Ia bukanlah seorang pejabat, bukan pula seorang hartawan. Ia hanyalah seorang rakyat biasa. Yang mencari rejeki dari pengunjung Rumah Sakit Hasan Sadikin dengan berjualan mi rebus. Ia menyadarkan saya bahwa di negeri ini tidak semua harus diukur dengan uang. Tidak semua kebaikan itu harus ditukar dengan segepok rupiah. Semua itu ia tuturkan dalam perilaku dan bahasa yang sederhana saja, seperti dialog berikut ini.
Saya : Pak, saya bisa membeli air panas?
Tukang mi : Boleh, boleh (sambil bangun dari bangku panjang)
Saya : Ini termosnya Pak.
Ia pun mengisi termos saya dengan air panas dari termos miliknya, yang saya tahu digunakan untuk membuat kopi atau teh panas bagi pelanggannya.
Saya : (Setelah ia selesai mengisi) Berapa Pak?
Tukang mi : Ah, berapa saja Pak.
Saya pun mengambil uang di saku, menghitung dan menggenapkannya lima ribu rupiah. Kemudian saya serahkan uang tersebut ke tukang mi.
Tukang mi : Maaf Pak, terlalu banyak.
Saya pun mengambil dua ribu dan mencoba kembali menyerahkan sisanya.
Tukang mi : Maaf Pak, masih terlalu banyak.
Ia kemudian mengambil uang seribu rupiah di tangan saya dan mengembalikan sisanya.
Tukang mi : Seribu saja Pak, ini sudah cukup.
Saya tersentak, tidak menyangka sikapnya akan demikian. Saya pun mengucapkan terima kasih dan mohon pamit.