Dalam obrolan santai di sebuah warung kopi, saya dan beberapa teman berbincang hangat ditemani kopi hitam pekat. Salah satu teman saya, termasuk Pak Yusdani, yang menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM) Yogyakarta, menceritakan sebuah anekdot menarik tentang Prof. Mahfud MD. Ceritanya, saat Prof. Mahfud diminta menjadi Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), muncul komentar dari masyarakat Madura yang berbunyi, "Mahfud MD, dokter kok jadi mantri."
Ungkapan ini, meskipun terkesan sederhana, menyimpan ironi yang mendalam. Orang yang mengucapkannya tampaknya salah paham. Mereka mengira Prof. Mahfud adalah seorang dokter medis, sehingga jabatan menteri dipandang seperti "turun kasta" menjadi seorang mantri, profesi yang dianggap lebih rendah dalam sistem pelayanan kesehatan. Padahal, yang dimaksud "dokter" di sini adalah doktor, gelar akademik tertinggi yang diperoleh setelah menyelesaikan studi S3.
Cerita ini mengingatkan saya pada kisah lain yang tak kalah menarik dalam politik Indonesia. Baru-baru ini, menjelang pilkada, beredar video-video yang menampilkan tokoh-tokoh besar seperti Presiden ke-7 Jokowi dan Presiden RI Prabowo Subianto yang ikut berkampanye untuk kandidat kepala daerah. Dalam konteks ini, muncul perdebatan tentang apakah keterlibatan tokoh nasional seperti mantan presiden atau presiden RI dalam urusan lokal adalah hal yang wajar.
Namun, ada kisah yang lebih menggelitik perhatian saya: seorang presiden partai politik yang mencalonkan diri sebagai gubernur. Kasus ini terjadi pada Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang memutuskan untuk turun gelanggang dalam pemilihan kepala daerah sebagai calon gubernur. Langkah ini mengundang berbagai reaksi, mulai dari rasa heran hingga cibiran.
Mengapa? Karena posisi presiden partai adalah jabatan strategis yang melibatkan pengelolaan partai secara nasional, termasuk merancang strategi politik untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebaliknya, jabatan gubernur "hanya" mengurusi satu provinsi saja. Bagi sebagian orang, ini terlihat seperti "turun kasta" dalam hierarki politik.
Yang membuat cerita ini semakin menarik adalah hasil akhirnya. Presiden PKS tersebut tidak berhasil memenangkan pemilihan gubernur. Lebih ironis lagi, ia telah melepaskan posisinya sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029, sebuah kursi yang memberikan akses langsung untuk memengaruhi kebijakan nasional. Akibatnya, ia kehilangan dua posisi penting sekaligus: kursi anggota legislatif dan jabatan gubernur yang diincarnya.
Fenomena ini tentu memancing pertanyaan besar: apa motivasi di balik keputusan seperti ini? Apakah ini hanya sebuah strategi politik yang keliru, ataukah ada faktor lain yang lebih dalam, seperti ambisi pribadi atau tekanan partai?
Dari sini, kita bisa merenung lebih jauh tentang bagaimana masyarakat memandang jabatan politik. Apakah jabatan lebih dipandang sebagai status sosial ataukah sebagai alat untuk memberikan dampak yang lebih besar bagi masyarakat? Dalam konteks ini, pertanyaan tentang "turun kasta" menjadi menarik untuk didiskusikan.
Ada yang berpendapat bahwa jabatan tidak seharusnya diukur berdasarkan tingkatan hierarki, melainkan kontribusi yang dapat diberikan. Namun, dalam kasus ini, sulit untuk mengabaikan fakta bahwa kehilangan dua posisi strategis demi ambisi yang belum tentu tercapai adalah langkah yang penuh risiko.
Politik Indonesia memang unik. Di satu sisi, ia bisa menjadi arena perjuangan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Namun di sisi lain, ia juga sering kali menjadi panggung drama yang penuh kejutan dan ironi. Dari seorang doktor yang dianggap "mantri" hingga presiden partai yang turun menjadi calon gubernur, cerita-cerita seperti ini memberikan warna tersendiri dalam perjalanan bangsa.
Jadi, menurut pembaca, mana yang lebih lucu: seorang doktor yang salah dipahami sebagai mantri, atau seorang presiden partai yang kehilangan segalanya karena ambisi menjadi gubernur? Politik memang sering kali penuh paradoks, dan inilah yang membuatnya selalu menarik untuk diperbincangkan.