Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 10

6 Desember 2024   14:22 Diperbarui: 12 Desember 2024   08:11 37 0
Pertanyaan Ki Purnomo membuat jantung Widura memompa lebih kencang. Jangan-jangan ia akan menerima kemarahan karena peristiwa perkelahian itu. Widura tanpa sadar langsung melirik Ratri. Sedangkan wajah Ratri agak merona karena pertanyaan tersebut. Lalu keduanya sedikit menundukkan muka. Hal yang sama juga dilakukan oleh Murti, ia hanya membisu, bahkan agak menahan hembusan nafasnya.

Setelah mengumpulkan sedikit keberanian, Widura mengangkat kelopak matanya. Ternyata di wajah Ki Purnomo tidak tersirat kemarahan. Ia malah tersenyum lucu. Karena situasi dirasa baik-baik saja, maka Widura membuka mulutnya perlahan, "Saya Ki."

Mendengar ucapan Widura, Ki Purnomo tertawa dan berkata, "Hahaha. Kalau begitu, harap bersabar ya. Anak bapak yang satu ini memang agak pemarah. Kalian baik-baik saja dalam berteman nantinya."

"Iya, Ki Purnomo," sahut Widura dan Murti berbarengan.

Murti akhirnya juga melepas ketegangan perasaannya. Mereka lega ternyata Ki Purnomo orang yang ramah.

"Ah, bapak bisa saja. Aku marah kan ada sebabnya," Ratri membela diri, tapi sikapnya agak tersipu.

Ki Purnomo tertawa ringan menanggapi ucapan putri bungsunya itu. Lalu ia menyampaikan sedikit wejangan untuk anak-anak yang ada di hadapannya. Walau tidak terlalu akrab, Ki Purnomo mengetahui kalau Ki Jagabaya desa Ngalam adalah seorang yang baik. Maka dari itu, ia tidak mempermasalahkan bila anaknya diasuh oleh orang tua itu.

Widura memberi tahu Ratri kalau dalam dua hari mendatang ia bisa mulai berlatih. Mereka lalu bersepakat akan bertemu di tepian sungai pada waktu sore di hari tersebut. Sebelum berpamitan, Ki Purnomo menitipkan salam untuk Ki Jagabaya, bila memungkinkan ia juga ingin berkunjung ke rumahnya.

Sejak hari itu, seperti halnya Widura dan dua temannya, Ratri menjadi lebih giat saat membantu orang tuanya. Bila sebelumnya Ratri terkadang enggan bila disuruh membantu suatu pekerjaan, kini ia tidak lagi menolak.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Sore itu di tanah lapang tepian sungai terlihat beberapa anak bermain. Di bagian lain, Widura, Sogol, dan Murti sudah terduduk di sisi tanggul di bawah naungan sebuah pohon. Lalu tidak lama berselang, Ratri datang. Kali ini gadis cilik itu tidak memakai kain panjang seperti biasanya, tapi mengenakan celana dan pakaian yang lebih memudahkan gerakannya.

Setelah mereka duduk berkumpul, Sogol berkata, "Aku sebenarnya agak heran, karena nggak biasanya guru mengajak kita berlatih di luar rumahnya. Kira-kira ada apa yah?"

"Iya, apa ada latihan khusus? Atau guru hanya ingin ganti suasana?" ujar Murti.

"Kalau latihan khusus, latihan khusus seperti apa kira-kira?" Widura menambahkan pertanyaan.

"Apa mungkin latihan main air?" jawab Sogol sekenanya.

Tiga teman yang lain tertawa mendengar jawaban asal Sogol itu. Tapi di saat yang sama, mereka melihat sosok guru mereka berjalan mendekat sambil membawa cangkul di pundaknya. Ia juga memakai topi petani di atas kepalanya. Sepertinya ia baru pulang dari sawah dan langsung menuju ke tepian sungai.

"Selamat sore, guru," sapa empat bocah itu setelah Ki Jagabaya datang mendekat.

"Selamat sore. Kalian sudah lama di sini?" ucap Ki Jagabaya.

"Tidak, guru. Kami baru saja datang ke sini," Widura menjawab.

"Ki Jagabaya, perkenalkan nama saya Ratri. Saya dari desa sebelah, ingin belajar silat dari Ki Jagabaya," Ratri berucap setelah Ki Jagabaya menjatuhkan pandangan ke arah dirinya.

"Oh, ini toh ternyata anaknya Ki Purnomo yang bungsu. Sebelum ke sini, apakah kamu sudah minta izin ke bapakmu?" tanya Ki Jagabaya.

"Sudah, Ki. Bapak juga titip salam untuk Ki Jagabaya. Katanya bila ada waktu akan datang ke rumah Ki Jagabaya," jawab Ratri.

"Oh, ya ya ya. Kalau begitu sampaikan balasan salamku untuk bapakmu," Ki Jagabaya berkata sambil manggut-manggut. Lalu lanjut bertanya, "Kenapa kamu tertarik belajar silat?"

"Itu, Ki, saya ingin bisa membalas kalau digoda anak lain. Dan alasan lainnya, saya sebenarnya kadang-kadang ingin ikut bapak pergi berdagang. Tapi bapak tidak membolehkan karena berbahaya. Katanya banyak orang jahat. Makanya saya ingin bisa silat, biar nanti bisa ikut bapak," Ratri menjelaskan.

"Oh, begitu toh," Ki Jagabaya berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Sebenarnya saya hanya mengajarkan gerakan dan pelatihan dasar kepada kalian. Selanjutnya perkembangan kalian tergantung pada kesungguhan kalian sendiri."

Empat bocah itu mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar ucapan Ki Jagabaya. Ki Jagabaya lalu memberikan dua pasang gelang pemberat kepada Ratri. Ratri yang sudah tahu kegunaan benda itu langsung memakainya di tangan dan kakinya. Sejurus kemudian Ki Jagabaya mengajak empat muridnya berjalan mendekati tepi aliran sungai.

"Widura, Sogol, dan Murti! Kali ini, kalian akan berlatih keseimbangan. Kalian melompat-lompat menyusuri bebatuan sungai. Jaga keseimbangan badan kalian baik-baik. Untuk Ratri, kamu akan berlatih gerakan dasar dahulu di tepian," ucap Ki Jagabaya.

Ki Jagabaya lalu meloncat-loncat di atas bebatuan sungai dengan mantap. Dalam setiap lompatan kakinya seolah tertancap kuat di permukaan batu. Tubuhnya sama sekali tidak terlihat kehilangan keseimbangan.

Setelah meloncat kembali ke tempat asal, Ki Jagabaya berkata, "Nah, itu tadi adalah contoh yang harus kalian lakukan. Sekarang giliran kalian."

Widura, Sogol, dan Murti lalu meloncat ke atas sebuah batu sungai satu per satu. Berbeda dengan gurunya, tiga anak ini saat hinggap di atas batu, posisi tubuhnya tidak mantap. Setelah melakukan lompatan, tubuh mereka selalu doyong ke depan dan memaksa mereka melakukan gerakan penyeimbang.

"Ya! Begitu! Terus meloncat-loncat sampai selesai latihan nanti!" Ki Jagabaya berteriak kepada tiga murid laki-lakinya.

Setelah itu Ki Jagabaya menoleh ke tempat Ratri berdiri dan berkata, "Untuk kamu, kita mulai gerakan dasar dahulu. Setelah pulang, kamu harus melatih gerakan ini sendiri. Saat pertemuan berikutnya, bila gerakanmu telah mantap, kamu bisa belajar gerakan selanjutnya. Bagaimana? Paham?"

"Iya, guru," jawab Ratri.

Ratri menganggukkan kepalanya. Sebelumnya ia telah diberi tahu Widura tentang cara Ki Jagabaya melatih murid-muridnya. Ratri kemudian mengikuti gerakan yang dicontohkan Ki Jagabaya dan mengulanginya sendiri.

Pada suatu kesempatan, di kejauhan terdengar suara sesuatu yang terjatuh di atas air sungai yang juga disertai teriakan kecil. Ki Jagabaya dan Ratri mengalihkan pandangan, ternyata Murti terpelanting dari atas batu karena gagal mempertahankan keseimbangannya.

"Hati-hati kalian jangan sampai jatuh!" teriak Ki Jagabaya sambil tersenyum tipis.

Ratri hanya menahan senyumannya. Ia membayangkan suatu saat nanti ia juga akan mengalami kejadian itu, jadi ia tak mau terlalu menertawakannya. Jangan-jangan nanti ia dibalas ditertawai lebih kencang oleh teman laki-lakinya itu.

Murti dalam hatinya hanya mengeluh, peringatan yang terlambat! Sementara Widura dan Sogol menertawai temannya yang kebasahan.

"Kalian bisa tertawa sekarang. Awas saja nanti kalian akan dapat giliran," ujar Murti agak bersungut-sungut.

Memang benar, pada gilirannya tiga murid laki-laki Ki Jagabaya di sore itu mengakhiri latihan dengan pakaian basah semua. Bahkan di beberapa bagian tubuh mereka ada sedikit memar-memar akibat terantuk batu.

"Memar di tubuh kalian itu juga bagian proses belajar. Saat di pertarungan kalian tentu akan menerima pukulan. Jadi, anggap saja ini latihan pembiasaan," Ki Jagabaya berkata sambil menyerahkan sebuah wadah kecil kepada tiga murid laki-lakinya. Ki Jagabaya lalu berkata lagi, "Itu minyak untuk mengobati luka memar kalian. gosokkan di bagian yang memar."



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun