minyak obat pereda nyeri.
Widura mendapat giliran penutup di putaran ketiga. Kali ini ia akan menghadapi anak angkuh yang sebelumnya mengalahkan Murti.
"Kebetulan nih. Kamu bertemu dia di putaran ini. Kalau kamu dapat mengalahkan dia, aku bakalan senang banget," ucap Murti.
"Wah, jantungku jadi berdebar nih. Semoga aku bisa mengalahkan dia. Biar bisa membalaskan kekalahanmu," jawab Widura.
Untuk mengurangi ketegangan, Widura mengambil nafas panjang beberapa kali. Setelah sejenak merenung, Widura ingin melepas pemberat di kakinya. Ia berpikir ingin mempercepat gerakan kaki.
"Murti, aku titip pemberat kakiku. Aku ingin merasakan kecepatan gerak kaki ini bila tanpa beban," ucap Widura sambil menyerahkan pemberat yang baru dia lepas.
Anak angkuh yang mengalahkan Murti di putaran sebelumnya bernama Ponton. Ia adalah seorang murid dari sebuah padepokan silat. Ketika Widura akan memasuki arena, Ponton sudah bersiap menunggu di tengah arena.
Saat dua anak berdiri berhadapan, Ponton memasang wajah merendahkan, sedangkan Widura memasang pandangan datar. Mereka berdiri dengan jarak yang cukup dekat, berkisar dua langkah.
Sekejap setelah wasit meneriakkan aba-aba mulai pertandingan, Widura langsung melesat maju menyodokkan lututnya ke bagian perut Ponton. Karena beban di kaki Widura telah dilepas, gerakannya jadi lebih cepat dari biasanya. Ponton tidak siap menerima terjangan Widura yang sangat cepat dan mendadak. Walhasil sodokan itu mengenai perut Ponton dengan telak.
Ponton mundur beberapa langkah sambil memegangi perutnya sebelum jatuh terduduk. Wajahnya memerah menahan sakit. Wasit mendatanginya dan menanyakan kondisi yang ia rasakan. Pertandingan pun terhenti sejenak. Namun setelah beberapa saat mengambil nafas panjang, Ponton kembali berdiri dan menyatakan kesanggupannya.
Dua anak itupun kembali berhadapan. Tapi ekspresi wajah Ponton tidak lagi seangkuh sebelumnya. Tersirat sedikit ketakutan di tatapan matanya.
Sesudah wasit melontarkan teriakan memulai pertandingan, Widura yang kini lebih percaya diri langsung melancarkan pukulan ke arah wajah. Tapi serangan ini tidak secepat sebelumnya, sehingga Ponton bisa menghindar sambil menangkis.
Tangkisan yang dilakukan Ponton membuat perutnya terbuka tanpa pertahanan. Ini suatu postur yang menggoda Widura untuk kembali melakukan tendangan. Tanpa membuang waktu, Widura meluncurkan tendangan dengan telapak kaki ke bagian tubuh Ponton yang sebelumnya sudah terkena serangan telak itu.
Lagi-lagi serangan itu mengenai Ponton dengan telak. Lagi-lagi ia terjengkang sambil memegangi perutnya. Dan lagi-lagi adegan yang sebelumnya terulang.
Tetapi kali ini pertandingan terhenti agak lama. Ponton rupanya kesulitan berdiri. Wasit lalu memapahnya ke pinggir arena.
Setelah beberapa saat Widura berdiam diri di arena, wasit pun mendatanginya. Akhirnya dengan ucapan lantang wasit mengumumkan bahwa Widura memenangkan pertandingan. Penonton pun bertepuk tangan. Tidak disangka, ternyata peserta yang pada awalnya terlihat angkuh mampu dikalahkan dalam dua kali gebrakan.
Teman-teman tersenyum lebar menyambut Widura yang berjalan mendekat dari tengah arena.
"Tak akuu  sangka, ternyata kamu sendiri yang ngasih pelajaran ke anak angkuh itu. Hahaha!" Wira berkata sambil tertawa kepada Widura.
Yang lainnya jadi ikut tertawa mendengar ucapan itu.
"Saudara semua dan anak-anak peserta adu ketangkasan, pertandingan putaran keempat menyisakan empat peserta. Untuk saat ini peserta diberi kesempatan beristirahat dahulu. Harap para peserta tidak terlalu jauh dari arena agar tidak ketinggalan saat nanti dipanggil bertanding!" seorang penyelenggara meneriakkan pengumuman.
"Baiklah, sekarang mau ke mana kita enaknya?" ucap Widura kepada para temannya.
"Aku pengen ke lapak ayah nitip bingkisan dan medali ini," ucap Ratri.
"Aku pengen melihat pertunjukan memanah," ucap Sogol.
"Kalau begitu, biar aku sama Widura saja. Kalian bisa menonton ketangkasan memanah. Nanti aku belikan jajanan buat kalian," Ratri mengajukan usul.
"Boleh, boleh!" ucap Sogol sambil melirik Widura.
"Hmm, aku terserah sih," jawab Widura.
Murti dan Wira ikutan sepakat tanpa basa-basi. Maka anak-anak itupun memisahkan diri menjadi dua kelompok. Ratri dan Widura berjalan ke arah pasar, sedangkan Sogol dan yang lainnya mencari Pangga, sepupu Wira yang katanya akan berada di arena ketangkasan memanah.