Judul di atas seperti pilihan untuk memakan buah simalakama. Sebuah pilihan sulit di masa ekonomi sulit. Karena seluruh rakyat mendambakan pemimpin bersih yang dermawan.
Untuk menjadi pemimpin di Negara demokrasi khususnya di Indonesia, harus mengeluarkan cost politic yang cukup tinggi. Tak sedikit calon pemimpin berkualitas otak dan kinerjanya, harus mengakui keunggulan kompetitor di ajang pemilihan umum kepala daerah atau Pemilukada.
Saya adalah salah satu contoh calon kepala daerah yang gagal di ajang pilkada Manado tahun 2010 lalu. Tapi, di tulisan ini saya bukan ingin curhat atau berkeluh kesah tentang Pilkada yang saya alami. Bagi saya, yang lalu biarlah berlalu karena hari esok penuh dengan misteri.
Kembali ke topik di atas. Benarkah rakyat mendambakan pemimpin yang dermawan?
Menurut saya, berdasarkan pengalaman kawan-kawan anak muda yang pernah (atau sedang) bergelut di dunia politik, jawabannya adalah ya. Tapi persoalannya adalah, sulit menemukan calon pemimpin atau pemimpin yang gemar berbagi ke rakyatnya. Jika pun itu ada, ‘masa waktu’ berbagi sangat terbatas dan ada kadaluarsanya.
Harta kekayaan pemimpin dermawan itu terbatas. Jumlahnya bisa merosot tajam, seiring dengan intensitas kinerja pemimpin tersebut bertemu dengan masyarakat. Semakin banyak acara yang digelar, maka semakin banyak uang yang dikeluarkan sebagai cost politic. Belum lagi, jika pemimpin dikelilingi sejumlah penjilat dan penipu yang ingin mencari kesempatan ‘proyek kecil-kecilan’.
Adalah sangat sulit berpijak pada prinsip anti-korupsi, tapi di saat yang sama ada tuntuan cost politic. Bagaimana mungkin pemimpin harus mengaudit keuangannya agar tak bocor, sedangkan di saat yang sama harus ‘membayar uang siluman’? Jika tak dibayar, maka dikhawatirkan akan mengganggu hubungan dengan konstituen. Sementara jika dibayar, maka akan didekati oleh aparat, termasuk petugas KPK.
Di sinilah saya ingin berpikir jernih terhadap kasus yang dialami Walikota Bekasi Mochtar Mohammad. Ia dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor di Bandung, setelah beberapa waktu lalu ditangkap KPK. Kader PDI Perjuangan itu tiba-tiba jadi topik pembicaraan, apalagi KOMPAS terbitan hari ini memuatnya di headline dengan judul ‘Putusan Bebas Sudah Diduga’.
Di tulisan saya sebelumnya, ada dugaan ‘permainan’ dalam dibebaskannya Mochtar dari segala tuntutan hukum. KPK-pun di ujung tanduk. Apakah harus mengalah, atau naik banding.
Menurut kabar sejumlah kawan saya yang pernah menjalin hubungan dengan Pak Mochtar, politisi kelahiran Gorontalo ini dikenal dekat dengan masyarakat. Ia selalu diterima dari berbagai lapisan, meski warga kota Bekasi mayoritas berasal dari suku Sunda.
”Beliau baik hati,” begitu sumber saya berkomentar tentang sosok Mochtar Mohammad.
Muncullah pertanyaan saya. Apakah jika baik hati ke masyarakat, lantas boleh korup? Pertanyaan ini tak mampu dijawabnya.
Saya jadi teringat kasus yang dialami Walikota Manado Jimmy Imba Rogi dan Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, yang kini mendekam dipenjara lantaran kasus korupsi. Mungkin, sebagian warga kota Medan atau Kabupaten Langkat Sumatera Utara sangat mengenal betul dengan sosok bersahaja Pak Syamsul. Pun demikian dengan sebagian warga kota Manado yang ‘terkejut’ dengan penahanan Pak Imba.
Lain lagi dengan Bupati Boven Digoel Propinsi Papua, Yusak Yaluwo, yang justru memenangkan Pemilukada, saat yang bersangkutan ditangkap dan masuk penjara. Bisa jadi, ini menandakan kecintaan rakyat terhadap pemimpin dermawan meski korup.
Semoga, kisah dan pengalaman para pemimpin ini bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja yang berniat masuk bursa calon di ajang Pemilukada atau Pemilu. Setiap calon pemimpin harus ‘memancing uang’ demi kemenangan Pemilukada, sedangkan jika terpilih masih melakukan hal yang sama. Sama dengan warga pesisir Barat Melayu yang ditanya jika harus memilih buah simalakama, jawabannya kira-kira begini, ”Buah itu akan dijual ke orang lain, karena akan lebih menguntungkan”.
Salam Kompasiana!