Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 9

30 November 2024   06:13 Diperbarui: 30 November 2024   06:13 27 1
Sore itu suasana agak mendung. Sinar matahari agak suram terhalang tirai awan yang menggantung di atas desa. Tadi siang panas matahari juga tidak terlalu terik menyengat. Warga desa merasa lebih nyaman ketika menggarap kebun dan sawahnya.

Widura juga ikut merasakan kenyamanan udara di sore itu. Namun selain kenyamanan udara, perasaannya juga lega karena rasa bersalahnya terhadap Ratri telah terhapuskan sehari sebelumnya.

Ketika memasuki pagar rumah Ki Jagabaya, Widura dan dua temannya menjumpai guru mereka sedang menemui dua orang tamu. Mereka adalah dua orang pemuda bernama Rustam dan Sudar.

Tiga bocah itu memberi salam kepada guru mereka dan juga menyapa dua orang tamu itu. Setelah menjawab salam mereka, Ki Jagabaya menyuruh tiga bocah itu untuk berlatih sendiri dahulu di halaman samping tempat mereka biasa berlatih. Setelah urusan dengan tamunya usai, Ki Jagabaya akan menyusul.

Widura dan dua orang temannya bergegas ke halaman samping, sedangkan Ki Jagabaya kembali melanjutkan pembicaraan. Ternyata Rustam dan Sudar pada kesempatan itu sedang membicarakan urusan giliran ronda malam. Sebagai perwakilan para pemuda, mereka membahas tentang perubahan giliran ronda malam karena suatu hal. Ki Jagabaya sebagai pemimpin urusan keamanan desa Ngalam mendapatkan pemberitahuan tentang perubahan itu.

Di akhir pembicaraan, Rustam bertanya, "Sejak kapan anak-anak itu berlatih silat kepada Ki Jagabaya?"

"Sekitar dua atau tiga pekan yang lalu, aku agak lupa, hehe," Ki Jagabaya menjawab sambil terkekeh, lalu melanjutkan, "Sebetulnya yang paling ingin berlatih itu si Widura, anaknya Ki Baskara, katanya ia ingin jadi prajurit. Sedangkan dua temannya tertarik ikut berlatih karena ajakan si Widura ini."

"Wah, bagus itu. Kalau sudah sedikit lebih besar, mereka bisa diikutkan tugas ronda desa. Biar mereka merasakan tanggung jawab sejak usia muda," ucap Sudar.

"Aku sudah memiliki pemikiran seperti itu. Aku perkirakan nanti setelah setahun belajar silat, mereka bisa diperkenalkan tugas menjaga keamanan lingkungan desa," ujar Ki Jagabaya.

Rustam dan Sudar mengangguk-angguk menyetujui ide salah seorang tetua desa mereka itu. Mereka tentu senang bila sedari muda warga desa mereka sudah menyadari adanya tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Sesudah berbasa-basi penutup pembicaraan, dua pemuda itu pun minta ijin pulang.

Di halaman samping, Widura, Sogol, dan murti melatih beberapa gerakan yang sudah diajarkan guru silat mereka. Sedangkan di sisi lain Nyi Jagabaya merawat beberapa tumbuhan yang biasa digunakan untuk bahan ramuan obat-obatan. Pada beberapa kesempatan, Widura dan teman-temannya kebetulan pernah disuguhi minuman obat buatan tangan Nyi Jagabaya, minuman yang menyegarkan badan dan mengurangi rasa pegal-pegal.

Setelah Ki Jagabaya mendekati tempat murid-muridnya berlatih, ia mengamati gerakan-gerakan murid-muridnya itu. Pada beberapa kesempatan, ia memberikan koreksi dan pengertian pada gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Kemudian setelah dirasa cukup, Ki Jagabaya memberikan rangkaian gerakan baru yang harus mereka pelajari. Ki Jagabaya juga mencontohkan penggunaan gerakan itu pada kondisi pertarungan yang sesungguhnya.

Setelah tubuh bocah-bocah itu berkeringat, Ki Jagabaya memerintahkan mereka beristirahat. Mereka pun lalu istirahat duduk pada sebuah licak panjang sambil menikmati kesegaran air minum.

Ketika nafas dirasa lebih tenang, Widura membuka percakapan, "Guru, saya ingin bertanya dan mengajukan permohonan."

"Apakah itu?" jawab Ki Jagabaya.

"Itu guru, ada seorang teman kami ingin ikut belajar silat kepada guru. Ia seorang anak perempuan dari desa Pandan Asri. Ia anaknya Ki Purnomo. Apakah guru bersedia menerima murid lagi?" ujar Widura.

"Oh, setahuku Ki Purnomo punya empat anak. Itu anak yang manakah?" Ki Jagabaya bertanya.

"Ia anak yang terakhir, namanya Ratri," jawab Widura kemudian.

"Kok bisa ia jadi tertarik belajar silat bareng kalian? Bagaimana ceritanya?" Ki Jagabaya kembali bertanya.

Wajah Widura jadi sedikit aneh mendengar pertanyaan dari gurunya. Kata-kata yang mau terucap seolah sulit keluar dari mulutnya. Sementara Sogol dan Murti hanya senyam-senyum.

"Lho ada apa ini? Apa ada yang salah dengan kalian?" Ki Jagabaya merasakan kebingungan melihat kelakuan murid-muridnya, terutama Widura.

Sogol lalu menceritakan kejadian di sungai perbatasan desa, tentang perkelahian berat sebelah yang aneh antara Ratri dan Widura, juga tentang pertemuan mereka dengan Ratri dan kakaknya kemarin. Ki Jagabaya sempat tertawa mendengar kisah perkelahian unik antara Ratri dan Widura. Tapi pada akhirnya Ki Jagabaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Ki Jagabaya lalu berkata, "Widura, sikap kamu bagus. Walau punya kemampuan tapi kamu tidak seenaknya sendiri. Karena kamu merasa sedikit bersalah maka kamu tidak membalas serangan anak itu, begitu kan?" Ki Jagabaya berhenti sebentar. Widura mengangguk ringan. Lalu Ki Jagabaya melanjutkan, "Setidaknya kamu bisa menempatkan diri. Kalian berdua jika menemui suatu kejadian hendaknya juga begitu. Pandai-pandailah membawa diri. Jangan mentang-mentang bisa silat lalu maunya benar sendiri."

Selain memandangi Widura, Ki Jagabaya juga melihat ke arah Sogol dan Murti. Dua anak itu pun ikutan mengangguk-angguk.

Tentang Ratri, guru kalian ini tidak mempermasalahkan. Selama orang tua anak itu mengijinkan ia bisa ikut berlatih bersama kalian. Hitung-hitung menambah rekan berlatih, toh kalian juga baru memulai, jadi bisa berkembang bersama," ucap Ki Jagabaya.

"Terima kasih guru. Nanti akan kami sampaikan," ucap Widura. Mata tiga bocah itu berbinar mendengar ucapan guru mereka.

Lalu tiga bocah ini pun melanjutkan latihan mereka. Setelah dirasa cukup, ketiganya disuruh pulang oleh Ki Jagabaya. Tapi sebelum meninggalkan lokasi latihan, guru mereka berkata kalau tiga hari mendatang mereka akan berlatih sore di tepian sungai. Mereka bisa langsung ke tepian, tidak perlu ke rumah Ki Jagabaya dahulu.

Di hari berikutnya sebelum siang, karena membantu pekerjaan orang tuanya, tiga anak itu tidak bisa mendatangi tepian sungai. Di sore hari, karena Sogol masih harus membantu ayahnya, maka hanya Widura dan Murti yang akhirnya menyampaikan hasil percakapan mereka dengan Ki Jagabaya.

Sesampainya di rumah Ki Purnomo, Widura dan Murti disambut oleh kakak laki-laki ketiga Ratri. Setelah mempersilahkan duduk dan memanggil adiknya, kakak Ratri mengajak ngobrol Widura dan Murti. Walau baru pertama kali berbincang, ternyata kakak Ratri yang satu ini mudah akrab, sama seperti kakak perempuannya. Dan ternyata benar kata Eko tempo hari saat bermain bola, kakak Ratri bercerita kalau ia sering mengajak adik perempuannya melakukan permainan kelaki-lakian.

Beberapa saat kemudian, Ratri keluar sambil membawa minuman dan ikut larut dalam percakapan. Pada kesempatan itu, Widura menyampaikan kesediaan gurunya dan beberapa hal prinsip nasehat yang sebelumnya pernah disampaikan Ki Jagabaya untuk dirinya dan teman-temannya.

Kata Ki Jagabaya, bela diri harus rutin dilatih. Sedangkan rajin membantu pekerjaan orang tua adalah salah satu bentuk latihan.

Ketika Ki Purnomo muncul dari dalam rumah, Ratri memperkenalkan teman-temannya kepada ayahnya itu. Widura dan Murti lalu memperkenalkan diri mereka dengan sopan.

"Oh, ini toh ternyata teman-temannya Ratri yang berguru ke Ki Jagabaya desa. Saya juga sudah mendengar kisah perkelahian Ratri di sungai dari kakaknya Ratri," Ki Purnomo berhenti sejenak dan kembali bertanya, "Yang mana dari kalian yang berkelahi dengan Ratri?"



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun