Jarang-jarang sebuah acara partai dihadiri oleh presiden dan wakil presiden. Mungkin sekadar kebetulan jika kedua pemimpin negara ini sama-sama tidak memiliki agenda kenegaraan atau acara penting lainnya, sehingga bisa menyempatkan waktu memenuhi undangan OSO. Di sisi lain, itulah juga kehebatan OSO. Bisa mendatangkan presiden dan wakil presiden.
Catatan menarik lainnya, tentang isi pidato yang disampaikan Joko Widodo. Kali ini Jokowi tidak mengurai kalimat dukungan atau endorsement untuk kandidat calon presiden (capres). Tidak mengumbar metafora, tanda atau ciri-ciri dari seorang capres yang layak dipilih, sebagaimana ia pernah menyebut tokoh dengan kening berkerut dan berambut putih.
Kali ini Jokowi terkesan mencurahkan kegundahan hatinya. Curhatnya terkait dengan kekhawatiran bahwa dirinya, dan juga Istana, akan disalahkan jika ada tokoh yang gagal nyapres.
Jokowi merasa tidak heran jika hal itu terjadi, pasalnya Kepala Negara ini mengaku memang sering menjadi sasaran empuk untuk dikambinghitamkan dalam persoalan politik, termasuk terkait Pemilu 2024 nanti.
Ada orang atau tokoh yang ingin sekali dapat kendaraan politik supaya dapat mencalonkan, ternyata tidak bisa. Lalu, dia menuduh, itu pasti karena presiden, Istana ikut-ikutan. Padahal, sebagaimana dilihat dari tayangan Kompas.tv, apa urusannya dengan dia? Jokowi heran.
Jokowi tentu punya alasan untuk menyampaikan hal itu. Curhatnya, yang jelas-jelas mengandung implikasi politik itu, pastinya juga menumbuhkan pertanyaan. Siapa yang dimaksudkannya? Seperti halnya saat ia menyampaikan pernyataan endorsement atau dukungan pada salah satu tokoh, esensi dari curahan hatinya kali ini pun menyasar ke tokoh yang nyapres juga.
Sudah menjadi pengetahuan umum jika endorsement Jokowi bergantian ditujukan kepada Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Airlangga Hartarto. Belakangan presiden juga menyebut-nyebut Puan Maharani dan Erick Thohir sebagai calon pemimpin bangsa yang mumpuni.
Ganjar Pranowo dan Puan Maharani bisa saja dijadikan capres dan cawapres oleh partainya, PDIP, yang sudah memiliki tiket pencapresan langsung karena perolehan suara nasionalnya yang melampaui ketentuan presidential thresold (PT) 20%.
Prabowo Subianto, yang menjadi capres dari Gerindra, sangat mungkin diusung pula oleh Koalisi Indonesia Raya (KIR) untuk bertempur di  Pilpres 2024 dengan Muhaimin Iskandar sebagai wakilnya. Koalisi Gerindra dan PKB juga sudah melewati PT 20%.
Airlangga Hartarto, capres dari Partai Golkar, besar pula kemungkinannya dideklarasikan sebagai capres dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), yang dibentuknya bersama PAN dan PPP. Kemitraan Golkar, PAN dan PPP di KIB sudah jauh melampaui PT 20%.
Meski sudah bisa mengusung capres dan cawapres sendiri, PDIP disebut-sebut masih mencari partai lain untuk diajak berkoalisi. Partai moncong banteng ini tampaknya tidak mau bermain sendirian.
Ingin bermain lebih ramai juga menjadi pilihan bagi KIB dan KIR. Para ketua dan elit partai Golkar, PAN, PPP serta Gerindra dan PKB masif menggelar safari politik, menjalin komunikasi dengan partai-partai lain.
Dari tiga partai parlemen tersisa, Demokrat dan PKS yang tampaknya menjadi sasaran untuk ditarik bergabung dalam kemitraan dengan PDIP atau KIB dan KIR. NasDem sudah pasti tidak mungkin diajak berkoalisi. NasDem sudah menentukan bakal calon presidennya sendiri, yakni Anies Rasyid Baswedan.
Namun, kepastian Anies untuk dapat bertarung di Pilpres 2024 masih sangat tergantung pada bantuan dari Demokrat dan PKS. NasDem tak mungkin mengajukan Anies kalau tidak berkoalisi dengan Demokrat dan PKS, sehingga akumulasi perolehan suara mereka mencapai ambang batas pengajuan capres dan cawapres.
Jika Koalisi Perubahan yang diwacanakan NasDem, Demokrat dan PKS tidak terwujud, otomatis gugur pula status bakal calon presiden (bacapres) yang saat ini disandang Anies. Sebab, satu saja di antara Demokrat dan PKS memutuskan tidak jadi bergabung dengan NasDem, dan memilih opsi lain, Koalisi Perubahan tidak bisa dibentuk...