Di satu sisi pinggiran tanah lapang, sekelompok jagoan duduk melingkari sebuah meja plastik. Mereka adalah satu dari sejumlah kelompok preman di wilayah tersebut. Di atas meja itu terdapat beberapa botol minuman keras yang tidak lagi berisi penuh.
Sambil sesekali tertawa di antara percakapan, mereka menenggak isi botol yang mereka pegang. Mereka berbincang dengan agak berteriak menyesuaikan hentakan suara musik dari panggung. Mereka begitu menikmati suasana di malam itu. Tingkah laku mereka mempertontonkan sebuah eksistensi yang berdiri di atas segalanya. Suatu eksistensi yang bisa berbuat apa saja semau-maunya.
Ketika penyanyi seksi di atas panggung melagukan bait terakhir, ia menyodorkan mikrofon kepada penonton dan meminta semuanya mengucapkan kata di penghujung lagu. Semua manusia di tanah lapang itu pun terhipnotis menuruti permintaan sang penyanyi.
Tepukan, teriakan, dan siulan lalu menggelora di tanah lapang. Para penonton pun terpuaskan. Tapi tidak terlalu lama, nyaris tanpa jeda, suara musik kembali menghentak. Intro lagu yang sedang populer terdengar memanaskan suasana.
Tak ayal, histeria tersebut memancing sang pimpinan preman yang sejak awal hanya duduk di pinggiran tanah lapang sambil menenggak miras bersama gerombolannya. Setelah menguras habis isi botol yang ada di tangannya, ia mengambil sebotol yang baru saja dibuka bawahannya. Sambil melangkah ke kumpulan penonton, ia berkata kepada yang lain, "Ayo turun, lagunya asyik nih, hahaha."
Gerombolan jagoan yang awalnya hanya duduk-duduk itupun kini menggerakkan seluruh badannya mengikuti hentakan musik. Dengan kesadaran yang tidak lagi penuh, hempasan irama dari panggung mengombang-ambingkan mereka. Mereka tidak lagi peduli. Kesenangan itu terasa meluap-luap. Memandang penyanyi dan penari seksi di atas panggung membuat mereka makin lepas kendali.
Entah bagaimana di tengah keasyikan bergoyang, tiba-tiba sang pimpinan preman itu terjatuh. Rasanya seperti ada yang mendorong tubuhnya dari belakang. Setelah menggoyangkan kepala, mengumpulkan sedikit kesadaran yang masih tersisa, terlihat di pelupuk matanya sebuah sosok yang tidak asing.
Itu adalah sosok yang mengepalai kelompok preman yang selama ini berselisih dengan kelompoknya. Sosok itu asyik bergoyang di hadapannya yang sedang terduduk setelah terjatuh. Di mata sang pimpinan preman, sosok yang mengabaikan dirinya itu sedang menghina keagungannya.
Kesenangan yang tadi membuncah, segera berganti jadi amarah yang melimpah. Para anak buah yang baru mengetahui pemimpinnya terduduk di bawah segera menolong sang bos. Namun sebelum pertolongan itu sampai, sang pemimpin preman segera berdiri dan melayangkan pukulan ke sisi wajah sosok yang selama ini merecoki kekuasaannya.
Sosok yang terpukul itu terjatuh menimpa orang di dekatnya yang juga anak buahnya. Dua orang pun jatuh terjerembab di atas tanah.
Dua kelompok preman yang sering bergesekan itupun menghentikan kesenangannya. Di dalam remang tanah lapang, di tengah riuh musik dan teriakan penonton, aroma permusuhan, kebencian dan bau alkohol tercium pekat di lingkaran kecil itu.
"Hai bangsat! Kamu gila ya!" teriak sosok yang baru mengetahui ternyata yang memukul wajahnya adalah musuh terbesarnnya.
Tidak mau kalah, sang pemimpin preman berteriak membalas, "Kau kemanakan matamu! Kalau nggak kau pakai, sini aku congkel!"
Tanpa ada percakapan lanjutan, tanpa ada prosedur musyawarah atau undian, dua kelompok itu langsung setuju memilih lawannya masing-masing. Sebuah persetujuan yang kecepatannya hanya bisa dikalahkan oleh kecepatan perubahan aturan yang menguntungkan penguasa.
Pertempuran kecil yang awalnya menggunakan bogem, siku, dan lutut berubah, Â menggunakan pecahan botol dan pisau lipat. Teriakan kesakitan dan umpatan mereka yang terlibat perkelahian bercampur suara dentuman bas dan histeria penonton.
Tubuh-tubuh mulai ada yang bergelimpangan tanpa tahu masih bernyawa atau tidak. Entah dari pihak mana, entah itu siapa, tubuh-tubuh itu bersimbah luka berwarna darah. Penonton yang tidak ingin tersangkut pertikaian tidak ada yang berani menyentuhnya.
Dalam situasi yang serba kacau, sang pemimpin preman melarikan diri dari pertempuran. Tubuhnya saat ini telah dipenuhi lebam dan beberapa luka yang cukup dalam. Pakaiannya basah kuyub karena keringat dan darah. Ia berlari ke arah pasar yang biasa jadi tongkrongannya. Di belakangnya terdengar suara kejaran dan umpatan memanggil namanya.
Pemimpin preman itu hanya bisa berlari menggunakan tenaga yang tersisa. Dengan sisa-sisa kesadarannya, ia memilih lorong-lorong yang terselip di tengah perkampungan berharap terlepas dari kejaran. Setidaknya di wilayah tongkrongannya, ia akan lebih aman. Hanya itu yang ada di pikirannya sekarang.
Di sebuah sudut pasar yang agak gelap, dekat tempat penampungan sampah, pemimpin preman itu akhirnya terduduk bersandar. Adrenalin yang saat ini banyak berkurang mengungkapkan rasa sakit di sekujur badannya.
Seorang gadis yang baru beranjak dewasa dengan wajah yang menyembunyikan banyak kegetiran berjalan perlahan menuju tempat penampungan sampah pasar. Sambil menjinjing sekantong sampah, ia melangkah dengan enggan.
Gadis ini berasal dari keluarga biasa. Di pasar ini ia hanya ingin membantu orang tuanya mengurus secuil lapak. Tapi keberadaan gerombolan preman pasar hanya bisa mendatangkan ketakutan baginya. Selain menindas orang tuanya dan pedagang lainnya, beberapa kali gerombolan preman ini melecehkan dirinya. Tumpukan amarah dan ketidakberdayaan telah memudarkan senyum cerianya.
Namun di saat itu wajah yang selama ini menjadi sumber teror bagi dirinya terlihat terduduk lemah di dekat penampungan sampah. Gadis itu melangkah mendekat. Wajah itu terlihat kuyu dan berdarah-darah. Rasa kebencian terhadap orang di hadapannya mengalahkan kengerian penampakan sang pemimpin preman. Adegan-adegan kebiadaban orang itu berlintasan di benak si gadis.
Sang preman hendak mengatakan sesuatu, tapi tiada suara yang terdengar dari kerongkongannya. Pandangan sang preman terkaburkan oleh tetes-tetes darah dari jidatnya dan kapasitas kesadarannya yang nyaris habis. Bahkan untuk menggerakkan jarinya, ia tak mampu.
Gadis itu mendekat. Ia pungut pisau lipat berlumur darah yang tergeletak di sisi sang preman. Sudut bibir si gadis terangkat. Senyum yang telah lama pudar itu kini muncul. Namun yang tersirat dari senyum itu adalah kekejian. Dengan pandangan dingin, ia melakukan sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di malam itu, di bawah temaram siraman sinar bulan, sejarah sang pemimpin preman itu terhenti di tangan seorang gadis yang sebelumnya ia anggap lemah.