Pada kesempatan tertentu secara berkala, murid-murid Ki Jagabaya ini juga berlatih tanding di antara mereka. Setelah beberapa bulan berlatih, Ki Jagabaya mulai melatih penggunaan senjata. Widura dan teman-temannya diperkenalkan teknik bela diri menggunakan senjata tongkat pendek. Alat ini dipakai sebagai ganti parang atau pedang yang biasa dipakai oleh para petarung.
Selain tongkat pendek, Ki Jagabaya juga memperkenalkan dasar-dasar penggunaan senjata yang lain seperti tongkat panjang, pisau, dan melontar batu. Sebagai mantan pengawal upahan, Ki Jagabaya berpengalaman menggunakan beberapa benda seadanya untuk digunakan sebagai senjata.
Karena pengajaran Ki Jagabaya, empat bocah ini jadi lebih rajin membantu orang tuanya masing-masing. Karena ini pula dalam sesekali waktu Ki Jagabaya atau istrinya mendapat hadiah dari orang tua bocah-bocah itu. Hadiahnya bukan barang-barang yang mewah, tapi berupa bahan yang dibutuhkan sehari-hari.
Bila di padepokan atau perguruan silat, para murid biasanya juga bekerja untuk memenuhi keperluan padepokan sebagai kontribusi. Tetapi untuk Ki Jagabaya, murid-muridnya tidak ikut bekerja padanya. Karena ini juga, orang tua dari empat bocah ini makin sungkan bila tidak memberi sesuatu pada Ki Jagabaya atau istrinya.
Awalnya Ki Jagabaya menolak pemberian para orang tua murid-muridnya, karena kehadiran anak-anak ini sebenarnya juga mewarnai hari-hari tua Ki Jagabaya dan istrinya. Ini juga sebuah berkah tersendiri bagi dia. Namun melihat ketulusan para orang tua murid-muridnya, Ki Jagabaya akhirnya menerima pemberian itu. Ki Jagabaya juga berpesan agar pemberian itu jangan sampai menyusahkan, kalaupun memberikan sesuatu, secukupnya saja.
Di suatu senja di tepian sungai pembatas desa Ngalam dan desa Pandan Asri, suasananya terasa damai. Anak-anak desa yang biasanya bermain telah pulang. Bisik-bisik suara air melewati sela bebatuan melantunkan irama menenangkan.
Di tepian sungai itu, lima orang terduduk menikmati nyanyian alam, satu orang sosoknya cukup berumur sedangkan empat sosok lainnya akan memasuki usia belasan. Lima sosok itu adalah Ki Jagabaya, Widura, Sogol, Murti, dan Ratri. Mereka sedang beristirahat sesudah latihan.
"Anak-anak, kemarin guru baru saja beroleh kabar dari Desa Turi Agung," suara Ki Jagabaya membelah bisikan alam di sekitar sungai itu.
Sebagai salah satu pengurus desa, tidak aneh bila Ki Jagabaya menerima kabar dari desa lain atau dari pejabat di atasnya. Adapun Desa Turi Agung, itu adalah sebuah desa yang relatif lebih besar dibanding Desa Widura.
"Dua purnama mendatang, Desa Turi Agung akan mengadakan perayaan tahunan. Kalian tentu tahu kalau ada banyak pertunjukan adu keterampilan di perayaan itu. Guru sarankan kalian melihat-lihat di sana untuk menambah wawasan persilatan. Kalian ikutlah pertandingan yang dikhhususkan untuk golongan anak-anak," Ki Jagabaya memberikan saran untuk murid-muridnya.
"Wah dua purnama lagi? Berarti kita perlu membersiapkan diri," ujar Widura menimpali.
"Yang terpenting dalam adu keterampilan adalah melatih mental kalian. Walau kalian sering latih tanding di antara kalian, nuansanya akan berbeda bila berhadapan dengan orang yang belum kalian kenal. Akan muncul ketegangan atau mungkin perasaan grogi saat kalian menghadapi lawan," Ki Jagabaya berhenti sejenak memandangi murid-muridnya. "Belum lagi kalau kalian benar-benar berjumpa dengan lawan yang ingin menyakiti. Widura tentu sedikit-banyak pernah merasakannya, bukankah begitu?"
Sogol, Murti, dan Ratri terheran-heran sambil mengarahkan pandangan ke wajah Widura. Mereka belum pernah tahu kalau Widura pernah berada dalam kondisi yang benar-benar terancam.
"Waktu itu aku, ayah, dan beberapa orang lainnya pernah dicegat perampok. Memang aku hanya bersembunyi, tapi rasanya menakutkan sekali," Widura menjelaskan.
"Nah itu dia. Kalian perlu melatih diri menghadapi rasa grogi atau takut saat bertemu lawan. Bila kalian dikuasai ketakutan, maka kalian tidak akan bisa berpikir jernih. Dan lagi pula, dalam pertujukan adu ketangkasan ada penonton yang menyoraki kalian. Ini juga bisa mengacaukan konsentrasi dan emosi. Bila kalian kehilangan konsentrasi dan terpancing bertindak emosional, maka yang kalian temui adalah kekalahan," Ki Jagabaya berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Kalian memahami apa yang guru maksudkan?"
Widura dan tiga temannya mengangguk-angguk setelah beberapa saat merenungi ucapan guru mereka.
"Hari sudah semakin sore, waktunya kita mengakhiri latihan kali ini," ujar Ki Jagabaya menutup percakapan mereka.
Ratri yang harus memisahkan diri pulang ke desa Pandan Asri berpamitan kepada guru dan teman-temannya. Ki Jagabaya dan tiga murid laki-lakinya pun berjalan bersama pulang ke desa Ngalam.
Sepekan berselang, para pengurus desa mulai menyebarkan berita tentang perayaan di Desa Turi Agung. Perayaan ini biasanya menyedot perhatian dari para penduduk di desa-desa lain yang lebih kecil di sekitar Desa Turi Agung, tidak terkecuali Desa Ngalam dan Pandan Asri. Selain adu ketangkasan, ada pula pertunjukan hiburan. Dan ketika terdapat keramaian, pastilah akan menarik kedatangan para pedagang yang pada akhirnya menciptakan pasar dadakan.
Sogol dan ayahnya, Ki Ratmoko, kini jadi lebih sibuk membuat perkakas bambu yang nanti akan dijual saat perayaan. Pada hari-hari biasa, aktifitas membuat peralatan dari bambu hanya kegiatan sampingan dari bertani. Ki Ratmoko membuat peralatan dari bambu hanya berdasarkan pesanan. Di sela-sela waktu, Widura dan Murti ikut membantu temannya dengan menebang bambu dan memotong batangan bambu menjadi ukuran lebih kecil. Sedangkan para warga lainnya secara umum sudah mulai menerka-nerka hiburan apa saja yang akan tersaji di perayaan. Pendek kata, banyak warga di sekitaran Desa Turi Agung mengantisipasi perayaan itu.
Hari perayaan Desa Turi Agung telah tiba. Ayam jantan masih enggan membuka mata. Bintang-bintang masih terlihat berserak di angkasa. Titik-titik kabut masih menyaput udara desa.
Widura dan Murti baru saja memasuki teras rumah Sogol. Hari ini mereka akan membantu Ki Ratmoko membawa perkakas bambu yang akan dijual di perayaan Desa Turi Agung. Tidak lama setelah mereka datang, seonggok ubi dan ketela rebus hangat sudah tersaji di hadapan. Tiga bocah itu lalu mengisi perut mereka dengan rebusan yang mengenyangkan itu. Di sekitar tempat duduk mereka terdapat beberapa peralatan dari bambu yang siap dijual.
Ketika semuanya telah siap, Ki Ratmoko berangkat bersama tiga bocah itu. Untuk mencapai Desa Turi Agung, mereka perlu melewati beberapa desa, melewati pinggiran sebuah hutan yang tak terlalu lebat, dan melintasi sebuah perbukitan kecil. Ki Ratmoko harus berangkat pagi-pagi agar bisa memilih lokasi strategis di sekitaran pasar dan tanah lapang yang dijadikan pusat perayaan.
Sementara Widura dan rombongannya berangkat sambil membawa dagangan perkakas dari bambu, Ratri berangkat ke Desa Turi Agung bersama ayahnya, Ki Purnomo. Ratri nantinya akan bertemu dengan teman-temannya di lokasi pertunjukan.
Dari berbagai desa di sekitar Desa Turi Agung, cukup banyak pedagang berdatangan. Perayaan kali ini akan berlangsung dua hari satu malam. Pagi hari pertama adalah serangkaian acara selamatan panen dan permohonan keberhasilan untuk setahun ke depan. Kemudian dilanjutkan pertunjukan adu keterampilan. Khusus di malam hari akan diadakan pertunjukan hiburan. Pada hari kedua kembali acara pertunjukan adu keterampilan. Karena adu pertunjukan ini menawarkan hadiah bagi pemenangnya, orang-orang banyak yang ingin ikut meramaikan, baik sebagai peserta atau penonton.