Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bunuh Diri di Bulan Puasa: Renungan Kemerdekaan

13 Agustus 2010   09:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:04 169 0
[caption id="attachment_225027" align="alignright" width="300" caption="sumber: panjitriyadi.blogdetik.com"][/caption] Beberapa hari terakhir, dunia pemberitaan diramaikan dengan banyaknya peristiwa bunuh diri. Tanggal 12 kemarin, seorang nenek mencoba bunuh diri dengan melompat dari lantai 8 RSCM Jakarta. Di bekasi seorang lelaki mencoba bunuh diri karena merasa ditinggal pacarnya. Di Pacitan seorang siswi SMP rela menenggak racun karena diputus cintanya oleh sang pacar. Di Sleman seorang ibu bersama dua anaknya nekat membakar diri karena sang ibu dibakar cemburu pada suaminya. Di Lumajang, seorang ibu menenggak racun tikus karena merasa hidupnya susah terbelit hutang. Bagi para pelaku, tampaknya bunuh diri merupakan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan hidup mereka. Patut kita bertanya, ada apa dengan masyarakat kita.

Persoalan cinta dan kesulitan ekonomi rupanya masih menjadi pemicu utama meningkatnya kasus bunuh diri. Mungkin sebagian besar kita berpendapat bahwa hanya orang yang lemah imannya saja yang memilih tindakan bunuh diri. Sebagian lagi mengatakan bahwa pelaku kurang sabar, kurang tabah dan tawakal menghadapi cobaan hidup. Sebagian lainnya menuduh kemalasan sebagai sumber penyebab masalah. Jika pendapat-pendapat tersebut dirangkum menjadi satu kalimat, maka kebodohan dan kemiskinanlah sumber utama mudahnya orang melakukan bunuh diri.

Orang, di luar lingkungan si pelaku bunuh diri, boleh saja berpendapat demikian. Namun dari sudut pandang pelaku akan lain lagi ceritanya. Mereka merasa sudah semaksimal mungkin berusaha untuk bertahan. Mengelus dada dan mengulang-ulang kata sabar setiap hari. Bagi yang miskin dan kekurangan, menahan haus dan lapar, membanting tulang memeras keringat, merupakan rutinitas harian yang tidak pantas dikatakan merupakan cermin kemalasan mereka. Maka, ketika mereka mendengar nasehat bahwa orang harus bersabar, memperbanyak doa dan puasa, jangan menjadi orang yang malas, sungguh, itu terasa amat menyakitkan bagi mereka. Begitu luar biasa perjuangan mereka yang kesulitan ekonomi untuk bertahan hidup sampai harapan itu menjadi sia-sia dan tinggalah pilihan terakhir: bunuh diri!

Kebodohan dan kemiskinan memang seperti lingkaran setan yang sulit diputus. Mahalnya biaya untuk pintar di Indonesia membuat si miskin memilih tidak sekolah. Akibatnya kebodohan tetap lestari dan melahirkan kemiskinan baru. Kebodohan juga menjadikan orang kehilangan kreativitas, tumpul inisiatif, berpikiran pendek dan buta terhadap kesempatan. Hal ini masih ditambah lagi termakan oleh orang-orang pintar yang serakah dan egois. Sehingga tampak benar peribahasa mengatakan orang bodoh menjadi makanan orang pintar.

Solusi seringkali berpijak dari sudut si kaya dan kuat sehingga yang ditawarkan senantiasa berkutat pada masalah “moral” si miskin. Yang miskin dan menderita menjadi semakin buruk karena diembel-embeli pemalas dan kurang beriman pada Tuhan. Seolah-olah bunuh diri adalah risiko yang harus ditanggung karena mereka bodoh, malas dan tidak beriman kepada Tuhan. Tidakkah ini menjadi dorongan bunuh diri baru bagi mereka? Bagaimana mereka dapat beribadah dengan baik jika perut lapar dan kepala pening menahan letih badan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun