Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Menyusuri Jejak ‘The Three Musketeer’ di Maastricht

18 November 2011   09:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:30 212 1
[caption id="" align="aligncenter" width="575" caption="Berkunjung ke ruang layanan publik Kantor Walikota Maastricht (foto: dok.pribadi)"][/caption]

BEBERAPA hari lalu saya berada di Maastricht Provinsi Limburg Belanda, sepulang dari Paris Perancis. Di kota kecil yang terletak di selatan Belanda itu, saya menyempatkan diri mengunjungi kantor walikota Maastricht untuk kepentingan bisnis. Kota ini menjadi makin terkenal, setelah menjadi kota lahirnya mata uang Euro pada tahun 1993.

Jika baru pertama kali ke Belanda, biasanya kita menganggap warga Maastricht sebagai warga Belanda umumnya. Tetapi ternyata tidak. Banyak warga Maastricht ini memiliki percampuran keturunan darah Belgia dan Jerman. Bahasa yang digunakan memang bahasa Belanda, tapi dialeknya sedikit berbeda.

Aparat pemerintah di kantor walikota Maastricht tak terlihat banyak. Kondisi di sini tak seperti di Tanah Air, yang memiliki banyak aparat pegawai negeri sipil (PNS) di kantor pemerintah. Meski hanya sedikit jumlah tenaga administrasinya, tapi bukan berarti mereka santai.

Di saat PNS di Indonesia bisa berleha-leha di mall atau pulang lebih awal, tapi pegawai di Maastricht masih tampak sibuk bekerja. Entah apa yang dikerjakannya di layar komputer masing-masing. Tapi yang jelas, tampak keseriusan mereka mengolah data kependudukan dan layanan masyarakat.

Menurut sejarah berdirinya Maastricht, kota ini pada pemerintahan Charles V (1500-1558) pernah menjadi satu bagian dengan Belgia, Luxembourg, dan Jerman. Bahkan, pada masa kejayaan Empirium Romawi, kota ini menjadi ‘penghubung’ Eropa bagian selatan dan utara, dengan Sungai Maas sebagai sarana transportasi.

Ketika Katolik dan Belgia yang berbahasa Perancis memisahkan diri dari Belanda utara pada 1830, Provinsi Limburg pada awalnya hampir seluruhnya di bawah kekuasaan Belgia. Namun, dengan Perjanjian London 1839, provinsi ini dibagi dua, dengan bagian timur ke Belanda dan bagian barat ke Belgia, sebuah pembagian yang tetap ada sampai sekarang.

Konon Napoleon Bonaparte pernah berupaya untuk menaklukan kota ini. Tapi warganya mempersiapkan diri dengan membangun benteng-benteng pertahanan, yang hingga kini masih berdiri sebagai tempat bersejarah.

Salah satu yang menarik perhatian saya di Maastricht adalah kisah ‘The Three Musketeer’, yang sudah dijadikan film layar lebar. Pada 1673, Louis XIV pernah memerintahkan pengepungan Maastricht oleh pasukan Prancis. Selama pengepungan, salah satu brigadir, Charles de Batz-Castelmore d'Artagnan, tewas. Ia kemudian dikenal sebagai karakter utama dalam The Three Musketeer karya Alexander Dumas.

Semboyan ‘one for all and all for one’ atau ‘satu untuk semua, dan semua untuk satu’, merupakan gambaran filosofi warga Maastricht. Jika diterjemahkan ke dalam konsep filosofi Indonesia, seperti layaknya semangat gotong-royong.

Semangat inilah yang hingga kini masih terlihat di komunitas warga Maastricht. Warga di sini pun pluralis. Banyaknya suku bangsa dan latar belakang agama, membuat warga di sini mengedepankan persatuan dan menghindari konflik. Inilah salah satu faktor utama yang berperan dalam industri pariwisata.

Mungkin, kota ini bisa menjadi contoh kota wisata atau calon kota wisata di Indonesia. Pemerintah Kota Maastricht memiliki visi yang bagus untuk membuat kota ini menjadi menarik bagi turis, para investor, dan juga bagi penduduknya.

Pemerintah kota juga mampu memanfaatkan potensi daerah yang dimiliki, kemudian mengemasnya sedemikian rupa sehingga menarik dan inovatif, serta menjualnya dengan nilai jual yang tinggi. Jadi, tidak heran jika kota ini menjadi tempat tujuan wisata yang layak dipertimbangkan, tempat investasi yang menguntungkan, dan juga tempat yang indah untuk ditinggali oleh penduduknya.

Salam Kompasiana!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun