Lagi-lagi studi banding DPR ke luar negeri. Entah apa isi hati para wakil rakyat itu, sehingga mereka tetap ngotot untuk tetap melakukan studi banding, meski sering ditentang oleh publik.
Pekan lalu, sejumlah anggota DPR (secara diam-diam) bertolak ke Amerika Serikat (AS), China, Swedia dan India. Anggota DPR dari Badan Legislasi berangkat ke China, karena mereka merasa ‘bodoh’ dalam manajemen dan regulasi obat-obatan. Sementara Panitia Khusus RUU Penanganan Konflik Sosial akhir pekan lalu juga meninggalkan Indonesia menuju ke India dan Swedia.
Wakil Ketua Komisi IV Herman Khaeron beralasan, studi banding ke empat negara itu sangat penting untuk mengetahui sistem tarif, proteksi, lembaga keuangan petani, subsidi, promosi, asuransi pertanian, lembaga pangan, serta peran dan keterlibatan pemerintah, swasta, dan masyarakat di negara tersebut.
Ternyata, media massa nyaris luput menghadang berita seputar studi banding DPR. Komisi 9 DPR juga turut serta studi banding soal TKI ke Korea Selatan. Sedangkan salah satu anggota Komisi 9 dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Dyah Pitaloka, berniat ke Hongkong untuk bertemu tenaga kerja Indonesia di sana. So, saya tak menemukan pencerahan berita tentang berapa banyak anggota DPR ke luar negeri dank e Negara mana saja mereka, karena situs resmi DPR tampaknya sedang bermasalah. Lemotnya minta ampun!
Menurut saya, kalangan DPR sepertinya tak tahu cara berhemat uang negara. Padahal, jika mereka memiliki keinginan (political will), seharusnya studi banding sudah tak ada dalam agenda kerja tahunan. Studi banding ke luar negeri yang bisa menghabiskan dana ratusan miliar rupiah itu pun, tak menjamin adanya peningkatan kualitas kinerja DPR.
Apalagi sebenarnya, para wakil rakyat bisa memanfaatkan teknologi teleconference sebagai cara mengganti studi banding. Cara ini terbukti lebih efektif dan efisien. Anak saya saja yang masih TK sudah bisa memanfaatkan situs skype untuk menelopon gratis ke luar negeri. Baca tulisan saya 'Ganti Studi Banding dengan Teleconference!'
Nah, di sinilah saya jadi teringat tulisan yang diposting Rizaldo tentang seorang Suster Cecilia di kolong jembatan tol Priok menuju Bandara Sukarno Hatta, berjudul Suster Cecillia dan Jompo Kolong Tol. Tak terasa, saya menitikkan air mata membaca kisah Suster Cecilia yang setiap hari memberi makan kaum jompo tanpa lelah. Upayanya memberikan sebungkus nasi dan lauk pauk, merupakan pertolongan yang sangat dibutuhkan. Kaum jompo tersebut mendapatkan pertolongan yang sangat dibutuhkan, apalagi tak ada uluran tangan dari instansi terkait di pemerintahan.
Saya jadi membayangkan, jika dana perjalanan studi banding DPR ke luar negeri sekitar Rp 100 miliar, maka bisa dialihkan untuk membelikan nasi bungkus bagi kaum jompo dan anak-anak terlantar, minimal untuk satu tahun ke depan. Kemudian, dana studi banding tahun 2012 mendatang juga bisa dialihkan untuk nasi bungkus kaum jompo dan anak-anak terlantar, untuk setahun berikutnya hingga masa jabatan mereka habis di DPR pada 2014.
Lantas, kenapa para wakil rakyat keras hati? Kenapa mereka lebih memilih studi banding daripada terjun langsung ke masyarakat? Tak malukah 550 anggota DPR kepada seorang Suster Cecilia?
Bagi saya, seorang Suster Cecilia harus mendapat dukungan dari semua pihak, termasuk pers dan komunitas media sosial. Pertolongan Suster Cecilia yang ikhlas telah membuka mata hati saya, bahwa menolong itu tak membedakan latar belakang suku, agama dan golongan. Menolong orang lain yang membutuhkan bantuan adalah pekerjaan mulia. Menurut saya, kita perlu melakukan perlawanan hedonis para wakil rakyat dengan gerakan mendukung Suster Cecilia.
Salam Kompasiana!