Keruwetan semacam ini (baca. macet) tak urung membuat psikologis pengendara menjadi tidak stabil. Dalam keadaan lelah sepulang kerja, atau dalam keadaan memburu waktu, maka tak jarang pengguna kendaraan sering melanggar peraturan yang ada. Sehingga etika berkendara yang aman dan santun sudah tak dihiraukan lagi.
Miris memang kalau kita cermati kondisi seperti ini. ketika berjalan di pedestrian sudah lagi tak nyaman karena banyak kendaraan roda dua yang nekat membelah kemacetan dengan melintasi trotoar, hanya karena ingin segera sampai ke antrean paling depan. Atau banyak pengendara yang masih berponsel ria saat sedang berkendara, sehingga tak jarang mengganggu kendaraan di belakangnya. Atau banyak pengemudi roda dua yang menjadi pembalap dadakan di jalanan umum, tanpa menghiraukan pengendara lain.
Sungguh sebuah pemandangan lalu lintas yang tak berbudaya, jauh dari kesan santun dan beretika. Banyak orang yang lupa, bahwa berkendara bukan hanya sekadar sampai di tujuan dengan selamat saja, tetapi harus juga mematuhi peraturan dan etika yang ada. Indah rasanya ketika berkendara dengan tertib, kendaraan besar menghormati kendaraan yang lebih kecil, kendaraan kecil menghormati orang yang berjalan, dan orang yang berjalan menghormati orang yang sedang duduk. Tak ada kendaraan yang melenceng dari jalur semestinya, tak ada kendaraan yang meraung-raung memekakan telinga dan tak ada saling salip ingin paling dulu sehingga keamanan dan kenyamanan berkendara tercipta.
Mari kita reorientasi kembali pemahaman berkendara kita, sejauh mana kita faham dengan peraturan lalu lintas, sebesar apa kepedulian kita terhadap pengguna jalan yang lain, dan sudahkah kita tahu etika berkendara?