Apa sih hilirisasi? Secara harfiah hilirisasi bisa didefinisikan sebagai proses atau strategi suatu negara untuk meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki. Dengan hilirisasi, komoditas yang tadinya di ekspor dalam bentuk mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau jadi.
Dengan demikian, maka nilai ekspor negara tersebut menjadi lebih besar. Sehingga, ke depannya, mampu meningkatkan perekonomian. Itu juga yang disampaikan Jokowi dalam beberapa kesempatan, termasuk saat memberikan pengarahan kepada Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), di Balikpapan, Kaltim, pekan silam.
Hilirisasi, dengan demikian, tidak hanya di sektor pertambangan seperti yang selama ini diramaikan media. Hilirisasi bisa dilakukan di berbagai bidang, termasuk pertanian. Sektor perkebunan juga memiliki potensi yang luar biasa.
Bahwa hilirisasi mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, sebenarnya sudah lama dikemukakan oleh Airlangga Hartarto. Bahkan sejak Airlangga Hartarto masih menjadi Menteri Perindustrian pada kabinet kerja jilid satu. Ketika kemudian mengemban amanah sebagai Menko Perekonomian pada kabinet kerja jilid kedua, Airlangga Hartarto semakin gencar menyampaikannya.
Sebagaimana dikutip Kompas.com, Airlangga Hartarto menekankan pentingnya hilirisasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Karena itu, hilirisasi komoditas yang telah dimulai Indonesia tidak hanya berhenti di bidang pertambangan.
Dalam bidang pertambangan ini, sebagaimana ditegaskan Airlangga Hartarto, pemerintah sudah merencanakan untuk melarang ekspor bijih timah, tembaga, dan bauksit, tidak terbatas hanya nikel. Kesemuanya masuk dalam kategori mineral strategic.
Beberapa waktu lalu, saat berbicara dalam acara B-Universe Economic Outlook 2023, Menko Perekonomian menjelaskan tentang adanya sejumlah payung hukum guna mendukung kebijakan hilirisasi.
Di antara infrastruktur yang sudah dibuat adalah Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Dalam konteks ini, perbankan bisa menyiapkan bullion bank atau bank emas, yaitu bank yang melakukan transaksi pembelian dan penjualan logam mulia, termasuk ekspor impor hingga proses penyimpanannya.
Dia mencontohkan tentang pegadaian. Pegadaian punya deposit 70 ton emas, tetapi hanya dikilo saja, taruh di gudang, dan inventori. Sekarang, 70 ton ini divaluasi. Nah, 70 ton emas tersebut jika dinilai hari ini tentu mencapai billion dollar.
Airlangga Hartarto juga mencontohkan hilirisasi dari Freeport. Sekarang dibangun smelter, itu bisa menghasilkan 50 ton emas dan ini harganya US$ 3,5 miliar. Kalau sebelumnya, tidak bisa jadi neraca perbankan dan sekarang menjadi neraca perbankan. bullion bank ini dalam P2SK sudah ada dan disiapkan.
Hilirisasi Freeport melalui pembangunan smelter ini juga disampaikan Presiden Jokowi dalam pengarahannya di acara APPSI. Hilirisasi industri harus dilakukan untuk menjadikan menjadikan Indonesia sebagai negara maju.
Sebuah negara dapat dikatakan sebagai negara maju jika negara-negara lain telah memiliki ketergantungan terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh negara maju tersebut.
Jokowi lalu mencontohkan Taiwan dan Korea Selatan. Kenapa mereka bisa melompat menjadi negara maju? Seperti dikutip dari Kompas.com, menurut Jokowi, karena Taiwan dan Korsel memiliki produk yang sangat dibutuhkan oleh negara lain, oleh perusahaan-perusahaan besar di negara lain, baik Amerika maupun Eropa.
Indonesia memiliki peluang dan kesempatan untuk menjadi negara maju. Salah satunya melalui ekosistem industri kendaraan listrik di mana semua komponen yang dibutuhkan oleh kendaraan listrik ada di Indonesia.
Caranya, dengan membuat ekosistem besar sebagai penunjang pembuatan mobil listrik tersebut. Mengintegrasikan semua komponen kendaraan listrik yang tersebar di seluruh tanah air. Mulai dari nikel yang ada di Pulau Sulawesi, tembaga yang ada di Sumbawa dan Papua, timah yang ada di Bangka Belitung, hingga bauksit yang ada di Kalimantan Barat dan Kepulauan Riau.
Dari hilirisasi industri Indonesia akan mendapatkan nilai tambah yang berlipat ganda. Oleh karena itu mau tidak mau Indonesia harus segera meninggalkan ekspor bahan mentah.***