Memahami Sultra dengan Sgenap Potensinya
Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara mencakup wilayah seluas 38.140 kilometer persegi. Tata guna lahan pada tahun 1990 meliputi areal hutan seluas 25.668 kilometer persegi atau 67,3 persen, areal semak belukar seluas 4.195 kilometer persegi atau 11 persen, areal padang rumput seluas 3.700 kilometer persegi atau 9,7 persen, areal ladang seluas 1.220 kilometer persegi atau 3,2 persen, dataran tinggi seluas 1.335 kilometer persegi atau 3,5 persen, areal sawah 610 kilometer persegi atau 1,6 persen, areal perkebunan seluas 191 kilometer persegi atau 0,5 persen, areal pemukiman seluas 648 kilometer persegi atau 1,7 persen, dan areal budi daya lainnya 572 kilometer persegi atau 1,5 persen dari seluruh luas wilayah.
Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi sumber daya alam yang belum banyak dimanfaatkan. Demikian pula ada potensi pembangunan yang telah dimanfaatkan, tetapi belum optimal dikembangkan, salah satunya adalah pertamĀbangan dan galian industri.
Pada sektor ini, Propinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi berbagai mineral dan bahan galian terĀutama bahan logam seperti nikel di daerah Pomala Kab.Kolaka dan Kab. Konawe Utara, emas di Bombana, aspal di Buton serta bahan lainnya, seperti chromit, pasir, batu koral, batu kali, marmer, batu gamping, serta tanah liat yang tersebar dalam jumlah yang cukup besar untuk dikembangkan. Industri, baik yang berbasis sumber daya alam khususnya industri pengolahan hasil hutan dan hasil kelautan maupun yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), seperti industri maritim dan perkapalan, serta bioteknologi dan akuakultur, memiliki potensi untuk dikembangkan.
Menakar Tata Kelola Pertambangan di Indonesia
Sejak Terbukanya Tambang di beberapa daerah di Indonesia, baik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, ada bebrapa hal yang penting untuk ditimbang kembali mengenai kebijakan pemerintah terhadap investor yang masuk di daerah-daerah tersebut :
Pertama;Aktivitas pertambangan di sekitar kawasan hutan lindung maupun kawasan konservasi harus diwaspadai karena investor tidak peduli dengan keselamatan lingkungan. Banyak data dan informasi yang mendukung mengenai banyaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktifitas pertambangan.
Kedua; Konsekwensi dari kegiatan tambang terbuka adalah rusaknya kondisi geologis tanah dan punahnya kayu maupun tanaman lainnya, tetapi diharapkan investor memiliki tanggungjawab untuk melakukan penanaman pengganti. Padahal dalam izin usaha pertambangan yang diterbitkan pemerintah terurai secara rinci tentang tanggungjawab perusahaan pengolah hasil bumi. Antara lain, merehabilitasi kembali lahan bekas galian dan menyerahkan dana sosial kemasyarakatan. Tetapi Investor kadang menabrak aturan dengan mengedepankan keuntungan usaha pertambangan dibandingkan dengan keberlangsungan ekosistem lingkungan.
Ketiga;Pertimbangan dan Kesejahteraan. Pada sisi ini ada beberapa hal yang mesti dipertimbangkan terlebih mengenai Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilekuarkan oleh pemerintah. Karena banyak Titik-titik penambangan yang dieksploitasi tidak berdasarkan pada kehendak undang-undang dasar 1945. Karena telah termaklumat pada Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang, atau monopoli, oligopoli maupun praktek kartel. Apalagi, pengimplementasian UU 1945 itu bersikap mendua, yaitu hak menguasai oleh negara menjadi dapat didelegasikan ke sektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara buatan pemerintah sendiri.
"Mendua" karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam pengelolaan SDA yang bersemangat sosialis menjadi demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan yang mendapat hak mengelola. Sedangkan pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi sempit, yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalty, akan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketiga hal diatas menjadi dialektika kita semua elemen masyarakat Indonesia, Sehingga pada fase yang akan datang Tata Kelola Pertambangan Indonesia lebih diarahkan pada Peningkatan Kesejahteraan Rakyat, mempertimbangkan Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL) sehingga Pemerintah juga melahirkan Undang-Undang yang berorientasi pada keberlangsungan Sumber Daya Alam Indonesia.
Deklarasi Pusat Study Kajian Pertambangan PMII se-Indonesia
Acara Workshop ini akan banyak di isi Oleh Pembicara yang Berkompoten dalam Dunia Pertambangan, Ekonomi, dan Tata Kelola Lingkungan. Forum ini menjadi penguatan Pengetahuan Kader PMII dalam memahami lebih jauh isu-isu strategis pertambangan, Tata Kelola Pertambangan, Relasi Investasi Internasional dan Nasional, Seberapa Perduli Pelaku Pertambangan terhadap Lingkungan serta Seberapa Besar Keberpihakan Perusahaan Pertambangan terhadap kesejahteraan Rakyat.
Pada sessi akhir dilaksanakan Deklarasi Pusat Studi Kajian Pertambangan PMII, Pusat study ini adalah ikhtiyar PMII secara struktural yang dilakukan dalam menguatkan Pengetahuan kader PMII pada sektor Pertambangan, Tata Kelola Lingkungan, Ekonomi dan Investasi. Pada sisi yang lain Pusat study ini menjadi bagian dari upaya PMII secara Organisasi untuk lebih Profesional dalam menghadapi isu=isu pertambangan. Sehingga Nalar PMII tidak semata melakukan Advokasi kepada Masyarakat korban Pertambangan, melainkan lebih jauh kedepan Kader PMII akan mampu memahami aturan-aturan disektor tambang serta menjadi stakeholder dalam tata kelola Pertambangan di Indonesia.
Wallahul Muwwafieq Illah Aqwatith Thareieqh