Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Sarundajang, Gubernur Spektakuler

18 Juli 2012   08:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:50 829 4

Belum lama ini, Gubernur Sulawesi Utara (Sulut) Sinyo Harry Sarundajang menerima gelar doktor kehormatan atau doctor honoris causa di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Upacara penyampaian pidato ilmiah yang dibawakan promovendus dihadiri para pemimpin berbagai agama, termasuk ko-promotor Dr Franz Magnis Suseno dan mantan pemimpin organisasi Laskar Jihad yang sudah ia bubarkan sendiri, Jafar Umar Thalib. [Beritanya di sini]

Sarundajang menyampaikan pidatonya yang berjudul "Kepemimpinan dalam Masyarakat Majemuk" dan mendapat gelar doktor untuk bidang ilmu Kepemimpinan Masyarakat Majemuk. Hal berbeda gelar doctor HC Sarundajang dengan gelar doctor pejabat-pejabat lainnya adalah isi pidatonya yang merupakan bagian pengalaman hidup pribadi yang nyaris merenggut nyawanya.

Salah satu bagian pidato Sarundajang itu, berkisah tentang pengalamannya sebagai mediator antara kelompok Islam dan Kristen yang berseteru pada 1999-2001. Kala itu, ia ditugaskan menjadi Gubernur Maluku dan Maluku Utara oleh Presiden Megawati Sukarnoputri, untuk meredam konflik berdarah di sana.

Beberapa jam di hari pertama setelah tiba di Kota Ternate, Sarundajang disambut oleh ledakan bom di dekat tempat penginapannya. Sejumlah utusan Muslim menemui Sarundajang untuk menyatakan penolakan.”Ini tugas negara, saya tak akan mundur. Mati sekalipun saya siap,” ujar Sarundajang menjawab penolakan sejumlah tokoh masyarakat Maluku Utara.

Kondisi sama terjadi di Ambon. Untuk bisa memimpin Maluku sebagai gubernur, warga di sana memintanya untuk melakukan ‘uji kesaktian’. Di sebuah desa, Sarundajang diminta untuk mencambuk dengan tiga ujung lidi seorang lelaki kebal senjata yang telanjang dada. Apabila bekas cambukan pada tubuh lelaki kebal itu mengeluarkan darah, maka Sarundajang dianggap memenuhi syarat adat memimpin Maluku.

Kedua contoh pengalaman tersebut tertuang dalam pidato Sarundajang di hadapan senat universitas. Menurutnya, konflik Maluku dan Maluku Utara merupakan suatu konflik horisontal atau konflik sosial.  Ia yakin, etnik Maluku terkenal dengan toleransi agama yang tinggi, sesuai adat pela, pemusik, mencintai persaudaraan, selalu ingin menjaga persatuan dan kesatuan. Sayangnya, kondisi itu dirusak oleh pihak tak bertanggung jawab.

Baginya, warga Maluku dan Maluku Utara sangat mendambakan kehidupan yang tenteram dan damai, serta sebaliknya, mereka membenci segala bentuk anarki dan tindak kekerasan. Bahkan, warga di daerah-daerah pada dasarnya memiliki sistem nilai dan cara sendiri, untuk menyelesaikan berbagai persoalan melalui tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

Selama bertugas di daerah konflik, Sarundajang berupaya menyelesaikan konflik dengan pendekatan hati nuranidan memahami kearifan lokalyang ada di masyarakat. Kedua hal ini merupakan hal yang hakiki, membutuhkan keberanian, kesungguhan dan ketekunan.

”Saya wajib mempelajari kearifan lokal di tengah masyarakat yang sedang bertikai; memahami karakter, adat dan budaya masyarakat lokal. Namun, kalau ini dikatakan suatu keberhasilan, bagi saya bukanlah semata-mata kekuatan dan kepintaran saya, tetapi pada hakekatnya saya hanyalah alat Tuhan,” katanya.

Dan kunci memecahkan persoalan konflik yakni tidak memihak siapa pun di samping berdialog dan selalu mendengarkan langsung pihak-pihak yang bertikai.

Menurut saya, keberhasilan Sarundajang berperan sebagai mediator konflik, perlu diapresiasi. Jarang sekali tokoh politik dan negarawan di negeri ini, yang berani menyelesaikan masalah. Malah sebaliknya, banyak pemimpin negeri ini yang membiarkan konflik terjadi di masyarakat untuk menjaga kepentingan dan kedudukannya. Bagi saya, figur seperti Sarundajang patut diperhitungkan sebagai calon pemimpin nasional masa depan.

Rektor UIN Malang, Imam Suprayogo dalam pidatonyanya menyatakan, betapa pihaknya risau atas kian langkanya kepemimpinan nasional yang bervisi kemajemukan. Menurut Imam, Sarundajang sebagai non muslim dalam kajian ilmiah lembaga UIN patut mendapat promosi gelar ilmiah bidang kepemimpinan kemajemukan, antara lain justru karena dorongan mantan pemimpin Laskar Jihad Jafar Umar Thalib.

Jafar yang hadir dan ikut memberikan selamat kepada Sarundayang menyatakan, dirinya kini memimpin pondok pesantren di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, setelah tak lagi memimpin Laskar Jihad yang ia bubarkan.

Salam Kompasiana!

Jackson Kumaat on :

My Blog KompasianaWebsiteFacebookTwitterPosterousCompanyPolitics |

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun