Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Desember di Warung Kopi

26 Desember 2012   10:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:01 139 0
Dua gelas Cappucino habis bersama siang. Siang habis menjadi sore. Sore habis oleh mendung yang mendesak Jogja untuk segera malam. Malam yang basah dan gigil.

Aku akan pulang tapi hujan menundanya. Aku membawa jas anti air. Tapi kupikir lebih baik menunggu tumpahan air bah dari awan ini berhenti. Setelah itu membuat malam menjadi toko buku dan kamar.

Hari ini selasa dan aku berasa sangat selasa. Selasa adalah hari yang dibuat orang-orang dari negeri yang jauh. Negeri yang bahkan aku pun belum pernah melihatnya secara langsung. Negeri yang mempunyai banya jalan menuju kotanya.

Berbicara tentang jalan, aku mau tanya. Bagaimana perjalananmu hari ini? Menyenangkankah? Kuharap tak mengecewakan. Karena sebenarnya meski kau kecewa sebaiknya kau ubah kecewa itu menjadi kerumitan yang baik, kerumitan yang tak akan membuatmu bunuh diri.

Aku belum juga bisa pulang. Hujan menundanya.

Penungguanku di warung kopi ini sedikit membosankan. Sebab Adzan mulai mengalun sedang aku tetap melamun.

Menunggu di warung kopi bukan penungguan yang sendiri. Aku menunggu bumi selesai menadah air sore yang biru gelap ini dengan kopi. Seperti manusia yang kebahagiaannya pasti bertemu dengan kepahitan saat menunggunya tercapai.

Ya, bicara tentang kopi aku pernah mengatakan sesuatu padamu tentang kepahitan.

Kau tahu, sekali waktu kepahitan hidup terkadang memang harus dipukul mundur dengan kepahitan yang lain. Kopi misalnya, atau Cappucino yang berusaha menutupi kepahitan dengan manis yang lain. Seperti kenangan misalnya.

Tapi sekali lagi sayang, jangan pernah terlalu menyandar pada kenangan. Ia palsu, karena ia takkan pernah mau berjalan beriringan. Ia selalu mendahului, tak sopan. Seperti ketika dalam perjalanan kaki kita mendahului seorang tua, tentu itu dianggap tak sopan dalam beberapa adat kebiasaan.

Wah, air bah dari langit mulai berkurang bulirnya. Komputer lipat menawarkan realitas yang berbeda. Aku bersosialisasi, aku masih tak mengerti apa yang membuat orang-orang lebih senang berhubungan dengan media 'sosial' dibandingkan dengan kenyataan sosial.

Kenyataan yang sebenarnya tak nyata. Aih kalimat yang susah. Tapi bagaimana jika itu memang benar-benar terjadi. Kerumitan tentang kenyataan yang sebenarnya tak nyata.

Setelah ini jalanan tak lagi berdebu. Becek. Beruntunglah jalan-jalan yang dipedulikan oleh penanggungjawab pembangunan jalan. Tak seperti beberapa jalan yang pecah dan tak dipedulikan untuk waktu yang lama, tapi bahkan diperlakukan asal oleh penganggungjawab-penanggungjawab lain.

Masih ada yang merindukan yang tak diketahuinya. Masih ada penyair-penyair yang berusaha menulis sebuah cerita. Masihada kritikus sosial dan sastra yang berusaha belajar mempertajam kritiknya. Semua masih ada. Sama halnya aku yang masih ada.

Seperti memerangkap kesenduan langit yang tak diizinkan berbintang. Aku menahan tawa melihat orang terpeleset. Tapi tetap saja setertawa apa pun rindu tetap tersangkar. Berlebihan mungkin jikalau aku menyamakannya dengan Dillema Hobbes.

Takkan terbilang lama sabakhtani pada rindu. Sebab ia ingin membunuh, bukan berusaha mempertemukan. Ya, manusia terpisah dari rindu. Rindu tak bisa mengontrol manusia, hanya saja dapat mempengaruhi manusia berbuat kejutan-kejutan yang terkadang tak jelas.

Ricik air bah dari langit itu berisik di atap. Penanda kalau ia berhenti hanya harapan. Harapan keberisikannya berkurang. Rambutku yang mulai gondrong dan bau aku acak-acak sendiri, entah karena ebiasaan atau sekedar untuk terlihat keren, tapi jujur bosan sedang benar-benar mencekikku.

Air bah dari langit itu emarin riuh rendah. Tapi itu bukan pada hari senin. Semacam rabu dan kamis mungkin. Jarang sekali hari senin.

Aku pernah membaca mitos bahwa air bah dari langit itu jarang mempunyai jadwal mencuci tanah pada hari senin. Ia tak turun kemarin senin dan sekarang selasa.

Aku masih memiirkan harus dengan cara apalagi racauku dapat berhenti dan meneruskan kegiatan menghancurkan malas. Aku masih ingat percakapan kita waktu itu, percakapan yang membuatmu terlihat menyebalkan.

"Kau bodoh," kataku

"Kenapa?"

"Ya, bodoh saja. Berbohong kalau sudah terbebaskan, tapi kau sendiri merepresentasikan keterbelengguan,"

"maksudnya?"

"Ya, kau bilang kalau kau sudah bebas, tapi pada kenyataannya? Kau menceritakan bahwa dirimu terjebak dalam batasan-batasan yang sebenarnya bisa kau negasikan. Tanpa sadar kau telah jadi penakut yang sok berani,"

"Aku tak terbelenggu. Hanya saja aku dibentuk begitu sejak kecil,"

"Jika kau sadar kalau semua itu terbentuk, mengapa tak kau perbaiki apa-apa yang salah padamu?"

"Terkadang tak semua hal harus diperbaiki kan?"

"Beberapa saja?"

"Ya,"

"tapi apa yang kau perbaiki dari dirimu? Tak ada. Tetap saja kau bodoh,"

"Kau yang bodoh. Mengata-ngatai aku bodoh. Bukankah cuma orang bodoh yang mengatai orang bodoh,"

"Tidak, kaulah yang bodoh. Kau membohongi diri sendiri. Kau juga seringkali delusional,"

"Aku tak delusional. Memang terkadang tak semua hal perlu alasan, dan aku ingin menyelesaikan ini,"

"Apa yang mau kau selesaikan?"

"Tak tahu," katamu pendek

"Nah kan, apa yang mau diselesaikan kalau tak tahu apa yang mau diselesaikan?"

"Bukankah tak semua hal perlu di...,"

"Sudahlah, aku capek dengar kau ngeles terus. Berkata-kata retoris memang enak. Terlihat gagah dan tak sadar kalau itu salah satu bentuk ngelesmu," Potongku

"Aku tak beretorika," bantahmu

"Terserah kaulah. Kau yang belum selesai dengan dirimu sendiri. Semua perasaan bersalahmu tak ada sangkut pautnya denganku,"

"Mengapa begitu?" tanyamu

"Karena urusan rindu adalah personal. Meskipun orang yang kau rindu sudah mengatakan tak mau bersanding dengan perindu maka itu keputusanmu. Perasaan rindu itu akan hilang bersama waktu,"

"Tapi waktu tak pernah bisa menyelesaikan masalah,"

"..dan biarlah masalah rindu tak terselesaikan," kataku mulai jengah

"Kau tak jelas," kau balik menuding

"Terserah kaulah,"

"Sekali lagi aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku minta maaf,"

"Untuk?"

"Aku hanya merasa bersalah ketika kau jatuh cinta padaku tapi kau tak bisa bersanding denganku,"

"Itu urusanmu. Aku tak perlu maafmu karena kau tak berbuat salah padaku. Memang jika ekspektasi tak tercapai selalu ada rasa sakit,"

"Aku minta maaf,"

"..untuk apa?"

"untuk tak dapat bersama denganmu,"

"Lalu kau pikir dengan begitu semua urusan selesai dan aku bisa menghentikan perasaan kepada orang lain, begitu?"

"Bukan, aku hanya menyampaikan,"

"Intinya minta maaf?"

"Bukan, hanya menyampaikan,"

"Aku pinjam kertas dan pulpen," pintaku

Lalu kutulis puisi untukmu. Puisi yang berjudul Membatalkan Kesedihan. Aku harap puisi itu menjadi mantra yang dapat menghapus kesedihanmu yang tak jelas itu, kataku dalam hati.

Kau tersenyum dan bilang

"Aku baca di rumah saja," katamu sambil tersenyum

"Aih, kau ini. Benar-benar perempuan yang aneh,"

Kita sama-sama diam. Kau mengulangi ceritamu lagi, sedang aku berpura-pura mendengar dan menikmati kendaraan yang berlalu lalang diatas genangan warna kuning lampu kota.

Aku malas mengingat percakapan tak jelas itu. Yang benar saja. Bagaimana bisa kau menjadi otoriter terhadap perasaan seseorang. Konstruksi perasaan itu personal. Sama halnya seperti penguasa-penguasa yang eksibisionis sekarang. Seperti rektor mungkin.

Kau tahu, ada agenda baru di daftar acara wisuda: Foto bersama dengan rektor.

Tujuannya; agar tahu kalau para peserta wisuda pernah kuliah di kampus yang dipimpinnya.

Konyol. Ya seperti kau yang konyol. Ah, bukan hanya kau yang kurindukan. Aku pun merindukan diriku sendiri untuk dapat pulang sore ini.

Dua gelas Cappucino telah melompong dari tadi. Sementara hujan telah berhenti, tapi lapar. Tunggu dulu. Angin bertambah kencang. Gerimis lagi. Aih. sepertinya aku ditakdirkan untuk makan dulu, menunggu hujan reda baru pulang.

Seperti air bah dari langit yang datang dan pergi begitu saja. Melepuhkan harapanku untuk bisa pulang.

Ia menderas, melebat, terus, lebih lebat dan angin membantunya membasahi komputer lipatku. Hujan, ya ini namanya hujan. Berisik. Butiran air bah menjadi besar dan seperti tembakan beruntun dari langit. Jikalau aku sedang dijalan mungkin wajahku sakit-sakit, seperti dlempari kerikil. Dan atap tempatku duduk sekarang hujan menetes-netes memercik di layar komputer lipatku. Sebaiknya aku menyingkir.

Demi kebaikan komputer lipat. Yang menyimpan rindu dalam bentuk gambar dan kata-kata.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun