Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pemerintah NKRI (yang) Merusak Islam di Nusantara

29 Januari 2012   06:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20 1002 2
Sedikit ingatan pada masa lalu, pada waktu masih di SR/SD, SMP, SMA, sahabat karib saya (entah kebetulan atau tidak, kami selalu ada di kelas yang sama, dan selalu duduk sebangku) bernama Samsudin Abdurachman; anak dari seorang Kupang keturunan Arab; begitu akrab, sampai-sampai  tanda tangan kami pun hampir sama, sama-sama didasari huruf-huruf  SAJA (ejaan lama, Samsudin - Jappy; ada banyak buku, meja, pohon, dinding yang bergrafiti SAJA, dan orang tahu itu dari/artinya Samsudin - Jappy).  Melalui Samsudin (seorang Muslim yang taat),  saya (seorang Kristen yang taat) mengenal Islam dan sikap-sikap Muslim/mah (bahkan mengenal komunitas Muslim di Kupang). Waktu masih di SMP, kami membagi Kitab Suci,
Samsudin memberi ku Al Quran (dan terjemahan HB Jassin), dan saya memberikan kepada Alkitab, tujuannya agar kami saling mengerti satu sama lain. Bahkan, ketika di SMP, saya sempat belajar alif - ba - ta darinya. Dari interaksi tersebut, ternyata, saya menemukan Muslim/mah yang ramah, toleran, dan mau bergaul dengan siapa pun. Dan itu tertanam dalam diri ku sampai saya merantau (keluar dari Kupang).  Ketika tamat SMA, kami berpisah, Samsudin masuk Fak Peternakan, saya Masuk ke Jurs Matematika; kami tetap dekat walau agak jauh karena sibuk kuliah. (Sampai sini, saya dan Samsudin tetap berteman dalam hati dan jiwa. Tapi, kami sama sekali putus hubungan ketika Samsudin lulus dan bekerja di Timur Timur, serta terbunu di daerah konflik tersebut).
Ketika saya total pindah ke luar NTT, dan kuliah di Semarang; saya pun tinggal di wilayah yang bisa dikatakan, cuma saya yang Kristen. Dengan pemahaman tetang yang ada pada ku, interaksi dengan teman-teman kampus, orang-orang di sekitar tempat tinggal ku, juga sama; mereka memperlihatkan Islam yang  tak jauh berbeda dengan dengan dari Islamnya Samsudin, sahabat karib ku,  dan sahabat-sahabat Muslim ku di Kupang.
Ketika, mulai berkarya (dan harus berpindah-pindah sesuai tuntutan tugas) dan tinggal di Cirebon, Ambarawa, Salatiga, Boyolali, Magelang, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, dan juga pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau, interaksi (dan menemukan) Islam - Muslim/mah yang hampir sama dengan apa yang di dapat dari Samsudin dan teman-teman ku di Semarang dan sekitarnya.
Melengkapi, pengetahuan (ku) tentang Islam  (belajar dari cara hidup orang Islam),  ku belajar Islamalogi di Jawa Tengah (dari beberapa sumber ternama) dan juga di Jakarta (ini pun dari orang-orang yang tak diragukan pengetahuan tentang Islam).  Dan sampai titik ini, (dan ini adalah kelemahan terbesar ku dalam memahami Islam), ku hanya memahami Islam main stream, arus utama yang menyenangkan, sambil memangdang sebelah mata terhadap riak-riak kecil yang tak perlu.
itulah cerita lama, yang membekas, dan ku selalu rindu tetap ada dan terus ada
Titik Manis dan Kenangan Manis itu tiba-tiba (dan mulai) berubah, ketika (jelang Natal dan setelah) tahun 2000, ada peristiwa yang mencekam, rentetan bom meledak di sejumlah Gereja di Nusantara.
Sehari setelah, ku harus masuk kerja, sempat mengumpulkan anak-anak didik (yang Protestan - Katolik, ada juga yang anggota keluarganya menjadi korban) di salah satu ruangan, sambil memberikan petuah agar tenang, tegar, dan tenang; lucunya, pimpinan ku ketika itu, yang seorang pakar pendidikan dan selalu muncul di media, tidak bereaksi apa-apa, padahal ada keluarga anak didiknya yang menjadi korban; tidak ada nada empati - simpati, bahkan tak nada dan kata prihatin dari mereka yang lain; aneh; seakan mereka juga setuju dengan rangkaian ledakan mematikan tersebut.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun