Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Meniti Jalanan Setapak 1

8 Oktober 2024   07:04 Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:43 40 4
Hari itu langit berawan tipis. Angin bergerak lembut semilir. Gerakan itu menggoyangkan dedaunan hijau dan merontokkan daun yang telah berwarna coklat. Gerakan udara itu juga membuai bulu-bulu seekor merpati yang hinggap di sebuah dahan. Sang merpati sejenak beristirahat sehabis mencarikan makanan untuk anak-anaknya yang masih belum dewasa. Kelopak matanya berkejap-kejap sesekali memandang iring-iringan di kejauhan.

Sebuah rombongan pejabat kerajaan melintas. Mereka menyusur jalanan tanah yang di sisi-sisinya dibatasi pagar hidup tanaman pendek yang rimbun. Mereka mengarah ke barat, akan memasuki desa Legang, sebuah desa yang cukup besar. Mereka adalah utusan dari kerajaan Klampis yang akan mengunjungi kotaraja kerajaan Semala.

Kerajaan Klampis adalah bawahan dari kerajaan Semala. Dalam rombongan ini terdapat seorang pejabat penting kerajaan beserta istri dan beberapa anaknya. Pejabat ini mewakili rajanya melakukan kunjungan kehormatan sekaligus mengirim upeti sebagai bukti ketundukan. Rupanya selain tugas kerajaan, si pejabat ingin mengajak keluarganya berpesiar. Tidak heran bila dalam rombongan itu ada sebuah kereta kuda yang indah dengan diiringi sejumlah pasukan berkuda.

Desa Legang termasuk wilayah pinggiran kerajaan Semala. Sejak melewati rumah yang paling ujung, rombongan itu telah disambut warga desa. Mereka berdiri di kiri-kanan jalan, berdiri di depan rumah masing-masing. Karena siang hari, yang berada di desa kebanyakan adalah para ibu, para gadis, dan anak-anak. Sebagian besar para pria berada di sawah atau kebun mereka.

Warga desa merasa sedikit tersanjung karena desanya jarang dilewati rombongan pejabat kerajaan. Sebelumnya telah tersebar kabar bahwa rombongan kerajaan Klampis akan melintas. Para ibu terkagum-kagum dengan keindahan kereta kuda yang dinaiki keluarga pejabat. Beberapa lelaki yang kebetulan tidak ke sawah, memandangi rombongan sambil manggut-manggut. Para gadis terpesona dengan kegagahan parra prajurit. Sedangkan anak-anak bersuka cita berlarian mengiringi rombongan yang berjalan perlahan.

Di antara anak-anak itu terdapat seorang anak lelaki bernama Widura. Seorang anak berusia 10 tahun. Tubuhnya sehat, wajahnya ceria, dan kulitnya gelap karena terbakar matahari,. Ia bukan anak desa itu. Ia kebetulan saja berkunjung karena diajak ayahnya mengunjungi seorang saudara. Bersama sepupunya dan anak-anak lainnya ia berlari mengiringi rombongan. Ia sangat terkesan melihat kegagahan para prajurit.

"Paman prajurit! Paman prajurit!" teriak anak-anak yang lebih kecil sambil berlarian.

Para prajurit menjawab teriakan itu dengan lambaian tangan dan senyum yang berwibawa. Badan mereka tegap dan terkesan kokoh di atas pelana kuda. Sebilah pedang dan sarungnya tergantung di pinggang. Sebagian dari mereka ada pula yang saling tertawa melihat kelucuan polah bocah-bocah desa itu. Widura semakin tergagum-kagum melihat gerak-gerik mereka.

Beberapa ratus langkah di depan rombongan, dua orang prajurit pembuka jalan berdiri di dekat kepala desa Legang dan para tokoh tua desa itu. Mereka berdiri di depan bangunan aula desa menanti lewatnya rombongan. Widura berlari mendahului rombongan mendekati salah satu prajurit.

"Paman prajurit," panggil Widura sambil terengah-engah setelah ia berdiri cukup dekat dengan si prajurit.

"Ada apa bocah?" jawab si prajurit ramah.

"Aku ingin jadi prajurit seperti paman. Bisa nggak?"

"Tentu bisa. Kamu harus jadi anak yang jujur, baik, dan harus pandai silat kalau ingin jadi prajurit."

"Baiklah. Terima kasih paman prajurit," jawab Widura spontan disertai anggukan. Matanya terlihat berbinar. Sejurus kemudian ia berlari kembali menghampiri teman-temannya yang lain. Sedangkan si prajurit hanya tersenyum-senyum memandang punggung si bocah yang makin menjauh.

Selain para prajurit yang menebar senyum, keluarga pejabat yang berada di dalam kereta juga melakukan hal yang sama. Si pejabat adalah seorang pria yang mulai memasuki usia matang. Perempuan yang di sampingnya adalah seorang perempuan muda yang cantik mempesona. Di pangkuan perempuan itu terlihat seorang bocah yang masih kecil. Di hadapan mereka seorang anak terlihat melompat-lompat kegirangan karena melihat anak-anak desa yang berlarian di sekitar kereta kuda.

"Wah, itu pastilah salah satu istri muda," kata seorang lelaki paruh baya warga desa kepada lelaki lain yang berdiri di sebelahnya.

"Memang kenapa? Kamu iri?" celetuk si teman segera.

Mereka lalu tertawa bersama sambil membayangkan betapa enak jadi pejabat kerajaan. Sudah merupakan kelaziman kalau pejabat atau bangsawan memiliki beberapa selir di samping istri yang sah. Bahkan derajat orang tua dari kalangan biasa akan terangkat bila anaknya dinikahi oleh pejabat atau bangsawan.

Setelah rombongan berlalu dari jalan desa, suasana kembali seperti biasa. Para ibu dan anak gadis kembali memasak. Mereka lalu menyiapkan makanan yang akan dibawa ke sawah untuk suami atau ayah masing-masing. Anak-anak melanjutkan permainan yang sebelumnya mereka tinggalkan. Para lelaki yang sedang tidak di sawah kembali melanjutkan pekerjaan di rumah; membelah kayu bakar, memperbaiki perkakas, atau membenahi bagian rumah.

Sementara itu tiga orang bocah terlihat sedang duduk berteduh di tepian parit persawahan di bawah sebuah pohon rindang. Mereka saling berbicara sambil melempar-lempar kerikil ke arah parit. Mereka adalah Widura dan dua saudara laki-laki sepupunya.

"Kamu tadi ngomong apa ke paman prajurit?" tanya salah seorang bocah ke Widura.

"Aku ngomong kalau aku pengen jadi prajurit," jawab Widura pendek.

"Lalu apa kata paman prajurit selanjutnya?"

"Aku bisa jadi prajurit kalau aku pandai silat, jujur, dan baik."

"Laalu apa lagi?"

"Nggak ada. Aku langsung balik ikut lari-lari lagi sama kalian."

"Memang anak kecil boleh jadi prajurit?" tiba-tiba sepupu Widura yang usianya lebih muda melontar pertanyaan heran.

Widura dan sepupunya yang ternyata kakak kandung bocah yang termuda spontan tergelak mendengar pertanyaan itu. Sesaat pertanyaan si bocah termuda tak mendapati jawaban. Si bocah hanya bisa keheranan. Ia merasa tidak melawak tapi mengapa dua saudaranya tertawa.

"Maksud pertanyaan kak Widura ke paman prajurit yang sebenarnya adalah: bisakah kak Widura ketika besar nanti jadi prajurit. Bukannya bisakah sekarang langsung jadi prajurit," Widura menjelaskan ke sepupunya yang lebih muda itu setelah tawanya reda. Dan si bocah pun menganggukkkkkkkk-angguk.

Pembicaraan mereka kembali membahas kegagahan para prajurit yang baru lewat di tengah desa itu.Mereka membahas betapa bagus kuda yang dinaiki para prajurit, betapa bagus baju yang mereka gunakan, dan lain sebagainya. Apapun yang dikenakan para prajurit bisa mereka jadikan bahan percakapan.

Di tengah-tengah percakapan itu, terdengar suara perempuan belia memanggil nama mereka dari kejauhan. Rupanya itu kakak tertua dari dua sepupu yang sedang bersama Widura sekarang. Ternyata yang barusan adalah panggilan makan siang. Maka segera mereka menghambur pulang.

Sesampainya di rumah tiga bocah itu langsung menuju ke halaman belakang. Mereka membasuh kaki, tangan, dan wajah masing-masing dengan air di jambangan. Lalu bersama-sama, mereka memasuki rumah sederhana itu dari pintu samping.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun