Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut MK) tidak terlepas dari perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan penambahan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai penjelmaan rakyat Indonesia, MPR didaulat menjadi lembaga tertinggi negara dimana setiap produk hukum dan kebijakan yang dikeluarkan adalah keputusan tertinggi yang wajib dilaksanakan seperti UUD dan TAP MPR.
Setelah perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi lembaga tertinggi karena kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menruut UUD. Artinya, setiap keputusan dan produk hukum yang dibentuk wakil rakyat tidak boleh bertentangan dengan UUD sebagai hukum tertinggi (konstitusi) di Negara Indonesia. Hal ini kemudian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Indonesia adalah negara hukum. Setiap tindakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan kepada hukum.
Untuk meneguhkan cita-cita sebagai negara hukum demokratis, maka dibentuk MK. Merujuk Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, salah satu kewenangan MK adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pemberian kewenangan ini bertujuan untuk mempurifikasi atau memurnikan serta menjaga konsistensi norma Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) yang sarat dengan kepentingan politik menjadi produk hukum yang tidak bertentangan dengan norma UUD.
Lahirnya Konsep Open Legal Policy
Berdasarkan kewenangan pengujian UU tersebut, MK dapat memutuskan apakah suatu norma UU, baik sebagian atau seluruhnya, bersesuaian dengan norma UUD NRI Tahun 1945 (konstitusional) atau justru bertentangan (inkonstitusional). Dari kewenangan pengujian UU tersebut, MK melahirkan beberapa model putusan yakni, dikabulkan, dikabulkan sebagian, konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, ditolak dan tidak dapat diterima.
Yang sangat menarik untuk dikaji adalah ketika MK menolak permohonan pengujian UU. Secara sederhana, permohonan pengujian UU akan ditolak jika MK menilai bahwa norma UU tidak bertentangan dengan norma UUD. Namun, pemahamannya ternyata tidak sesederhana itu. Jika dikaji lebih lanjut, penolakan perkara pengujian UU dapat disebabkan 2 hal, pertama, memang secara eksplisit maupun implisit, norma UU yang diuji tidak bertentangan dengan UUD; Kedua, norma UU merupakan delegasi kewenangan terbuka dari UUD. Poin kedua ini kemudian sering disebut kebijakan hukum terbuka atau open legal policy.
Istilah open legal policy mulai dikenal sejak Putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005. Merujuk Putusan MK tersebut, konsep open legal policy suatu norma UU yang memenuhi beberapa persyaratan seperti: pertama, pilihan kebijakan hukum tersebut tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk UU; Kedua, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan; dan ketiga, tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Konsep open legal policy tersebut kemudian dilengkapi atau diperjelas dalam Putusan-Putusan MK berikutnya. Misalnya Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 mengatakan bahwa sebuah norma disebut open legal policy jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka pembentuk UU. Meskipun seandainya isi suatu UU dinilai buruk, MK tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau norma UU tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang tidak bisa ditoleransi. Pertimbangan-pertimbangan inilah kemudian yang menjadi dasar MK menolak banyak permohonan pengujian ambang batas pencalonan Presiden/Wakil Presiden (presidential threshold) dan menyatakannya sebagai open legal policy.
Presidential Threshold sebagai Open Legal Policy
Secara sederhana, ambang batas pencalonan Presiden/Wakil Presiden adalah syarat minimal yang harus dimiliki oleh partai politik/gabungan partai politik agar dapat mencalonkan Presiden/Wakil Presiden. Merujuk Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, ambang batas pencalonan Presiden/Wakil Presiden adalah partai politik atau gabungan partai politik memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah dalam pemilu nasional.
Ketentuan presidential threshold (selanjutnya disebut PT) ini sudah berulang kali digugat ke MK. Hingga tulisan ini dibuat, Putusan MK Nomor 4/PUU-XXI/2023 adalah putusan ke 27 dimana MK konsisten menyatakan PT sebagai open legal policy. PT tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat UU; tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan; dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 (Mardian Wibowo, 2015)..
Tiga Alasan PT Inkonstitusional
Hemat penulis, PT sebagai open legal policy masih menyisakan sederet problematika. Setidaknya terdapat tiga alasan penulis menyatakan demikian. Pertama, membuka peluang sewenang-wenang pembentuk UU. Kebebasan yang dimiliki pembentuk UU merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi, konsep open legal policy akan memberikan kesempatan yang sangat luas bagi pembentuk UU untuk mengatur negara dan meminimalisir kekosongan hukum. Namun di sisi lain, dapat menjadi bahaya yang akan membuka peluang bagi pembentuk UU bertindak sewenang-wenang dalam menentukan apa dan bagaimana suatu materi muatan UU.
Memang secara formil, pembentuk UU tidak melampaui kewenangannya dalam mengatur PT. Bagaimanapun, DPR dan Presiden memiliki kewenangan membentuk UU Pemilu sebagai bentuk pengaturan lebih lanjut dari Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Namun secara materil, DPR dan Presiden sangat berpotensi melakukan tindakan sewenang-wenang dalam penentuan besaran PT yang mengakibatkan berkurang bahkan hilangnya kesempatan partai politik untuk mencalonkan Presiden/Wakil Presiden. Di sisi lain, hal ini juga akan mengurangi hak warga negara untuk dipilih dan memilih calon Presiden/Wakil Presiden. Misalnya, jika koalisi partai pendukung calon Presiden/Wakil Presiden incumbent menjadi mayoritas di DPR, maka bisa saja mengatur angka PT 50 persen. Apakah PT 50 persen tersebut masih demokratis? Dapat dipastikan bahwa kondisi tersebut akan merusak tatanan demokrasi dan cenderung menuju otoritarianisme. Potensi atau kemungkinan seperti ini sangat terbuka, apalagi Pasal 235 UU Nomor 7 Tahun 2017 memberikan peluang hadirnya calon tunggal Presiden/Wakil Presiden.
Kedua, PT berpotensi menghilangkan hak partai politik untuk mengusung calon serta hak warga negara untuk dipilih dan memilih Calon Presiden/Wakil Presiden. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mendasarkan PT pada pemilu sebelumnya. Ketentuan ini sangat diskriminatif bagi partai politik yang baru mengikuti kontestasi pemilu. Padahal, Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sudah tegas mengatur hak setiap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan Presiden/Wakil Presiden.
Hilangnya hak mengusulkan, memilih dan dipilih ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, dimana setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Padahal, tercapainya cita negara hukum itu tidak terlepas dari keberadaan peraturan perundang-undangan yang baik dan berkualitas. Dalam pandangan Sudjito (2017), peraturan perundang-undangan yang baik dan berkualitas adalah peraturan perundang-undangan yang mampu menggaransi hak dan kewajiban setiap komponen bangsa, tanpa adanya penindasan yang kuat terhadap yang lemah. Dengan demikian, setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk wajib bersumber pada sistem nilai-nilai yang sudah disepakati bangsa ini sebagai sumber dari segala sumber hukum, yakni Pancasila.
Tidak Diperintahkan UUD
Ketiga, penentuan PT tidak diperintahkan UUD. Jika melihat dari perspektif penafsiran konstitusi, maka PT seharusnya tidak boleh dikategorikan sebagai bagian dari open legal policy. Selain karena UUD NRI Tahun 1945 sudah mengatur dengan tegas bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mencalonkan Presiden/Wakil Presiden, UUD NRI Tahun 1945 juga tidak mendelegasikan syarat tersebut untuk diatur lebih lanjut dengan UU. Ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 hanya mendelegasikan mengenai tata cara pelaksanaan pilpres.
Tata cara pelaksanaan tentu sangat berbeda dengan persyaratan. Tata cara pelaksanaan lebih kepada aspek formil atau prosedur, sedangkan persyaratan merupakan aspek materil. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tata cara pelaksanaan pemilihan presiden/wakil presiden adalah aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam proses melakukan pemilihan presiden.
Hukum Progresif
Oleh karena itu, di usianya yang ke 20 tahun, diharapkan MK lebih responsif dengan mengimplementasikan nilai dan prinsip konstitusi secara progresif demi penegakan kedaulatan rakyat dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Masih sangat jelas terekam dalam ingatan ketika MK gagah berani menafikan eksistensinya sebagai negative legislature dengan memberlakukan KTP sebagai syarat memilih pada pemilu 2009 (Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009). Bahkan baru-baru ini MK konsisten dengan sistem pemilu proporsional terbuka dan tidak mau tunduk kepada partai politik penguasa yang menginginkan pemberlakuan kembali sistem pemilu proporsional tertutup. Padahal banyak pengamat hukum menilai bahwa masalah sistem pemilu sesungguhnya merupakan open legal policy (Putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022).
Demi menjaga peradaban konstitusi sebagai tolok ukur dan acuan dalam kehidupan berbangsa, maka terobosan hukum atau progresifisme serupa sangat diharapkan dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ketika mengadili presidential threshold. Bagaimanapun, sebagai the guardian of constitution, MK tidak boleh terlalu sering sembunyi di balik open legal policy. Apalagi jika perkara tersebut sangat urgen dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara dan nyata-nyata mengangkangi prinsip kedaulatan rakyat..
Akhir kata, selamat ulang tahun ke 20 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Semoga tetap menjadi peradilan modern dan terpercaya demi menciptakan negara hukum demokratis. ***