Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 2

15 Oktober 2024   13:39 Diperbarui: 22 Oktober 2024   06:18 64 3
Di sebuah rumah sederhana, di ruangan depan, di atas lantai tanah yang telah mengeras, selembar tikar dari anyaman daun pandan telah tergelar. Dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluhan telah menunggu kehadiran Widura dan dua bocah lainnya yang merupakan sepupu. Mereka adalah Ki Baskara, ayah widura, dan adik iparnya yang bernama Ki Sarwana, suami dari adik perempuan Ki Baskara dan sekaligus ayah dari tiga orang anak.

Dari ruang belakang datanglah seorang anak gadis berusia belasan, yang sebelumnya memanggil tiga bocah itu agar pulang,  dan ibunya. Di tangan dua perempuan ini masing-masing terdapat sewadah singkong rebus dan ubi rebus yang masih berasap. Para lelaki yang ada di ruangan itu terlihat begitu gembira melihat pemandangan itu. Bahkan bocah yang terkecil meloncat-loncat kegirangan.

Sejurus kemudian mereka ramai-ramai menikmati hidangan makan siang. Walau sederhana, karena dilakukan bersama, semua makanan yang terhidang berhasil membangkitkan selera. Sambil menikmati potongan-potongan lauk dan sayurannya, mereka membicarakan peristiwa lewatnya rombongan pejabat yang jarang sekali terjadi di desa Legang.

"Ayah, aku ingin jadi prajurit. Pandai silat dan bisa naik kuda." kata Widura untuk sekian kalinya memperdengarkan keinginannya.

"Aku juga!" dua anak lelaki Ki Sarwana menimpali.

"Boleh saja kalau kalian ingin jadi prajurit. Tapi kalian harus giat berlatih agar jadi prajurit yang perkasa. Dan juga harus mau melindungi orang lain." Ki Sarwana menasihati. Ki Baskara yang duduk di sebelahnya manggut-manggut mengiyakan.

Setelah makan siang usai, bocah-bocah kembali melanjutkan permainan di halaman rumah. Sedangkan Nyi Sarwana dan anak gadisnya membersihkan peralatan makan. Ki Baskara tetap duduk-duduk bersama adik iparnya.

"Adi Sarwana, nanti adalah malam terakhir aku menginap di rumah ini. Besok aku akan minta diri. Terima kasih sudah mau direpoti oleh kunjunganku." Ki Baskara membuka percakapan.

"Ah, Kang Baskara seperti orang lain saja. Justru aku yang berterima kasih karena kunjungannya ke rumah kami ini."

"Bukan apa-apa juga sih. Ini hanya kunjungan balasan setelah kunjungan Adi ke tempatku beberapa bulan yang lalu. Aku sudah sangat senang melihat Adi sekeluarga sehat semua."

"Syukur kepada Sang Maha Pemurah atas berkah kesehatan kepada kita semua, kang."

Setelah melewati malam yang segar karena turunnya gerimis, Widura dan Ki Baskara terbangun saat ayam jantan berkokok mendampingi hadirnya pagi. Ki Baskara membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tiba giliran Widura. Tidak lama berselang Ki sarwana, istrinya, dan anak gadisnya bergantian melakukan hal yanggg sama.

Ki Baskara merapikan bekal pakaian miliknya dan anaknya, lalu membungkus kesemuanya dalam selembar kain. Kunjungan mereka hanya dua hari dengan keseluruhan perjalanan dua hari, sehingga bekal yang dibawa tidak terlalu banyak. Setelah memastikan semua barang terbungkus rapi, Ki Baskara mengajak anaknya keluar dari bilik tempat tidur mereka.

Hari masih gelap walau langit timur mulai bersemu merah. Api penerangan rumah belum pula dimatikan. Di teras depan, Ki Sarwana telah menunggu tamunya di atas sebuah bale bambu.

"Silahkan Kang Baskara duduk dulu sambil menunggu yang hangat-hangat di sini," ujar Ki Sarwana mempersilahkan tamunya yang akan pulang.

"Oh terima kasih, adi Sarwana," jawab Ki Baskara singkat sambil menaruh pantatnya di atas bale bambu. Sementara Widura ikut duduk di sisi ayahnya.

"Bagaimana Widura? Kamu kerasan bermain-main dengan adik-adikmu?" Ki Sarwana bertanya kepada kemenakannya.

"Senang, paman. Di sini banyak teman," Widura menjawab.

"Tentu saja, karena desa Legang lebih besar daripada desa Ngalam. Tidak aneh bila jumlah anak yang seumuranmu juga banyak," sahut Ki Sarwana.

Tidak lama Nyi Sarwana muncul sambil membawa minuman jahe hangat. Kemudian anak gadisnya membawa makanan yang terbungkus daun pisang.

"Silahkan jahe hangatnya diminum, kang. Ini juga ada sedikit bekal untuk di jalan," kata Nyi Sarwana mempersilahkan kakaknya.

"Wah, pakai bekal segala, merepotkan nih," ucap Ki Baskara.

"Nggak juga, kang. Sudah aku persiapkan semalam. Ini tinggal dibungkus saja,"

Setelah meneguk hangatnya wedang jahe, Ki Baskara telah siap memulai perjalanan pulang ke desa Ngalam bersama Widura. Sebelum Ki Baskara pulang, dua bocah laki-laki dibangunkan kakaknya untuk melepas kepergian para tamu. Walau agak mengantuk, akhirnya dua bocah itu turut melepas kepulangan kakak sepupu dan pamannya itu.

Matahari masih malu-malu mengintip di balik bayangan perbukitan yang berderet di cakrawala timur. Dua sosok ayah dan anak berjalan menelusuri jalan penghubung kadipaten di wilayah kerajaan Semala. Mereka adalah Widura dan ayahnya. Mereka berjalan ke arah selatan menuju desa Ngalam. Sebuah desa yang lebih kecil bila dibandingkan desa Legang yang baru saja mereka kunjungi. Dua desa itu terletak di kadipaten yang berbeda, tapi masih di wilayah kekuasaan kerajaan yang sama. Desa Legang terletak di kadipaten Tanwe, sedangkan desa Ngalam termasuk wilayah kadipaten Dulki.

Ketika matahari mulai terasa memanasi kulit, setelah melewati beberapa desa, dua orang ayah dan anak ini berhenti berjalan. Mereka berteduh di bawah bayangan pohon yang tumbuh di dekat aliran sungai kecil yang bening menyegarkan. Setelah melepas penutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu, Ki Baskara membuka bekal ubi rebus dari Nyi Sarwana.

"Widura, ayo ini dimakan. Lumayan untuk mengganjal perut," ucap Ki Baskara ke anaknya.

"Ayah, bagaimana kaalau aku ingin belajar silat?" ucap Widura sambil mengunyah sepotong ubi rebus.

"Kamu bisa memulai dengan belajar kepada Ki Jagabaya. Sebagai kepala keamanan di desa kita, ia bisa mengajarkan sedikit ilmu silat."

Bolehkah aku minta tolong ayah meminta kesediaan Ki Jagabaya?"

"Ayah rasa itu tidak perlu. Itu bisa kamu lakukan sendiri. Ki Jagabaya orang yang baik. Selama tidak merepotkan ia akan bersedia melatihmu ilmu silat," Ki Baskara berhenti sebelum mengajukan sebuah pertanyaan. "Apakah kamu benar-benar ingin menjadi prajurit?"

"Iya Ayah. Aku kan dari dulu memang ingin jadi prajurit. Setelah kemarin bertemu langsung dengan seorang prajurit, aku jadi tambah ingin menjadi seperti mereka."

"Bila kamu memang benar-benar ingin mewujudkan keinginanmu jadi prajurit, saat usiamu sudah cukup besar, maukah kamu Ayah kirim untuk belajar silat di sebuah padepokan? Ayah tahu beberapa padepokan yang pengasuhnya cukup baik"

"Oh iya! Aku mau, ayah!" Widura segera mengiyakan tawaran ayahnya. Pandang matanya terlihat bercahaya dan berkilat-kilat.

"Tapi kamu harus giat berlatih dan bekerja di rumah terlebih dahulu. Karena untuk menjadi prajurit kamu harus terbiasa hidup rajin dan mau bekerja keras."

"Iya Ayah. Aku akan berjanji untuk makin giat melakukan apa saja," Widura meyakinkan ayahnya.

Setelah dirasa cukup Ki Baskara mengajak anaknya kembali melanjutkan perjalanan. Mereka melewati beberapa desa, pasar, persawahan, atau kebun. Sesekali mereka bahkan berjalan berbarengan dengan seseorang yang kebetulan berjalan searah. Beberapa penunggang kuda juga mereka jumpai. Widura sering bertanya tentang hal-hal yang baru ia temui di sepanjang jalan, sama seperti saat mereka melakukan perjalanan ke arah kediaman Ki Sarwana.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun