Lagu :
Jalan melenggang dilorong antrian loket...
Hai...hai...siapa dia ?...
Paras yang cantik menggoda hati lelaki...
Hai...hai...siapa dia ?...
Cerita :
Seperti alunan lagu Payung Fantasi, saat pertemuan pertama antara Violet Zully Setianingrum yang biasa dipanggil Peddy adalah anggota tertua dari  Veldhuyzen Family generasi ke 3, bertemu untuk pertama kalinya dengan seorang pemuda bernama Sucipto.
Saat itu Violet Zully atau Peddy sedang antri di lorong loket untuk beli tiket nonton di Bioskop Purnama di hoek Jalan Dinoyo dengan Jalan Pajajaran di Surabaya, yang lokasinya tak jauh dari Jl. Majapahit No. 18 Surabaya tempat tinggal Peddy bersama orang tuanya berikut adik-adiknya.
Sucipto bekerja pada Sugito kakaknya yang tak lain adalah pengelola Bioskop Purnama.
Sucipto saat pandangan pertama melihat Peddy yang berparas cantik, membuat  Sucipto jatuh cinta dan langsung melakukan pendekatan dari mulai film diputar hingga selesai bahkan mengikuti Peddy hingga pulang sampai dirumah di Jl. Majapahit 18 Surabaya.
Mereka pun berkenalan dan ngobrol-ngobrol sedikit di depan rumah.
Esok harinya Sucipto datang lagi dan lagi terus menerus...hingga akhirnya mereka jadian pacaran dan berlanjut ke pernikahan.
Pesta menikah yang meriah dan bulan madu adalah saat-saat yang paling bahagia bagi mereka berdua, kemudian mereka dikaruniai 5 anak Neny, Ricky, Lucky, Debby dan Louis.
Pasangan Sucipto dan Peddy adalah warga negara yang baik di mana Sucipto menjadi di ketua RT dan Peddy aktif dalam kegiatan sosial dan bertetangga seperti saat-saat perayaan 17 Agustusan di rumahnya selalu ramai dibuatkan panggung kesenian dan ditampilkan acara sendratari tentang peperangan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Adegan paling favorit dalam sendratari itu adalah saat lagu Selendang Sutra diputar di mana lengan seorang pejuang yang tertembak berdarah-darah dibalut dengan Selendang Sutra milik seorang wanita kekasihnya.
Latar belakang lirik lagu:
Ketika lengan ku terluka parah Selendang Sutra mu turut berjasa...
Adegannya : Seorang pria lengannya tertembak terluka parah dan kekasihnya membalut lukanya dengan selendang sutra yang bersimbah darah dan pria tersebut mengelus wajah wanitanya hingga wajah wanita itu belepotan penuh darah...
Dialognya : si wanita sambil menangis histeris, Â berteriak-teriak jangan mati mas...jangan mati mas...
Tembakan Tanpa Peringatan...
Tak disangka tak dinyana, adegan favorit yang di sutradari oleh Peddy sendiri itu jadi nyata dan menyisakan luka trauma yang dalam dan juga menghancurkan masa depan dia serta ke 5 anaknya.
Hari itu tengah malam jelang dini hari...adik Sucipto bernama Faton dan Arifin datang ketempat kediaman Peddy dan ke 5 anaknya, datang tergopoh-gopoh setengah berlari menghampiri Peddy sambil menangis dan menunjukan baju kemeja Sucipto yang basah penuh dengan darah dan setengah berteriak Cik...Cik (nama panggilan Sucipto) ditembak Polisi...
Baju kemeja Sucipto yang basah penuh darah itu langsung diraih Peddy dan dipeluknya di cium, kemudian ke 5 anaknya juga mencium baju itu sambil menangis dengan wajah yang belepotan darah dan mereka berteriak histeris : "Papi....Jangan Mati, Jangan Mati...Papi..."
Seperti adegan selendang sutra :
" Ketika lengan mu terluka parah... Kemeja Sutra mu Bersimbah Darah..."
Malam itu karena salah paham seorang oknum polri tersinggung saat antri di loket tiket, merasa diejek oleh adik-adik Sucipto, Faton dan Arifin.
Oknum polri yang tidak berbaju seragam polri menantang duel dan berkata: kalau kalian jantan datang ke tempat saya jl. Pajajaran no. 7 tak jauh hanya 100 meteran dari Bioskop Purnama.
Faton dan Arifin mengadu ke Sucipto, kemudian Sucipto diikuti Faton dan Arifin datang ke tempat oknum polri yang tadi tak berseragam polri hanya berpakaian olah raga training pak tersebut, untuk tanyakan apa maksud kata-katanya.
Sesampainya didepan rumah Sucipto masuk sendiri sesuai permintaan oknum polri siapa yang jantan, jadi Sucipto dan adik-adiknya tidak main keroyok.
Rupanya oknum polri tersebut sudah merencanakan menunggu dengan berpakaian seragam polri yang lengkap dan menggenggam senjata api.
Kejadian nya sangat cepat, begitu Sucipto masuk rumah langsung terdengar suara senjata api menyalak 3 kali, dor...dor...dor...
Menurut penuturan Sucipto ketika masih hidup.
Dia ditembak dikepala tetapi ditangkis dengan telapak tangan sehingga peluru pertama terkena tembus di telapak tangannya hingga remuk hancur dan jari kelingkingnya putus.
Tembakan kedua peluru mengenai lengan, kemudian Sucipto balik badan lari.
Tembakan ketiga peluru mengenai pinggang Sucipto hingga jatuh tersungkur roboh.
Ketika jatuh rebah ditanah sudah berada diluar rumah kos oknum polri tersebut kemudian langsung Faton dan Arifin mengangkat badan Sucipto sambil menyeret dan dinaikan ke sepeda motor untuk dibawa ke rumah sakit Simpang oleh Momok suami Evi adik perempuan Sucipto.
Sucipto tidak tewas, tetapi telapak tangan kirinya hancur dan jari kelingking putus, lengan kiri tertembus peluru yang hancurkan tulang-tulangnya.
Sedangkan luka dipinggang akibat tembakan dari belakang hampir 1 inchi akan hancurkan ginjalnya yang bisa berakibat fatal dan kematian.
Sucipto terbaring di rumah sakit hampir setengah tahun untuk proses sembuhkan lukanya dan dibutuhkan 3 tahun untuk bolak-balik operasi angkat pecahan-pecahan tulang telapak tangan yang akibatkan cacat permanen kurang bisa menggegam selain jari kelingking kiri yang putus termasuk cacat permanen juga.
Trauma Hancurkan Masa Depan...
Peristiwa berdarah itu mengakibatkan trauma hancurnya masa depan Peddy dan ke 5 anaknya.
Karena Sucipto adalah satu-satunya tulang punggung keluarga atau satu-satunya orang yang mencari nafkah dalam keluarga.
Akibat peristiwa itu Sucipto tidak dapat bekerja yang maksimal sehingga alami kesulitan bahkan anak-anaknya jadi putus sekolah semuanya.
Semenjak peristiwa itu tidak ada lagi perayaan 17 Agustusan yang meriah dengan panggung sendratari perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di tempat tinggal Sucipto dan Peddy berikut ke 5 anaknya.
Hingga Sucipto meninggal dunia yang selisih beberapa hari hampir bersamaan Peddy juga meninggal dunia.
Mereka dikubur berdampingan di makam keluarga di Jalan Kaliwaron Surabaya.
"Nasi telah menjadi bubur, kisah kasih sehidup semati hingga ke Kubur"
Suatu Kisah Nyata Yang Tercinta Kakak ku Violet Zully Setianingrum alias Peddy.
Terima kasih dan Tuhan Memberkati Kita Semua...
Salam hormat,
Robert Setiadji
Penulis Media Online Terverifikasi.