Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menanti Cemas Gempa Bumi Dahsyat di Sulawesi

5 Juni 2017   11:01 Diperbarui: 5 Juni 2017   11:51 2593 0
Malam ketiga Ramadhan 1438 Hijriyah bertepatan dengan 27 Mei 2017, sekira pukul 22.35 Waktu Indonesia Tengah, warga Kota Poso dan hampir sebagian besar warga Sulawesi Tengah merasakan guncangan hebat. Sumbernya adalah gempabumi tektonik berkekuatan 6,6 Skala Richter. Pusat gempa berada 40 kilometer arah barat laut Kota Poso.

Koordinator Badan Metrologi, Klimatologi dam Geofisika Palu, Petrus Demo Sili menyatakan bahwa gempa tektonik itu akibat pergerakan sesar aktif Palolo Graben. Lelaki yang aktif berkomunikasi dengan media tersebut menjelaskan bahwa Sesar Palolo Graben ini memanjang sekira 70 kilometer membentuk Lembah Palolo dan Lembah Sopu.

Petrus merujuk penelitian ahli gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Mudrik Rahmawan Daryono. Ahli gempa ini dalam disertasinya tentang "Paleoseismologi Tropis Indonesia" menyebutkan Palolo Graben di barat laut berpotongan dengan Sesar Palu-Koro, sedangkan di batas tenggara menghilang di Lembah Napu.

Pergerakan Palolo Graben pada 1977 mengakibatkan gempabumi berkekuatan 5,1 SR. Mudrik menyimpulkan bahwa dari panjang sesar, maka kekuatan guncangan gempa maksimal memang sekira 6 SR.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho mencatat bahwa Sesar ini aktif dan beberapa kali terjadi gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan seperti pada 1995, 2005, dan 2012. Pada kejadian gempa 2012 dengan kekuatan 6,2 SR mengakibatkan 5 orang meninggal dunia, 94 orang luka-luka dan 1.626 rumah rusak.

Sulawesi Tengah seperti diketahui punya Sesar Palu Koro. Sesar ini adalah sesar darat terpanjang kedua di Indonesia setelah sesar besar Sumatera. Pulau Sulawesi memang terbentuk dari tumbukan tiga lempeng besar, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.

Dalam Peta Sumber Gempa Nasional terbaru yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) tahun 2017, ada 48 sesar atau sumber gempa di Pulau Sulawesi. Padahal, dalam peta gempa 2010, di Sulawesi teridentifikasi 12 sumber gempa.

"Sebagian sesar melintas di kota padat. Berdasarkan ancamannya, yang perlu dikhawatirkan adalah Kota Palu yang dilalui Sesar Palu-Koro di segmen Palu dan segmen Saluki. Selain itu, Kota Soroako dilalui Sesar Matano, terutama segmen Pamsoa dan segmen Ballawai. Sementara Kota Poso dilalui sesar naik Tokararu," kata Mudrik seperti dilansir Kompas, 31 Mei 2017.

Dari penjelasan Mudrik itu dapat dikira seberapa besar potensi gempabumi di wilayah pulau berbentuk huruf K ini.

Adapun bagi masyarakat Sulawesi Tengah, pergerakan Sesar Palu Korolah yang mesti lebih dikhawatirkan di banding lainnya. Sesar Palu-Koro membelah Pulau Sulawesi dari Teluk Palu ke Teluk Bone. Ini adalah sesar aktif. Meski sejumlah peneliti mengelompokkan Sesar Palu Koro sebagai sesar dengan pergeseran tinggi dan kegempaan rendah.

Itulah yang menurut Mudrik mesti diwaspadai. Sebab, pertama gerakan lempeng di zona sesar bersifat merayap sehingga gaya tektonik tak tertahan jadi gempa. Kedua, gaya tektonik tersimpan, berpotensi jadi gempa besar dengan periode keberulangan lama. Pada 1909 Sulawesi Tengah diguncang gempabumi akibat pergerakan sesar ini. Seorang geolog Belanda, E.G Abendanon yang melakukan penelitian di Sulawesi Tengah mencatat bahwa gempa ini sejumlah desa di Sulawesi Tengah. Bukan tak mungkin ini terulang kembali.

Sulawesi Tengah memang punya sejarah gempabumi dahsyat. Dalam catatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, pada 20 Mei 1938 daerah Parigi dan Sekitarnya diguncang gempa. Daerah yang menderita kerusakan paling parah adalah kawasan Teluk Parigi. Kerusakan yang ditimbulkan meliputi lebih dari 50 persen rumah yang berada di wilayah tersebut.

Beberapa saat setelah gempabumi, muncul tsunami yang menggulung pantai Parigi, merobohkan 900 lebih rumah warga dan menewaskan 16 orang di pesisir Parigi. Kala itu Dermaga Parigi, mercusuar, dan ribuan batang pohon kelapa di pesisir Parigi hancur total terhempas terjangan tsunami. Daratan Parigi kemudian terpisah dan membentuk Pulau Makakata.

Pada 1927, Gempabumi dan Tsunami menghantam Kota Palu dan sekitarnya. Pada 1968 Gempabumi dan Tsunami mengguncang Tambu di Pantai Barat Donggala.

Gempabumi dan Tsunami Palu 1 Desember 1927 bersumber di Teluk Palu dan mengakibatkan kerusakan parah di Kota Palu, Palu, Biromaru dan sekitarnya. Gempabumi juga dirasakan di bagian tengah Pulau Sulawesi yang jaraknya sekitar 230 kilometer. Selain menimbulkan kerusakan sangat parah, gempabumi ini juga memicu tsunami  di Teluk Palu.

Saat itu, gelombang Tsunami yang tingginya mencapai 15 meter terjadi segera setelah gempabumi. Banyak bangunan rumah di kawasan pantai mengalami kerusakan parah. Bencana ini menyebabkan 14 orang meninggal, dan 50 orang luka-luka. Tsunami juga menimbulkan kerusakan di Pelabuhan. Tangga dermaga Pelabuhan Talise hanyut akibat terjangan tsunam ini. Sementara itu berdasarkan laporan dasar laut setempat mengalami penurunan sedalam 12 meter.

Gempabumi dan Tsunami Tambu 14 Agustus 1968 merupakan gempabumi kuat yang bersumber di lepas Barat Laut Sulawesi. Akibat gempa tersebut, di Teluk Tambu, antara Tambu dan Sabang, terjadi fenomena air surut hingga kira-kira 3 meter dan selanjutnya terjadi hempasan gelombang tsunami. Pada beberapa tebing terjadi longsoran dan terjadi retakan tanah yang disertai munculnya pancaran air panas.

Di Daerah Sabang dilaporkan bahwa tsunami datang dengan suara gemuruh. Tsunami tersebut juga menyerang di sepanjang pantai Palu. Menurut laporan, ketinggian gelombang tsunami mencapai 10 meter dan limpasan tsunami ke daratan mencapai 500 meter dari garis pantai. Daerah yang mengalami kerusakan paling parah adalah kawasan Mapaga. Ditempat ini ditemukan 160 orang meninggal dan 40 orang dinyatakan hilang, serta 58 orang luka parah.

Terakhir, Gempabumi dan Tsunami Toli-Toli dan Palu 1996 dengan kekuatan 6,3 SR menyebabkan 9 orang tewas, serta kerusakan parah di Desa Bangkir, Toli-Toli, Tonggolobibi dan Palu. Gempabumi ini juga memicu Tsunami setinggi 2 meter dengan limpasan air laut ke daratan sejauh 400 meter.

Tingginya aktivitas gempabumi di Daerah Palu berlangsung hingga sekarang. Catatam saja setelah Gempabumi Poso lalu, ratusan gempa kecil susul menyusul sampai hari ini. Sejumlah pegiat Mahasiswa Pecinta Alam Sagarmatha, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako yang baru saja turun ke wilayah Lembah Napu mengatakan bahwa saban waktu guncangan gempa menghantam wilayah itu.

Lalu apakah kita harus terus hidup di cekaman ketakutan akan datangnya Gempabumi dan Tsunami dahsyat? Direktur Eksekutif Relawan untuk Orang dan Alam, Muhammad Subarkah menimpalinya dengan singkat: Tidak perlu takut dan tidak perlu kuatir. Yang harus dilakukan kemudian, imbuh Subarkah adalah menyiapkan diri menghadapi bencana dan bagaimana bertindak pasca-bencana terjadi.

"Sulawesi Tengah dan Sulawesi secara umum dianugerahi Tuhan Yang Maha Kuasa banyak keistimewaan. Sumber daya mineralnya yang melimpah, bentang alamnya yang indah dan juga anugerah 'harta' tapak seismik yang luar biasa, seperti Sesar Palolo Graben dan Palu Koro. Jadi kita harus menerimanya mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Tinggal kita menyiapkan diri menghadapinya dan tahu cara bertindak setelah datangnya bencana," sebut alumni Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako yang membidani kelahiran lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada kebencanaan itu.

Ia juga menekankan perlunya parapihak mulai dari Pemerintah dan LSM serta masyarakat di wilayah tapak seismik itu duduk satu meja merumuskan semacam panduan aksi pra-bencana dan penangangan pasca-bencana. Itu agar dampak korban harta benda dan jiwa dapat diminimalisir. (jgb)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun