“26.800 itulah jumlah artikel yang akan muncul, saat anda mengetik Tan Malaka pada kolom search Kompasiana. Ribuan artikel dari berbagai media baik itu cetak, dan elektronik. Mulai dari sebuah blog, surat kabar, hingga sebuah buku biografi dari seorang Dr. Harry A Poeze. Tetap saja tak mampu merubah imbas dari cekalan sejarah orde baru terhadapnya. Tan Malaka, semoga kobaran api perjuangannya tetap menyala meski ia di hujat dan dilupakan bahkan setelah setengah abad tidur abadinya. (tulisan ini lanjutan dari, http://sejarah.kompasiana.com/2014/03/02/tan-malaka-pahlawan-yang-dilupakan-635872.html ) ”.
Memang benar ia beraliran kiri, memang benar dia seorang sosialis, dan memang benar dia wakil Komintern Asia Tenggara. Lalu karena ini, ia dilupakan dan dicekal sejarahnya? Seorang Ibrahim Datuk Tan Malaka, berdarah merah dan putih tulangnya. Bertumpah darah indonesia dan islam sebagai agamanya, apa tega dia menyerahkan kampung halamanya pada kaum kiri yang konon tak mengenal agama?. Sejarah di bangku sekolah mengajarkan generasi tua bagaimana “Komunisnya” seorang Tan Malaka. Berawal dari anti patinya TENTARA pada sosoknya karena paham yang kiri “katanya”, hingga ditembak mati oleh Suradi Takebek atas perintah Letnan Soekotjo di Desa Selopanggung, Kediri.
Saya harap generasi kita tidak lagi buta terhadap sosoknya, sudah cukup 30 tahun orde baru membrangusnya. Saya harap, generasi kita lebih menghargai jasa dan sosoknya, hingga tidak adalagi pertanyaan dari kaum muda, “Siapa itu Tan Malaka?”. Namun ironisnya bukan hanya Tan Malak yang terlupa, sedikit demi sedikit pahlawan lainya pun akan terlindas oleh masa, jika anak muda tetap begini adanya. Butuh berapa banyak buku, dan artikel lagi untuk menghidupkan sosoknya, agar sejajar dengan pendiri bangsa lainnya?. Disegani di Eropa namun tak dikenal di tanah airnya.
Saya maklumi jika nama Tan Malaka tak terlalu familiar di ingatan kaum muda, jika itu terjadi lima tahun setelah reformasi. Namun ini sudah sepuluh tahun lamanya, reformasi tetap tak merubah sejarahnya yang dicekal penguasa pada zamannya. Berbuih mulut lantang bersuara, kriting jemari menyebarkan sejarahnya, tetap saja Tan Malak lekang dari ingatan bangsanya. Barang kali ada benarnya monumen Tan Malak secepatnya didirikan saja, agar kaum muda seperti saya tak “kualat” pada pendahulunya. Pendahulu yang bahkan belum ditemukan makamnya.
Huuuuft barangkali itu yang kaum muda rasa, saat tahu sejarah Tan Malaka yang coba di bredel penguasa. Haru, sedih, kasihan, dan bangga, jujur itu yang saya rasa. Mungkinkah yang kita terima saat ini adalah buah menganiaya pendahulu yang begitu besar pengorbananya bagi bangsa?, atau Indonesia yang seperti ini memang takdir dari yang maha kuasa? Semoga tidak keduanya. Saya harap kisah kobaran perjuangan Tan Malak tidak hanya berhenti pada tulisan saya, tidak hanya berhenti di Kompasiana, dan mudahan tidak pernah berhenti selamanya, bahkan jika itu sehari sebelum kiamat menyapa.