Dua peserta kini kembali berdiri berhadapan. Mereka kembali saling mencari kesempatan menyerang. Sama-sama mereka saling melancarkan gerak tipuan, seolah menyerang tapi menarik kembali gerakan di tengah jalan. Hingga pada suatu ketika, saat peserta berseragam bergerak maju melontarkan pukulan, peserta berpakaian biasa menjatuhkan diri. Kaki peserta berpakaian biasa melakukan gerak sapuan kaki menebas kaki lawannya. Akibat tidak menyangka serangan itu, peserta berseragam terlambat bereaksi. Hasilnya ia jatuh terjengkang.
Sebuah serangan yang telak mengenai sasaran membuahkan nilai bagi peserta berpakaian biasa. Penonton sebagian bersorak dan sebagian lagi bertepuk tangan. Peserta berseragam lalu berdiri dan menggoyang-goyangkan kakinya yang baru saja terkena sapuan.
"Bagaimana nak? Apakah kakimu baik-baik saja?" tanya wasit.
Peserta berseragam menggelengkan kepala dan menyatakan kalau dia baik-baik saja. Pertandingan pun kembali dilanjutkan.
"Bagaimana menurutmu? Siapa yang bakal menang?" Sogol bertanya kepada Widura sambil mengamati pertandingan yang kembali berlangsung.
"Susah menebaknya. Mereka kelihatannya sama-sama kuat," Widura menjawab sambil memperhatikan pertarungan. "Ternyata asyik juga menonton adu pertarungan seperti ini."
"Iya betul. Kita bisa mencontoh cara-cara anak lain saat bertarung," Sogol menyetujui.
Dua bocah yang berbadan agak bongsor dari teman-temannya itupun masih saling bertukar serangan. Bogeman tangan, sikutan, tendangan, dan beragam serangan mengincar sasaran. Nilai dua peserta ini saling berkejaran. Tapi pada akhirnya peserta berpakaian biasa memenangkan pertandingan. Mereka hanya berselisih satu angka saja.
Tepukan tangan terdengar di sekeliling arena. Anak berseragam hijau berjalan dengan wajah muram menuju sekumpulan rekan-rekannya. Seorang pemuda yang mungkin ditugaskan sebagai pendamping mencoba menghibur. Di sisi seberang, anak yang memenangkan pertandingan menampilkan senyum kepuasan. Di pinggiran arena dua anak lain menyambutnya dengan perasaan suka cita.
Penyelenggara mengumumkan pasangan berikutnya yang harus bertanding, nama Sogol pun disebut. Yang menjadi lawan Sogol bernama Wira, seorang anak desa Turi Agung. Seorang anak dengan wajah yang menebarkan kesan ramah pun berjalan memasuki arena mendatangi Sogol.
"Perkenalkan, nama aku Wira," Wira segera mengulurkan tangan ke Sogol.
Sogol tertegun sejenak. Anak di hadapannya sangat ramah, bahkan terlalu ramah. Namun sejenak kemudian Sogol menyahut sambil tersenyum menjabat tangan, "Namaku Sogol."
"Kalian sudah siap?" tanya wasit.
"Saya siap, Paman." Wira menyahut dengan tersenyum kepada wasit.
Sogol mengangguk ke arah wasit sambil menampilkan senyum aneh. Raut muka tegang yang awalnya terlihat di wajah Sogol saat memasuki arena, kini menampakkan kebingungan.
Segera setelah wasit meneriakkan aba-aba memulai pertandingan, Sogol dan Wira mengambil jarak dan bersiaga. Sedangkan sejumlah penonton yang merupakan penduduk lokal bersuara mendukung Wira.
Penampilan Wira begitu tenang dan masih menyiratkan keramahan. Raut muka yang ramah itu membuat Sogol agak enggan melakukan serangan. Tapi bagaimanapun juga ini pertandingan adu bela diri, serangan harus dilakukan bila kesempatan terbuka.
Sebuah kesempatan datang, Sogol melancarkan pukulan ke dada. Tapi karena ragu-ragu, serangan itu kurang mantap. Wira menepis serangan itu sambil membungkukkan badannya lalu melakukan gerak mendorong dengan tangannya ke arah perut Sogol.
Sogol tidak menduga serangan balasan itu. Tubuhnya terjengkang kehilangan keseimbangan. Tapi tiba-tiba Wira menarik tangan Sogol sehingga tubuhnya tidak jadi jatuh.
"Oh, maaf. Kamu tidak apa-apa kan?" tanya Wira.
"Tidak, aku tidak apa-apa." jawab Sogol sambil tersenyum canggung.
Karena serangannya telak, walau tidak sampai membuat lawan jatuh, Wira mendapatkan nilai. Penonton pun bersorak dan bertepuk tangan. Widura sebagai penonton yang berada di pihak Sogol hanya bisa menghela napas panjang. Widura memahami keraguan yang dialami temannya.
Pertandingan dilanjutkan kembali. Wira selalu bersikap pasif, sedangkan Sogol selalu mengambil inisiatif serangan. Setelah beberapa percobaan serangan, Sogol lebih bisa menyesuaikan perasaannya. Anggap saja pertandingan ini hanya suatu latihan biasa. Gerakan-gerakan Sogol tidak lagi canggung.
Pada akhirnya Sogol berhasil mengalahkan Wira. Setelah pertandingan keduanya bersalaman dan berangkulan. Bahkan dua anak ini berjanji akan ketemuan setelah acara adu ketangkasan ini usai.
Di arena lain, Murti berhasil mengalahkan lawannya. Meskipun lawannya lebih lincah, Murti berhasil menjatuhkannya dua kali dan mendaratkan sebuah serangan telak.
Widura dan kawan-kawannya pun kembali berkumpul. Di beberapa tempat di tubuh Sogol dan Murti mengalami sedikit memar. Widura membantu teman-temannya itu menggosokkan obat pereda nyeri di tubuh mereka.
Giliran berikutnya Ratri dipanggil penyelenggara untuk menghadapi lawannya. Tiga teman seperguruannya itupun bergantian memberi kata-kata penyemangat. Para penonton juga bertepuk tangan dan bersorak lebih riuh dari sebelumnya. Ini karena yang tampil di arena adalah dua gadis belia.
Setelah aba-aba diteriakkan, Ratri menyerang lawannya dengan cepat, pukulan dan sikutan beberapa kali menyerbu. Kemampuan lawan Ratri ternyata masih rendah. Dengan singkat Ratri sudah menyelesaikan pertarungan dan mendapat kemenangan telak.
Seorang penyelenggara kemudian memasuki arena. Ia mengumumkan kalau kategori yang diikuti Widura dan teman-temannya telah menyelesaikan putaran pertama. Pertandingan berikutnya akan mempertemukan para pemenang yang telah ditentukan sebelumnya.
Ketika Widura dan teman-temannya sedang asyik membicarakan pertandingan yang baru mereka lalui, Wira dan seorang pemuda berjalan mendekati tempat gerombolan Widura berkumpul. Sogol yang menyadari kehadiran teman barunya itupun mengalihkan pandangan. Terlihat pemuda yang menyertai Wira tersebut berusia sekitar 17 tahun. Pemuda itu membawa sebuah busur panah dan di pinggangnya tergantung sebuah wadah anak panah.
"Hai, apakah kedatanganku mengganggu kalian?" ucap Wira.
"Oh, teman Wira, tentu tidak. Ayo sini kita bergabung," jawab Sogol.
Wira dan pemuda yang menyertainya berjalan mendekat sambil melempar senyum. Sogol kemudian memperkenalkan teman-temannya kepada Wira. Kemudian Wira memperkenalkan pemuda yang datang menyertainya. Pemuda itu ternyata adalah kakak sepupu Wira yang bernama Pangga. Pada acara kali ini Pangga mengikuti pertandingan ketangkasan memanah.
"Kak Pangga, setelah ini aku akan bergabung dengan rombongan Sogol. Nanti aku akan mendatangi kakak di arena memanah," ujar Wira kepada kakak sepupunya setelah perkenalan singkat.
"Baiklah, kalian baik-baiklah semuanya," jawab Pangga.
"Iya Kakak!" jawab kumpulan anak-anak itu berbarengan.
Karena Wira pada dasarnya adalah seorang anak yang ramah dan mudah berteman, maka ia segera akrab dengan Widura dan teman-temannya. Percakapan 5 anak ini terhenti setelah seorang penyelenggara pertandingan bela diri mengumkan dimulainya putaran kedua.
Pada putaran kedua ini, Murti kebetulan mendapat panggilan pertama mendahului teman-temannya. Lawan Murti kali ini berperawakan agak tinggi dan besar. Ketika pertarungan dimulai lawan Murti banyak menggunakan gerakan kaki. Gerakan kaki lawan itu juga cukup gesit. Murti mengalami kesulitan melancarkan serangan.
"Aku rupanya melewatkan penampilan anak ini di putaran pertama. Aku baru tahu kalau ada bela diri yang mengutamakan kekuatan kaki. Apakah kamu pernah tahu sebelumnya?" Widura bertanya ke Wira.
"Aku belum pernah tahu sebelumnya," Wira menjawab sambil menggeleng.
Pada pertandingan kali ini, Murti kuwalahan membendung serangan lawannya. Akhirnya pertandingan itu berakhir dengan kekalahan bagi Murti. Setelah pertandingan lawan Murti itu langsung saja ngeloyor pergi sambil memasang raut meremehkan. Murti hanya bisa mendengus kesal.