harus di akui bahwa di quarter pertama tahun 2012 ini, untuk pertama kalinya Bekasi mempunyai Bupati perempuan dan pertama kali ini pula terjadi dalam wilayah nasional Bupati termuda yang lahir dari Bekasi, Putri asli Bekasi, dengan pemikiran Bekasi, dan mudah-mudahan menggunakan pendekatan keBekasian dalam menyelenggarakan pemerintahannya lima tahun ke depan.
Tongkat Estapet terus berlanjut seperti efek domino lagi-lagi sebagai lakonnya adalah masyarakat Bekasi namun lebih terperinci dan mendetail yaitu masyarakat Desa yang menjadi bagian masyarakat hukum di wilayah Kabupaten Bekasi, tapi judulnya tetap sama mencari Calon Pemimpin, yaitu Calon pemimpin Kepala Desa yang biasa di singkat KaDes.
Apa yang menjadi menarik dari kedua acara tersebut ? bukan saja melibatkan seluruh element masyarakat Bekasi dalam penyelenggaraannya tapi juga menjadi sokongan Politik Praktis yang mempertontonkan kolosal dalam kemasan manis ala Demokrasi yang di lakukan oleh masing-masing partai Politik yang mengusung jagonya, sudah tidak begitu jelas Koridor atau bunyi sirine batas antara kawan dan lawan, karena yang menjadi tujuan adalah kemenangan, nyaris sandiwara drama Politik pragmatis yang sadar atau tidak telah menyeret dalam ruang lingkup apa yang di sebut Oportunis, sebuah pemahaman yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan sendi-sendi Budaya di manapun pada belahan bumi Indonesia ini, bisa jadi sebuah pemahaman haram di lakukan karena menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan apalagi bagi masyarakat yang beragama.
Namun bagaimanakah Acara hajatan masyarakat Bekasi yang kedua ini ? menentukan kepala Desa atau mengajukan diri menjadi Kepala Desa memang tidak seperti menentukan Bupati, naungannya berbeda, payung hukumnya pun berbeda, apalagi Partai Politik pengusung, untuk menjadi pengurus partai politik pun seorang kepala desa di larang, lantas kemudian apakah cara-cara yang di lakukan oleh Partai politik untuk mengusung Calonnya tidak boleh di lakukan oleh Calon Kepala Desa ataupun Tim Suksesnya ? apakah kemudian Proses yang di lakukan sama dengan yang di lakukan pada saat menentukan Bupatinya ? apa dampak relevan atas proses ini bagi masyarakatnya ? ini yang kemudian menjadi menarik dan akan kita bahas dalam artikel ini.
Syarat untuk menjadi seorang Kepala Desa di wilayah pemerintahan Kabupaten Bekasi sudah jelas terpapar rapih dan legal dalam PerDa No.5 tahun 2006 pada Bab V pasal 10 dari huruf a sampai dengan huruf m, di antaranya sebagai persyaratan Formil dan Materiil,
jika boleh berandai seorang petani, tukang ojek, Cendekiawan, akademisi, pegawai negri maupun swasta, bahkan TNI/POLRI atau orang yang dengan latar belakang pendidikan dan wawasan rendah pun boleh mencalonkan dirinya untuk di pilih menjadi Kepala Desa jika merunut pada peraturan ini,
Namun jika anda orang miskin atau tidak mempunyai modal yang cukup jangan sekali-kali mencalonkan diri menjadi Kepala Desa, mengapa demikian?..
Money Politik ( Politik Duit) pada proses pemilihan yang terkandung dalam konsep Demokrasi adalah perbuatan naif dan sepakat menjadi perbuatan Ilegal bahkan di atur dalam bab tersendiri yang terkandung pada setiap peraturan pemilihan pemimpin dari tingkat Kepala Desa, Anggota DPR, Bupati bahkan Presiden,
Namun Cost Politik ( Biaya Politik) adalah suatu keharusan pada masa kekinian, entah dari mana masyarakat ini belajar, pada masa penjajahan Belanda pun untuk menjadi sorang Demang atau kepala di suatu Daerah tidak ada pelajaran atau contoh yang jelas dari Netherland indies kala itu yang namanya Cost Politik,
Cost Politik ini menjadi perwujudan baru, kasat oleh mata hukum dan licin pada timbangan penegakkannya. Dia menjelma menjadi pohon besar dengan ranting yang rimbun bijaksana, teduh berwibawa dengan buah yang hampir sama jika kita samakan dengan Money Politik, maka Cost Politik sama juga dengan Money Politic.
bagaimana tidak ?, Cost Politik ini atau sesuai pemahaman masyarakat bekasi yaitu ongkos Politik menjadi ejaan yang fasih kalamana sang Calon Pemimpin untuk menemui calon pemilihnya, dengan buah tangan yang ujung-ujungnya Duit alias money Politik. Akan tetapi tetap rapih dan aman dari jeratan Hukum karena berbalut Sosial, kedermawanan, tolong menolong atau apapun namanya yang jika meminjam istilah saya Rimbun bijaksana dan teduh berwibawa. Gejala ini jelas nampak terjadi bagi siapapun yang akan mencalonkan diri menjadi apapun namanya termasuk Kepala Desa, mendadak rajin bersilaturahim, dermawan, mempunyai kepedualian yang mantap, dan lain sebagainya.
Jika hal demikian terjadi kecerdasan macam apa yang bisa membedakan mana Money Politik dan yang mana Cost Politik alias Ongkos Politik ?
Berbicara ongkos Politik dalam penyelenggaran pemilihan Kepala Desa di Wilayah Kabupaten Bekasi, sudah di sebutkan dan tetapkan dalam Perda tersebut di atas pada Bab XVI pasal 61 ayat 1 sampai dengan ayat 3, bahwa sumber biaya adalah dari APBDes dan APBD Kabupaten Bekasi, di rancang dan di anggarkan secara patut dan wajar sesuai dengan kemampuan desa tersebut.
Bisa di pahami jika kita berandai biaya yang di keluarkan untuk jumlah pemilih 5000 jiwa pemilih saja, dan di anggarkan sebesar Rp.200 Juta biaya yang di perlukan, kiranya cukup mahal apalagi melampui nilai angka tersebut, secara kalkulus bisa di hitung setiap satu pemilih memerlukan biaya kurang lebih Rp.40 ribu, belum lagi biaya tidak terhitung dari para calon karena sudah menjadi Budaya khusus memberikan buah tangan kepada masing-masing calon pemilihnya bahkan merata di bagikan yang nilainya misalkan saja sebesar Rp.30 ribu dari masing-masing calon dikalikan jumlah calon , jika ada empat calon angkanya bisa mencapai Rp. 600 juta, wow harga yang fantastis untuk mendapatkan seorang pemimpin kelas Desa ini. Tunggu dulu Ini juga belum di tambah dengan uang taruhan alias judi oleh para spekulan politik tingkat cere hingga kakap, dari taruhan tapedeck, sepeda ontel di rumah hingga motor maupun sawah yang angkanya tidak dapat di duga dan terka.Fantastis
Ironisnya ini sudah pada tahap kewajaran dalam masing-masing pemahaman masyarakat Desa baik dari tingkat pemikiran dengan wawasan awam (Gressroot) maupun sampai tingkat pemikiran mapan seperti para Sarjana yang ada di Desa tersebut yang seharusnya dan selayaknya menjadi agen perubahan dari Budaya yang di anggap wajar ini, kenapa saya katakan Budaya ?
mengutip pendapat dari guru saya Pak Marjuki yang saat ini Kepala Sekolah di SDN Sukatenang 02 bahwa Budaya di lahirkan dari hal yang di lakukan berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan dan membentuk karakter, kebiasaan dan karakter itu sendirilah yang menjelma menjadi budaya tersebut.
Lantas kemudian apa dampaknya jika hal tersebut di lakoni apalagi secara legal dan structural termaktub dalam RAB Pemilihan Kades ?,
Hukum sebab akibat sebagai dampak utama pasti terjadi,
korban Pertama yaitu jelas, jika saja dana penyelenggaraan tersebut tidak dapat di penuhi dari APBDes dan APBD maka para Calon Kepala Desa itu sendiri yang akan menangungnya bahkan sudah menjadi kebiasaan pada tiap-tiap Desa di wilayah Kabupaten Bekasi bahwa Calon Kepala Desanya menanggung biaya yang timbul dari proses pemilihan kepala desa tersebut, meminjam istilah tanggung renteng dari para calon untuk memenuhinya, tentunya dengan kesepakatan yang sebelumnya sudah di Lobi terhadap Panitia Pemilihan Kepala Desa tersebut, jika boleh saya selipkan istilah politik dagang sapi, ada acara jika ada kesepakatan poilitik maupun kesepakatan anggaran, itupun tidak menjamin anda sebagai pemenangnya.
Taukah kita dari mana dana sebesar itu? Yang harus di penuhi oleh para Calon Kepala Desa akibat dari tuntutan Budaya yang sudah di anggap wajar itu ? Yang bisa jadi menjadi pertaruhan gengsi dari masing-masing kandidat.
beruntung bagi mereka yang memang mempunyai bekal cukup entah dari mana asalnya apakah hasil berhutang, menjual harta miliknya berupa tanah, empang, atau kendaraan, bahkan menjual perhiasan milik istrinya.
Lain halnya bagi mereka yang tak berduit, Cuma sebatas keinginan dan impian walaupun bisa jadi dia mempunyai kapabilitas, kecakapan dan kemampuan menjadi seorang pemimpin, suatu kerugian bagi yang di pimpin karena telah mempersempit ruang gerak calon pemimpin yang mampu namun terbatas biaya, mungkin ini yang namanya Proses Demokrasi,
pertanyaannya apakah ini terjadi karena kesalahan proses ataukah kesalahan bagi orang yang tak berduit ?
Jika hal demikian ada bisa jadi yang ada hanya mencoba untuk mengundi nasib alias berjudi kalau-kalau menang, itupun jika menang, jika kalah ? bagaimana untuk membayar hutang, pinjaman, mengembalikan modal ? dan lain sebagainya.
Rasanya cukup aneh jika kita mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan ratusan juta rupiah jika tidak bermaksud ?, apakah menggandakannya atau minimal kembali lagi modal tersebut. Adakah pengusaha yang menggunakan uangnya untuk usahanya yang bangkrut dan tidak menghasilkan ? padahal untuk mewakili kita pada Kotak Jum’at setiap minggunyapun tidak pernah lebih dari Rp. 50 ribu bahkan hanya cukup selembar seribuan, naif memang , tapi ini fakta.
Teori mana yang menjamin jika dalam proses ini yang sudah mengeluarkan uang begitu banyak bagi para calon peserta Kepala Desa untuk tidak berfikir mengembalikan modalnya atau tidak mencari keuntungan dari jabatannya ? ini yang kemudian menjadi resiko bawaan akibat dari proses yang sudah terlanjur di anggap benar.
Korban Kedua, adalah masyarakat pemilih itu sendiri, bagaimana tidak ? betul memang para pemilih mendapatkan sedikit dana sekedar untuk ongkos dan jajannya pada saat proses pemungutan suara bisa jadi besarannya berkisar Rp 100 atau Rp 200 ribu perorang atau bahkan lebih kecil dari itu, pertanyaannya apakah bisa mengganti nilai sekecil itu untuk membeli kepercayaan kita terhadap salah satu calon ?
pernah saya dengar bahwa kepercayaan mahal harganya, tapi sayapun melihat kepercayaan itu sedang di perdagangkan.
Apakah juga kita tidak bisa menilai dari nilai sebuah Sikap kritis, Teguh pendirian, Keyakinan, dan juga pemahaman ? Jika itu semua kita konversikan ke dalam bentuk Uang ?
jika hal tersebut terjadi pada masyarakat yang mempunyai pemahaman yang minimal, kita masih maklum, namun bila sudah terjangkit pada kalangan yang berpendidikan lumayan ini yang tidak bisa habis fikir,
karena setahu saya untuk biaya pendidikannyapun tidak cukup berbanding imbang dengan biaya sejumlah nilai buah tangan tersebut.
Korban Ketiga adalah Kreatifitas, pernahkah kita berfikir bahwa Kreatifitas itu sudah terlahir dan sangat mahal harganya sedemikian rupa sebagaimana tuhan ini menciptkan alam semesta secara berkesinambungan, begitupun Kreatifitas, dia banyak rupa dan jenisnya bisa di kenali bahwa untuk menikmati sebatang rokok itu dengan di hisap bukan di hirup, apa yang terjadi jika di hirup ? walupun tetap sama-sama menuju paru-paru,
begitupun dalam proses ini bagaimana mungkin mendapat pemimpin yang ideal yang tanpa berfikir apalagi berbuat untuk meraup keuntungan dan mengembalikan modalnya jika kelak kemudian ia terpilih menjadi pemimpin kita ? walaupun dealnya kita tetap mendapat pemimpin.
Atau dengan kata lain saya ingin mengungkapkan bahwa banyak cara yang di tempuh lebih murah, aman, dan mudah untuk mendapatkan pemimpin sesuai impian kita.
Korban ke Empat adalah Pendidikan, tanpa sadar kita sedang memberikan contoh kepada anak-anak kita atau generasi kita yang akan datang, menurut teori August Comte dengan Sosiologinya bahwa manusia lebih berperilaku mencontoh bahkan identik dengan apa yang di contohnya, siapa yang menjamin bahwa budaya yang di aggap wajar ini tidak di lakukan pada generasi ketiga atau ke tujuh dari keturunan kita ?
tanpa ada sifat kritis bahkan yang nampak anti kritik bagi para pemegang kepentingan. Untuk membedakan ini wajar atau tidak pun kita hilang pilahan,apalagi mengajarkan dengan tegas bahwa ini benar dan salah kepada anak-anak kita ? Bila melakukan kesalahan adalah sifat dasar manusia, maka memperbaiki kesalahan itupun seharusnya menjadi sifat yang paling dasar bagi manusia.
Korban yang terakhir yang ke Lima menurut saya adalah saya, dan anda yang membaca, karena untuk selamanya kita akan sulit untuk mendapatkan pemimpin yang kapabilitas, kecakapan, kepandaian dan wawasannya sebagai pemimpin baik. Rasanya saya belum menemukan literature atau apapun bentuknya yang menuangkan fakta bahwa, pemimpin-pemimpin besar di muka bumi ini melakukan hal demikian yang di anggap wajar. mereka menjadi besar karena orang-orang yang terpilih bukan karena uangnya, suara terbanyak, atau ketampanannya, akan tetapi karena kemampuannya, kecakapannya, dan akhlaknya, maka sesungguhnya selamat suatu kaum berada pada orang-orang yang ahli pada bidangnya masing-masing. Maka tidak aneh kiranya selalu kita dapati pemimpin cacat wibawa, discare, pembohong bahkan korup, atau seminimalnya tidak mampu bekerja.
Artikel ini bertujuan untuk dapat kita renungkan bersama kapan waktu itu akan berwujud pemimpin yang sesuai dengan impian kita, tidak berbohong, tidak khianat, tidak mendahulukan kepentingan pribadinya, peka terhadap masyarakat, pandai, berahlakul karimah sekalipun ia miskin seperti Rasulullah SAW. Walaupun ini sebatas wacana dan impian namun dengan cara apalagi kita memulai untuk melakukan perubahan, sebatas tidak setuju atau sependapat adalah tanda keimanan yang terlemah, jika sudah berkewenangan dan kemampuan cukup tinggal kita panggil memory ini untuk melakukan perubahan.
Untuk selanjutnya ada masalah selalu ada solusi pada artikel sambungan saya coba paparkan bagaimana idealnya dengan tetap mengindahkan Perda-Perda yang ada untuk memilih calon pemimpin Desa.yang tentunya dengan biaya yang ringan dan sedikit resiko khianat serta bohong dari pemimpin terpilih,
namun pertanyaan awalnya lebih bersedia manakah anda mendapat bayaran sedikit dengan banyak resiko tersebut atau dengan membayar sedikit dengan sedikit resiko tersebut, hendak dari mana kita mulai.
tunggu selanjutnya artikel saya berjudul “ Pemimpin tanpa bohong dan Khianat”
Di dedikasikan untuk keluarga, masyarakat, dan temanku tercinta,sebagai penggelitik pikiran kritis kita semua.