Andi Mallarangeng berkilah bahwa yang ia maksudkan dengan kata-kata itu adalah agar rakyat Makassar memilih Susilo Bambang Yudhoyono dan bukan Muhammad Jusuf Kalla yang adalah orang Bugis. Ia bahkan menyebutkan bahwa kata-kata itu merupakan tanggapan dari pernyataan dalam kampanye Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto yang menyerukan agar orang Bugis untuk memilih orang Bugis.
Di sinilah letak ketidakpekaan Andi Mallarangeng sebagai akademisi yang bermain-main di panggung politik. Seandainya ia mengatakan kepada masyarakat Makassar bahwa orang Bugis tidak harus memilih orang Bugis, atau pilihnya Susilo Bambang Yudhoyono dan bukan Muhammad Jusuf Kalla mungkin reaksi masyarakat Makassar akan berbeda.
Mengingat dengan menyatakan bahwa orang Bugis belum saatnya memimpin negara Indonesia, seakan-akan posisi orang Bugis lebih rendah daripada suku bangsa lainnya, terutama orang Jawa. Itulah yang membuat masyarakat Makassar menganggap pernyataan Andi Mallarangeng sebagai penghinaan.
Memang sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri 17 Agustus 1945, atau 64 tahun lalu, hampir semua presidennya adalah orang Jawa, suku bangsa mayoritas. Mulai dari Presiden Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Memang pada tahun 1998, ada Presiden BJ Habibie yang merupakan orang Makassar, tetapi pada waktu itu kasusnya berbeda. Habibie yang pada waktu itu berkedudukan sebagai wakil presiden, menjadi presiden karena menggantikan Presiden Soeharto yang mundur dari jabatannya.
Kenyataan itu menyebabkan, walaupun tidak pernah diungkapkan secara terbuka, tetapi muncul anggapan umum bahwa hanya orang Jawa-lah yang dapat memimpin negara ini. Meskipun kecenderungannya memang seperti itu, tetapi dengan mengungkapkannya secara terbuka bisa melukai hati suku bangsa Indonesia yang lain.
Dan, itulah yang terjadi akibat pernyataan Andi Mallarangeng pada tanggal 1 Juli lalu di GOR Mattoangin. Luka itu sudah terjadi, dan untuk itu Andi Mallarangeng tidak mempunyai pilihan lain kecuali dengan rendah hati meminta maaf. Sikap Andi Mallarangeng yang berkeras tidak mau meminta maaf hanya akan membuat luka itu semakin dalam, dan berpotensi merugikan posisi Susilo Bambang Yudhoyono yang difavoritkan oleh berbagai polling atau jajak pendapat akan terpilih kembali menjadi presiden.
Jangan sampai kekerasan hati, untuk tidak mengatakan keangkuhan, Andi Mallarangeng akan mendorong masyarakat untuk memilih Muhammad Jusuf Kalla sebagai calon presiden yang non-Jawa, dalam hal ini Bugis. Susilo Bambang Yudhoyono desaklah Andi Mallarangeng untuk minta maaf, jangan sampai Bapak menyesal. Ingatlah, penyesalan selalu datang terlambat.
Mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin adalah sikap yang gegabah. Jika kita melihat bagaimana Amerika Serikat bisa memiliki presiden berkulit hitam, mengapa kita di Indonesia tidak bisa memilih presiden non-Jawa.
Memang demokrasi Amerika Serikat telah berumur lebih dari 200 tahun, tetapi satu tahun sebelumnya, siapa yang menyangka bahwa seorang kulit hitam dan pernah bersekolah dasar di luar negeri (di Indonesia) dapat keluar sebagai pemenang dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Semangat keindonesiaan, atau Bhinneka Tunggal Ika, yang tumbuh sejak 17 Agustus 1945, atau 64 tahun lalu, bukan tidak mungkin sudah cukup matang untuk tidak menolak presiden yang berasal dari suku non-Jawa. Namun, jika belum mungkin, maka calon presiden lain yang berasal dari suku Jawa, dalam hal ini Megawati Soekarnoputri akan mempunyai peluang untuk menangkap limpahan suara yang beralih dari Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam polling-polling Megawati Soekarnoputri selalu menempati posisi yang terakhir. Namun, polling itu bukan pemilihan presiden yang baru akan berlangsung pada tanggal 8 Juli mendatang. Apa pun dapat terjadi pada tanggal 8 Juli itu, itu sebabnya, Susilo Bambang Yudhoyono harus berhati-hati dalam melangkah dan mengamankan langkah untuk meraih kembali jabatan presiden.(JL)