Ya, meskipun nbisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden sendiri di Pilpres 2024, PDIP tampaknya tidak akan menempuh jalan itu. Masalahnya, jika harus berkoalisi, PDIP tentu harus mencari partai politik yang hanya mau menjadi yang kedua alias posisi calon wakil presiden. Pertanyaannya, siapa?
Kita pahami dulu, partai politik apa pun yang berkoalisi dengan PDIP, harus mau hanya mendapat jatah calon wakil presiden. Jika syaratnya demikian, PDIP harus memiliki calon presiden yang diterima oleh para pendukung koalisinya.
Calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung koalisi PDIP dan partai politik lain maupun koalisi partai-partai politik  lainnya harus diterima pendukung di level akar rumput, bukan hanya di lapisan elite saja. Contoh paling nyata, dalam pengusungan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden dari NasDem. Kita tahu track record NasDem dalam berkoalisi.
NasDem pada Pemilu 2014 mendukung Jokowi dan menang. Pada pemilihan gubernur  DKI Jakarta 2017 mendukung Basuki Tjahaja Purnama dan kalah. Pada Pemilu 2019 kembali satu kongsi dengan Jokowi dan menang. Perolehan suara NasDem meningkat karena mencalonkan Jokowi, dari 6,74% menjadi 9,05%.
Pertanyaan evaluatif bagi NasDem adalah apakah pemilih NasDem di akar rumput mau menerima Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono yang semuanya bukan kader? Ini jika NasDem dan PKS yang menjadi mitranya di Koalisi Perubahan menyetujui duet Anies-AHY, yang tentunya disokong penuh Demokrat.
Kondisi ini pasti menjadi bahan konsiderasi partai-partai politik dalam menentukan arah koalisi. Mempertimbangkan suara akar rumput juga menjadi perhatian Gerindra dan PKB yang bermitra dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Partai Gerindra berkepentingan menaikkan elektabilitas Prabowo di kalangan pemilih muslim moderat atau secara faktual di kalangan Nahdlatul Ulama. PKB bertujuan menaikkan elektabilitas Muhaimin Iskandar dan partai politik ini di kalangan pemilih nasionalis.
Lalu, bagaimana dengan koalisi Partai Golkar, PPP, dan PAN? Sampai sekarang KIB belum menentukan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung. Partai Golkar menyebut ketua umumnya Airlangga Hartarto sebagai calon presiden.
Dari berbagai kenyataan di atas, timbul sedikit keyakinan bahwa PDIP akan menjalin komunikasi intensif dengan koalisi Partai Golkar, PPP, serta Gerindra dan PAN. Hal ini dilatarbelakangi syarat dari PDIP dan tingkat elektabilitas calon presiden dari KIB. Selain itu, juga memperhatikan hasil pertemuan Joko Widodo dan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri yang ingin ada keberlanjutan pembangunan bangsa ini.
Kita pahami, faktor Joko Widodo memegang peranan penting. Enam partai politik itu masih solid berada di koalisi pemerintahan dan Joko Widodo menjadi atasan para ketua partai politik itu. Posisi sebagai presiden membuat Jokowi relatif lebih bebas berkomunikasi dengan segala pihak, bahkan dengan lawan politiknya. Hal inilah yang tidak dimiliki Megawati saat ini.
Suara Jokowi kali ini pasti didengar Megawati, entah sedikit entah banyak. Pengalaman Jokowi memerintah akan menjadi landasan memberi saran kepada Megawati. Jokowi dikenal sebagai pribadi yang suka mengecilkan masalah. Pidatonya akhir-akhir ini menyatakan kita harus waspada terhadap krisis yang akan menghantam Indonesia.
Tahun 2022 adalah tahun yang sulit, sementara tahun 2023 adalah tahun yang gelap gulita. Bisa diringkas, masalah pokok yang mendesak hanya satu: ekonomi atau kesejahteraan rakyat. Jokowi kemungkinan besar akan menawarkan calon wakil presiden yang berlatar belakang ekonomi sekaligus memiliki dukungan politik kuat.
Salah satunya adalah Airlangga Hartarto. Ada dua hal untuk sampai pada kesimpulan itu. Pertama, jika PDIP dan Airlangga Hartarto bersatu berarti merupakan pasangan yang rasional dan mementingkan aspek kemampuan memerintah. Ini keluar dari tradisi sipil-militer, Jawa-luar Jawa, dan nasionalis-Islam.
Kedua, Airlangga merupakan gabungan teknokrat dan politikus. Airlangga paham proses pengambilan kebijakan publik dan tidak teralienasi dari dinamika politik sehari-hari. Perlu diketahui publik bahwa beragam koalisi ini memiliki tujuan menaikkan elektabilitas partai politik.
Dari simulasi capres dan cawapres koalisi Pilpres 2024, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyimpulkam jika calon capres-cawapres PDIP bisa kalah di pertarungan bila partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu tidak berkoalisi.
Studi ini, sebagaimana dikutip Kompas.com, menggunakan simulasi tertutup dengan asumsi empat pasangan dari koalisi yang sementara ini terbentuk, yakni PKB dan Gerindra, Koalisi Perubahan (NasDem, Demokrat, PKS), PDIP sebagai pemain tunggal atau lone ranger, dan Koalisi Indonesia Bersatu/KIB (Golkar, PPP, PAN).
Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan SMRC, Ganjar Pranowo cukup kompetitif jika dipasangkan dengan calon selain Puan. Tapi, ketika dipasangkan dengan Puan, posisi Ganjar di bawah dua nama yang selama ini kompetitif dengan dia, yaitu Prabowo dan Anies.
Artinya, kekalahan berpotensi dialami PDIP jika menduetkan Ganjar dengan Puan. Jika PDIP tidak berkoalisi dengan partai lain dan tokoh lain, maka partai berlambang kepala banteng moncong putih itu bisa tersingkir. Hasil serupa juga didapat jika Ganjar menjadi cawapres Puan. Suara pasangan Puan-Ganjar bahkan terjun bebas dari simulasi sebelumnya.
Pesan dari pemilih secara umum adalah bahwa PDIP tidak bisa sendiri untuk memenangkan pilpres. Pengalaman selama ini memang demikian, harus dengan cara koalisi.