Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 7

18 November 2024   08:46 Diperbarui: 25 November 2024   06:21 51 2
Sejak hari itu Widura, Sogol, dan Murti mulai melatih diri di sela kesibukan membantu ayahnya. Apapun yang dikerjakan mereka tetap memakai pemberat Ki Jagabaya. Di desanya, Widura dan Murti adalah anak seorang petani, sedangkan ayah Sogol adalah petani sekaligus pengerajin bambu. Tiga atau dua hari sekali tiga anak itu berlatih di rumah Ki Jagabaya, selebihnya mereka berlatih sendiri atau bersama.

Suatu hari Widura dan anak-anak desa Ngalam lainnya bersepakat bermain bersama anak-anak dari desa Pandan Asri. Dua desa itu dipisahkan oleh sungai yang biasa digunakan warga kedua desa untuk beraktifitas. Para perempuan sering mencuci pakaian di situ, sedangkan anak-anak dua desa itu sering berenang atau bermain di tepian sungai yang landai berpasir. Adapun permainan untuk hari itu adalah permainan bola yang dibuat dari anyaman bambu.

Hari itu cerah, ketika di satu sisi tepian sungai terdapat Widura dan enam anak lainnya menunggu anak-anak dari desa Pandan Asri. Sedangkan di sisi lain terdapat sekumpulan gadis sedang mencuci pakaian.

Tidak lama datanglah tujuh anak dari desa sebelah menyeberang melintasi bagian sungai yang dangkal. Mereka mendatangi Widura dan teman-temannya. Maka, empat belas anak terlah terkumpul di sisi tepian sungai itu.

"Bagaimana? Apakah kita bisa langsung memulai permainannya?" kata Eko mewakili anak-anak dari desa Pandan Asri.

"Boleh, kita sudah menunggu kalian dan siap bermain. Permainannya masih tetap lempar bola kan?" sahut Widura.

"Iya, kebetulan jumlah kita juga lumayan banyak. Pastinya tambah asyik," sahut Eko.

Dua kelompok anak ini lalu memilih sisi masing-masing. Di sisi ujung tiap sisi ditancapkan dua batang ranting yang bertemu di ujung atasnya, membentuk segitiga untuk sasaran lemparan. Masing-masing kelompok berusaha memasukkan bola ke sasaran milik lawan.

Permainan pun segera dimulai. Anak-anak saling berteriak dan berlarian, ada teriakan minta umpan, ada teriakan menyuruh melempar, ada teriakan kesal, dan bermacam teriakan lainnya.

Ketika satu kelompok menyerang, mereka berusaha mengumpan bola ke temannya ke depan. Di sisi lain kelompok bertahan berusaha menghalau lemparan lawan dan berusaha merebut penyerangan. Sedangkan anak-anak yang tidak memegang bola berusaha mencari posisi agar bisa menerima umpan dengan mudah.

Kumpulan yang tidak terlalu terpengaruh dengan keramaian permainan adalah kelompok gadis yang sedang mencuci pakaian. Obrolan mereka juga terlihat seru. Dua lingkaran ini seolah memiliki dunianya sendiri.

Di sisi permainan, tensi persaingan makin meninggi. Dua kelompok terus bersaing mengumpulkan angka. Saat satu kelompok mencetak keberhasilan, segera terdengar sorak-sorak kegembiraan. Sedangkan kelompok lainnya hanya bisa menundukkan kepala. Bahkan pada saat tertentu terlihat adegan saling menyalahkan. Tapi di saat berhasil mencetak angka, mereka yang sebelumnya saling menyalahkan sama-sama berjingkrak kegirangan.

Pada suatu saat, kelompok Eko sedang menguasai bola. Mereka sedang berusaha menerobos pertahanan kelompok Widura. Beberapa kali bola berpindah tangan dari satu anak ke anak yang lain. Eko yang saat itu berada di satu sisi lapangan permainan mengumpankan bola ke sisi lain, menargetkan kawannya yang berdiri bebas. Sedangkan Widura yang berdiri di jalur lintasan bola berusaha memotong arah bola itu, mencoba menghentikan alur serangan. Bola dari anyaman bambu itu gagal dikuasai Widura, hanya tersentuh ujung jarinya. Akibatnya arah bola sedikit berbelok. Bola meluncur ke arah sungai.

Di saat yang sama, dua sosok perempuan melintasi sungai akan menuju ke desa Pandan Asri. Mereka adalah Ratri, seorang anak perempuan seumuran Widura, dan kakak perempuannya. Rupanya setelah menyelesaikan cucian dan obrolan bersama para gadis yang lain di sisi desa Ngalam, mereka menuju ke tanggul sungai sisi seberang. Keduanya membawa keranjang yang berisi pakaian, Ratri membawa keranjang yang lebih kecil dan kakaknya membawa yang lebih besar.

Bola meluncur deras ke arah Ratri. Sementara Ratri membelakangi arah kedatangan bola.

"Awas bola!" teriak beberapa anak dan perempuan yang kebetulan memandang ke arah Ratri dan kakaknya.

Widura membeku melihat bola yang sepertinya akan menumbuk sasaran yang tidak semestinya tersebut. Tapi itu hanya sekejap, ia segera berlari ke arah dua perempuan itu.

Karena suara teriakan yang memenuhi lingkungan itu, Ratri dan kakaknya membalikkan badan. Tapi setelah berbalik badan, bola itu membentur tubuh Ratri. Bola itu sebetulnya ringan, tidak terlalu keras, dan lajunya sudah berkurang, tapi itu masih mengagetkan bagi Ratri. Tanpa sadar ia melangkah mundur dan membuatnya terpeleset. Keranjang cuciannya jatuh, isinya tumpah, dan Ratri jatuh terduduk membuat baju di sekujur tubuhnya basah.

Setelah terdengar suara jatuhnya tubuh ke dalam air, suara tawa lalu meledak. Entah itu dari kelompok anak laki-laki maupun dari kelompok para gadis, suara tawa itu terdengar riuh.

Adegan itu memang lucu. Bahkan kakak Ratri juga tidak bisa menahan senyum lebarnya.

Widura yang berlarian segera bersusah payah memunguti cucian Ratri yang kembali basah kuyub dan sempat terbawa aliran sungai. Setelah memasukkan cucian ke keranjang dan meletakkannya di sebongkah batu besar, Widura mendatangi Ratri. Tapi saat itu Ratri sudah berdiri dan matanya melotot ke arah datangnya Widura. Nafas Ratri memburu menahan ledakan emosinya. Memang di tubuh Ratri tidak ada yang terasa sakit, tapi yang terasa adalah malu karena jadi bahan tertawaan.

Widura jadi salah tingkah, ingin tertawa tapi takut. Adegan terjatuh tadi memang menggelikan. Tapi bagaimanapun, walau tidak ada kesengajaan, Widura sedikit punya andil di kejadian ini. Dengan senyuman tertahan dan tingkah polah serba salah, Widura mendatangi Ratri.

Tanpa diduga, Ratri langsung menghambur ke arah Widura. Sebuah pukulan dilayangkan Ratri dengan cepat ke arah wajah bocah di hadapannya itu. Widura yang tak menduga serangan kilat itu berusaha mengelak. Tapi serangan Ratri ternyata tidak berhenti, pukulan yang lain segera menyusul. Bahkan bukan hanya pukulan, setelah menyisingkan kain panjangnya, Ratri juga melancarkan tendangan. Walau pukulan dan tendangan itu serampangan karena tidak pernah dilatih, serangan membabi buta itu membikin Widura kelabakan juga.

Sambil terus mundur mengelak, Widura mengucapkan permintaan maafnya. Tapi Ratri belum mau berhenti demi meluapkan kekesalannya. Karena pertarungan itu terjadi di tengah sungai, baju Widura sebagiannya jadi basah.

Perkelahian itu terlihat lucu. Walau gerakan Ratri serampangan, ia berhasil mendesak Widura yang gerakannya lebih mantap. Kenyataan unik tersebut membuat mereka yang menonton tetap melanjutkan tawanya.

Setelah beberapa kali pukulan dan tendangan yang tiada menemui sasaran, Ratri berhenti. Lalu terdengar ucapan Ratri penuh kekesalan, "Dasar anak laki-laki!"

Sambil masih memendekkan lehernya dan sedikit membungkuk, Widura kembali berucap, "Maaf, kami tak sengaja." Saat ini, Widura tak mau repot-repot menceritakan alur kejadian ngeloyornya bola yang memang tak sengaja diarahkan itu, penjelasan model apapun saat ini percuma.

Ratri hanya melengos, segera berbalik badan, mengambil keranjang cucian yang ada di atas bongkahan batu, dan berjalan menjauhi Widura. Sementara Widura mendekati kakak Ratri yang hanya tersenyum lucu setelah menyaksikan adegan adiknya yang melawan seorang bocah laki-laki itu.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun