Saya sempat kaget, tulisan saya di Kompasiana berjudul Aktivitas Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Amsterdam: Berjuang Meraih Dukungan Referendum dari Negara-negara Eropa, langsung direspon sejumlah jurnalis media online. Para jurnalis setuju, laporan pandangan mata saya di Amsterdam tentang aktivitas OPM di Belanda, memang harus dipublikasikan dan direspon serius oleh Pemerintah RI.
Saya sengaja menulis ini di Kompasiana, karena saya kebetulan melintas di sebuah jalan di Amsterdam. Keberdaan ‘toko’ yang disewa oleh OPM ini cukup menarik ditulis, karena mereka berani memasang bendera Papua Merdeka dan menyediakan donasi ke pengunjung untuk perjuangan kemerdekaan Papua.
Setelah saya menulis di Kompasiana, sejumlah media online menuliskan judul antara lain: ‘Atribut Organisasi Papua Merdeka ada di Amsterdam’ di TribunNews, ‘Atribut Papua Merdeka Nongol di Belanda’ di detik.com, ‘Bendera OPM Berkibar di Belanda’ di okezone.com, ‘Bendera OPM Berkibar di Amsterdam’ di inilah.com, dan ‘Sebuah Toko di Belanda Dijadikan Sarang OPM’ di Vivanews.com.
Tentu sebelumnya, saya siap ditanya soal live report di Amsterdam. Dengan fakta ini, saya pikir, Pemerintah RI perlu merespon keberadaan kantor perwakilan OPM di luar negeri. Bagi saya, selama NKRI masih utuh dengan adanya propinsi Papua dan Papua Barat, maka kantor OPM ini merupakan ‘gangguan’ dalam menjaga keutuhan NKRI. Jika kantor OPM di Amsterdam ini dibiarkan berdiri kemudian diikuti oleh kantor-kantor OPM di Negara lainnya, maka ini menjadi preseden buruk bagi kinerja pemerintah RI.
Untuk langkah awal, saya merespon positif atas penegasan Kementerian Pertahanan RI, yang dalam hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Komunikasi Publik (Kapuskom) Kemhan, Brigjen Hartind Asrin (baca : Kemhan Telusuri Keberadaan Ruko OPM di Amsterdam).
Bagi saya, keberdaan kantor perwakilan OPM ini, haris segera diselidiki! Jangan sampai hubungan bilateral Indonesia dan Belanda terganggu, akibat adanya kantor OPM di Negeri Kincir Angin itu. Sikap klarifikasi dari pemerintah Belanda dan Negara-negara di Eropa juga diperlukan, agar tidak bias dalam menyikapi dukungan pada keutuhan NKRI.
Minimal, Pemerintah Belanda harus berani bersikap, bahwa wilayah NKRI itu sudah termasuk Papua dan Papua Barat. Sehingga, jika ada pihak-pihak yang menganggap kedua propinsi itu bukan wilayah RI, maka harus dijadikan ‘musuh bersama’. Sikap seperti ini juga harus dilakukan Indonesia, apabila ada organisasi pemberontak yang terang-terangan bermarkas di Jakarta.
Hari ini 21 November 2011, Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua genap berumur sepuluh tahun. Sayangnya, rakyat Papua belum beranjak jauh dari kondisi 10 tahun lalu, sebagian besar rakyat Papua masih hidup dalam kemiskinan, keterbelakangan bahkan keterisolasian. Sementara uang puluhan triliun rupiah yang diberikan untuk mempercepat proses pembangunan di Papua, hingga kini menguap entah ke mana.
Jika memang ada kesenjangan pembangunan di Papua akibat adanya kebocoran dana otsus terjadi di dalam pemerintahan, maka aparat penegak hukum harus segera turun tangan. Jika memang keberadaan PT Freeport merupakan penyebab Papua tak bisa maju, maka harus ada langkah politik agar segera menasionalisasi perusahaan tambang emas tersebut. Pun termasuk, jika nanti malam ada ‘trio macan’ di Timnas Indonesia saat berlaga melawan Malaysia di Final Sepakbola Sea Games 2011, maka kita harus dukung. (Nb: Trio Macan ini adalah Okto Maniani, Titus Bonai, dan Patrich Wanggai)
Untuk itu, Pemerintah RI harus berani membongkar korupsi dana otsus dan memulai skema nasionalisasi PT Freeport. Sedangkan sinyalemen kemerdekaan Papua harus diredam dengan meningkatkan dialog. Saya pikir, itulah yang terpenting! Tentunya, mari kita dukung Trio Macan nanti malam melawan Malaysia!
Salam Kompasiana!
Jackson Kumaat on :