[caption id="attachment_149" align="alignleft" width="298" caption="Sosialisasi pemilu kepada pelajar/Dhoni Setiawan (Kompas.com)"][/caption] Kali ini, saya memutuskan untuk meninggalkan bidang otomotif sejenak, dan mencoba menulis tentang Pemilihan Umum 2009 yang menurut saya layak dikomentari. Menurut saya, dari cara melihat hasil Pemilu 2009 ada yang kurang pas, atau kurang runtut. Contohnya, untuk melihat perolehan partai-partai pada Pemilu 2009, orang langsung membandingkannya dengan dengan hasil perolehan partai-partai yang sama pada Pemilu 2004. Dengan demikian, Partai Demokrat yang pada tahun 2004 memperoleh suara 7,54 persen dan pada tahun 2009 mendapatkan 20,5 persen, langsung dianggap ada kecurangan. Apalagi Golkar yang pada tahun 2004 mendapatkan suara terbanyak 21,58 persen, kini pada tahun 2009 hanya meraih 14,2 persen, serta PDI-P pada Pemilu 2004 mendapatkan tempat kedua dengan 18,53 persen, kini pada Pemilu 2009 hanya mendapat 14,6 persen. Banyak yang lupa untuk juga melihat hasil Pemilihan Presiden yang pada tahun 2004, tiba-tiba bisa memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya diusulkan oleh Partai Demokrat yang dalam Pemilu 2004 hanya memperoleh 7,54 persen suara. Bayangkan Yudhoyono bisa menyingkirkan calon dari PDI-P, yang notabene adalah Presiden Indonesia, dan juga mengalahkan calon dari Golkar yang telah memiliki bangunan politik yang kokoh. Dalam pemilihan presiden putaran pertama, 5 Juli 2004, Yudhoyono dengan cepat meraih tempat pertama. Sampai pukul 22.00, 7 Juli 2004, raihan suara Yudhoyono mencapai 33,86 persen dari 70.692.339 suara yang sudah masuk. Diikuti oleh Megawati (26,17 persen), Wiranto 22,12 persen, Amien Rais (14,69 persen), dan Hamzah Haz (3,17 persen). Sukses besar Yudhoyono itu diulangnya kembali pada pemilihan presiden putaran kedua, 20 September 2004. Sampai pada pukul 23.00, telah mencatat 37,0 juta masuk dari 32 provinsi. udhoyono sudah meraup 22,1 juta (59,79 persen) sedangkan Megawati meraih 14,9 juta (40,21 persen).
Sudah berubah Apa yang terjadi pada Pemilihan Presiden 2004 menunjukkan bahwa masyarakat sudah berubah. Ketika orang diharuskan memilih dalam pemilihan umum, indoktrinasi, dan bangunan politik menjadi tidak penting lagi. Mengingat keterikatan orang dengan partai politik yang didasarkan pada loyalitas sudah hilang. Orang lebih memilih figur yang ”dirasakan” dikenalnya, ketimbang tokoh di dalam dunia politik yang dibentuk oleh bangunan-bangunan politik. Itu juga yang menjelaskan mengapa para artis atau selebriti, bisa mengalahkan tokoh-tokoh senior partai atau bahkan salah seorang ketua partai politik dalam raihan suara. Dan, kalau saja rakyat memiliki loyalitas terhadap Partai Golkar atau terhadap PDI-P, maka secara teoretis seharusnya Partai Demokrat tidak bisa menyodok setinggi itu. Itu sebabnya, kalau kita mempelajari dengan saksama apa yang terjadi pada Pemilihan Presiden 2004, maka seharusnya kita menyadari bahwa perilaku masyarakat dalam pemilihan umum sudah berubah. Dan, itu juga berarti kita tidak perlu heran jika partai baru, seperti Partai Hanura dan Partai Gerindra bisa bertengger di 10 besar. Menjadi pekerjaan rumah bagi partai-partai politik untuk mempelajari bagaimana cara meraih suara atau simpati masyarakat sehingga ketika mereka diharuskan untuk memilih maka mereka akan tergerak untuk memilih berdasarkan suatu partai politik. Kalau sekadar meributkan DPT, Partai Demokrat pun bisa berkilah banyak simpatisan Partai Demokrat yang terhalangi hak pilihnya.
Loyalitas Loyalitas itu masalah yang serius mengenai bangsa ini. Jika di dalam suatu partai politik ada persoalan, dengan mudahnya akan dibentuk partai tandingan. Tanya saja pada pengelola restoran-restoran terkenal betapa sulit bagi mereka memelihara konsumen loyal. ”Restoran baru, selalu banyak konsumennya. Usianya tak akan panjang. Begitu muncul restoran baru lagi, konsumen langsung pindah,” ujar perancang kondang Harry Darsono. Atau tanya kepada agen tunggal pemegang merek (ATPM), mereka akan membagi keresahannya tentang bagaimana loyalitas konsumen begitu tipis. Ketika Peugeot 206 pertama kali diluncurkan, peminatnya cukup banyak. ATPM bisa menjual 2.000-an unit. Demikian juga dengan Suzuki Aerio. Begitu Honda Jazz datang, kedua mobil yang sejenis itu langsung selesai. Konsumen meninggalkannya. Jangan-jangan loyalitas memang tidak pernah dianggap penting oleh bangsa ini. Lihat saja sejarah Kerajaan Majapahit. Raden Wijaya, Raja Majapahit, awalnya adalah bawahan Raja Singasari Kertanegara. Saat berkuasa, Raja Kertanegara sempat didatangi oleh utusan China. Alih-alih memberikan upeti, Kertanegara malah menyiksa pemimpin utusan China itu. Tidak lama setelah pertiwa itu, Raja Kertanegara diserbu dan ditaklukkan oleh Raja Kediri Jayakatwang. Raden Wijaya pun menyingkir ke Madura. Oleh Arya Wiraraja, Raden Wijaya disarankan menghambakan diri kepada Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian menghadap Jayakatwang, dan mendapatkan tanah di Desa Tarik. Tanah itu kemudian dikembangkannya menjadi Majapahit. Ketika balatentara China tiba untuk membalas perlakukan Raja Kertanegara terhadap utusannya, bukannya memberi tahu bahwa Raja Kertanegara sudah ditaklukkan oleh Raja Jayakatwang, Raden Wijaya justru bergabung dengan pasukan China dan menyerbu Jayakatwang yang telah menerima dirinya dan memberinya tanah. Tidak ada penjelasan lebih lanjut bagaimana perilaku Raden Wijaya itu harus disikapi....(JL)
KEMBALI KE ARTIKEL