Kalau mengenang kembali tradisi marpangir yang dilakukan teman-teman saya semasa remaja sekitar tahun 1988 - 1995, tradisi ini masih rutin dilaksanakan di sungai Batang Gadis yang sekarang telah berubah menjadi bagian dari bendungan irigasi. Ada juga yang rela naik angkutan umum atau mobil pickup terbuka menuju Aek Sijorni di Kecamatan Sayur Matinggi, Tapanuli Selatan.
Mandailing Natal adalah sebuah kabupaten yang dibentuk dari hasil pemekaran Tapanuli Selatan pada tahun 1999. Beberapa kawasan yang dulu dijadikan sentra mandi bersama untuk marpangir telah berubah situasinya, beberapa sungai yang dulu dijadikan tempat marpangir airnya sudah tak jernih lagi, masyarakat yang ingin mandi di sungai juga sudah sangat was-was terutama dengan kondisi air yang berwarna kecoklatan.
Mungkin ada pengaruh dari makin banyaknya kawasan hutan di daerah Mandailing Natal yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit atau makin masifnya penebangan hutan menyebabkan sungai-sungai di Mandailing Natal banyak yang mengalami kekeringan pada saat musim kemarau dan banjir bandang saat musim hujan.
Saya berharap, Tradisi Marpangir masih tetap dilestarikan secara turun temurun demi untuk melestarikan tradisi ini. Masyarakat yang ramai-ramai datang ke sungai atau tempat pemandian untuk marpangir adalah untuk melakukan pembersihan diri dengan ramuan yang terdiri dari daun pandan, bunga kenanga, akar wangi dan ampas kelapa dan jeruk limau atau jeruk purut.
Ada juga yang komposisi ramuannya perpaduan dari beberapa potong jeruk purut/jeruk limau. Ditambah mayang pohon pinang, beberapa helai daun pandan, daun nilam, akar pohon usar dan lainnya. Tergantung selera masing-masing yang penting tujuannya untuk membersihkan diri menyambut bulan suci Ramadhan.
Banyak kalangan yang mengatakan kalau tradisi marpangir sah-sah saja dilakukan asal tidak jadi sarana penyembahan berhala atau mengikuti pola yang salah. Yang paling penting adalah niatnya untuk membersihkan badan menyambut bulan suci Ramdhan.