Termasuk bocah bernama Widura. Ia kini makin giat bekerja membantu ayahnya. Ini karena nasihat Ki Jagabaya sehari sebelumnya.
Hari itu Widura sibuk mengayunkan cangkul menggemburkan sepetak sawah. Karena setelah dipanen, lahan itu harus diolah lagi sebelum ditanami bibit yang baru. Widura hanya ingin menjalankan nasihat Ki Jagabaya, sambil bekerja sekaligus menempa dirinya agar kelak jadi kuat. Sementara Ki Baskara jadi senang karena anaknya makin rajin bekerja.
"Widura, kalau engkau lelah istirahatlah sebentar, nanti dilanjut lagi," ucap Ki Baskara suatu ketika.
"Siap ayah, sebentar lagi," Widura menyahut.
Widura memang menghentikan pekerjaannya dan duduk beristirahat saat merasa lelah. Tetapi setelah berhenti sejenak dan tenaganya terasa telah kembali, Widura kembali berdiri dan melanjutkan pekerjaannya.
Saat siang telah tiba pada puncaknya, Nyi Baskara datang membawa makan siang ke sawah. Nyi Baskara menenteng sebuah keranjang di satu tangannya dan di sisinya Widuri memeluk sebungkus makanan.
Ketika melihat sosok istri dan anak gadis kecilnya di kejauhan, Ki Baskara menyuruh Widura menghentikan pekerjaan, "Widura, beristirahat dulu. Itu lihat, ibu dan adikmu sudah membawa makan siang kita."
Saat istirahat siang, para petani biasa makan siang di sawah. Namun ada pula yang telah cukup dengan pekerjaannya dan memutuskan pulang. Untuk kesempatan kali ini Ki Baskara harusnya baru akan menyelesaikan pekerjaannya menjelang sore, tapi karena Widura bekerja dengan semangat berlebih pekerjaan Ki Baskara jadi lebih cepat.
"Nyai, sepertinya hari ini pekerjaan kita akan cepat selesai karena Widura sangat bersemangat. Haha," Ki Baskara berkata sambil melirik anak laki-lakinya.
"Wah, bagus kalau begitu. Moga saja besok dan seterusnya juga tetap semangat. Bukan begitu Widura?" ujar Nyi Baskara sambil tersenyum ke Widura dan menambahkan, "Lagi pula anak ibu yang satu ini sudah semakin besar. Iya kan?"
"Hihi," Widura meringis dan sedikit malu-malu lalu berkata, "Aku hanya menjalankan nasihat Ki Jagabaya. Katanya kalau giat bekerja itu sama seperti giat berlatih."
Bapak dan anak itu kemudian melanjutkan kegiatan makan siang, sedangkan Nyi Baskara dan putri kecilnya menemani di sisi.
Hingga akhirnya ketika sore tiba, Widura, Sogel, dan Murti telah berada di halaman rumah Ki Jagabaya. Sedangkan Ki Jagabaya duduk santai menghadap mereka.
"Aku pinjami kalian sepasang gelang. Pakailah gelang istimewa ini di tangan dan kaki kalian. Pakailah setiap hari selama kalian beraktifitas," ucap Ki Jagabaya sambil menunjuk sesuatu yang ada di sisinya.
Tiga bocah itu segera mengambil sebuah benda yang ditunjuk Ki Jagabaya. Benda itu terbuat dari kain yang bila dibawa terasa berat. Seolah di dalam kain itu ada pemberatnya. Sambil keheranan Sogel lalu bertanya, "Ini gelang apa Ki? Kok berat sekali?"
"Gelang itu untuk melatih gerak kalian. Itu memang gelang pemberat untuk melatih kecepatan dan kekuatan gerak tangan dan kaki. Pakailah di kedua tangan dan kaki," Ki Jagabaya menjelaskan.
"Wah, gerakan kita jadi lebih berat kalau begitu," ucap Sogel.
"Iya Ki, dengan begitu gerakan kita juga jadi lebih lambat," Murti menambahkan.
"Justru karena itu, kalian harus berusaha mempercepat dan memperkuat gerakan dengan tambahan beban itu. Bila kalian bisa mempercepat dan memperkuat gerakan dengan beban tambahan, maka bila beban itu dilepas, gerakan kalian akan bertambah cepat dan kuat," Ki Jagabaya menjelaskan.
Dalam bimbingan Ki Jagabaya, Widura dan dua temannya berlatih kekuatan kuda-kuda. Dari sikap tegap mereka bergerak ke depan selangkah, ke belakang selangkah, atau ke samping. Selain kuda-kuda, mereka juga belajar mengatur, Â titik berat tubuh.
Tiga bocah ini terus mengulang-ulang gerakan mereka. Di sisi lain, sambil duduk santai Ki Jagabaya mengawasi mereka berlatih. Bila ada sedikit kekeliruan gerakan, Ki Jagabaya memberikan petunjuk gerakan yang benar.
Beberapa lama waktu berlalu, Widura dan dua temannya terus mengulang-ulang gerakan kuda-kuda. Namun intensitas gerakan mereka mulai agak menurun. Memperhatikan hal itu, Ki Jagabaya berkata, "Kalian bisa istirahat sebentar dan silakan minum dulu."
Tiga anak itu menarik napas panjang, menghentikan gerakan mereka dan berjalan menuju ke sisi Ki Jagabaya. Satu per satu mereka mengangkat kendi yang ada di situ. Mendekatkan moncong kendi ke mulut dan kesegaran air yang ada di dalam kendi pun segera mengalir berpindah ke tenggorokan mereka.
"Wah, ternyata lumayan berat juga ya," ucap Widura. Setelah menghembus napas panjang ia melanjutkan, "Tapi menyenangkan."
Ki Jagabaya hanya tersenyum mendengarkan ucapan Widura.
"Ki, mengapa kita harus mengulang-ulang gerakan ini? Lalu sampai kapan kita akan mengulangnya?" Murti bertanya.
Sambil mempertahankan posisi duduk santainya, Ki Jagabaya menjawab, "Kuda-kuda merupakan bagian penting dalam bela diri, kalian harus benar-benar memahami dan merasakan gerakannya. Agar bisa memahami, merasakan dan terbiasa maka gerakan itu harus diulang-ulang sebanyak mungkin." Ki Jagabaya berhenti sebentar sebelum akhirnya bertanya, "Nah, sampai sini apakah kalian paham?"
Murti yang tadi bertanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan dua anak yang lain juga ikutan mengangguk-angguk.
"Untuk kali ini kalian harus mengulang-ulang gerakan ini dahulu. Setiap ada kesempatan kalian kalau bisa melatih gerakan ini. Nanti bila Aki rasa cukup, Aki akan menambahkan gerakan baru, lalu kalian latih gerakan baru itu berulang-ulang, dan terus begitu," Ki Jagabaya menjelaskan.
Lagi-lagi tiga anak itu manggut-manggut.
"Ki Jagabaya, bukankah hari ini saya telah berlatih kepada Aki, dengan begitu saya telah menjadi murid Aki. Nah, bisakah kita memanggil Aki dengan sebutan Guru?" tanya Sogel dan kemudian melirik ke arah teman-temannya, "Bagaimana teman-teman?"
"Oh, iya ya. Bagaimana Ki Jagabaya?" Widura menimpali dengan pertanyaan serupa.
Sementara Murti hanya menganggukkan kepalanya dengan cepat sambil mengarahkan pandangan bertanya ke arah Ki Jagabaya.
"Hahaha," Ki Jagabaya tertawa mendengar pertanyaan anak-anak yang ada di hadapannya. Setelah tawanya terhenti Ki Jagabaya berkata, "Aki tidak mengasuh sebuah padepokan. Juga tidak bertanggung jawab penuh atas kalian. Aki hanya mengajarkan sedikit kemampuan bela diri. Sebutan Guru terasa terlalu berlebihan."
"Tapi Ki Gagabaya nyatanya hari ini mengajari kita ilmu silat, dan sampai beberapa waktu ke depan kami akan sering berlatih kepada Aki. Bukankah itu pantas disebut Guru? Lagi pula itu bisa disebut menghormati yang lebih tua," Murti berkata.
"Kalau memang begitu, terserah kalian saja. Aki mengagumi sikap kalian yang menghormati orang yang lebih tua yang kebetulan kali ini mengajarkan sedikit ilmunya," jawab Ki Jagabaya.
"Terima kasih, Guru!" ucap tiga bocah itu berbarengan.
Mereka lalu melanjutkan latihan kembali.
Angkasa telah suram ketika Widura dan dua temannya berjalan pulang dari rumah Ki Jagabaya. Badan mereka terasa pegal dan linu. Saat bocah-bocah ini mengungkapkan apa yang mereka rasakan, Ki Jagabaya menjelaskan bahwa badan mereka terasa pegal karena sebelumnya belum terbiasa. Nanti semakin lama semakin terbiasa, maka badan tidak akan mudah merasa pegal.