Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

jika Bbm Tak Terbeli...

1 Februari 2011   05:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:00 171 1

Tapi, itulah yang terjadi di negeri ini. Persoalan kemacetan di Jakarta dan kesemrautan sistem transportasi publik, membuat saya tetap bertahan menggunakan kendaraan pribadi. Saya tak peduli dengan meningkatnya pajak kendaraan bermotor, karena belum ada jaminan dari pemerintah terhadap keamanan dan kenyamanan transportasi ibukota.

PT Pertamina pun tampaknya tak mengetahui isi hati saya, agar BBM non-subsidi tak naik lagi. Perusahaan BUMN ini kembali menaikkan sebagian besar harga BBM nonsubsidi yang terdiri dari pertamax, pertamax plus, bio pertamax di Jakarta dan seluruh Indonesia mulai pukul 00.00, tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Mungkin belum banyak Kompasianer tahu, bahwa harga minyak melonjak kembali di atas 100 dollar Amerika Serikat per barel, melewati penghalang penting untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun, karena pedagang cemas atas dampak kerusuhan Mesir pada pasokan minyak mentah global.

Awalnya, saya tak terkejut dengan berita ini. Tapi, kenaikan yang cukup tinggi yakni Rp 200 dari Rp 7.850 per liter menjadi Rp 8.050 untuk pertamax. Adapun harga pertamax plus naik dari Rp 8.100 menjadi Rp 8.450 per liter.

Saya belum lupa Pertamina sudah menaikan pertamax dari dari Rp 7050 menjadi Rp 7500 pada Pesta pergantian tahun baru 2011. Dan kini, harga BBM non-subsidi sudah hampir 2 kali lipat dari harga BBM bersubsidi yang masih berkutat di angka Rp 4500.

Lantas, wajarkah saya bertahan untuk tetap membeli BBM non-subsidi, sedangkan BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan? Perlukah saya menggunakan surat jatuh miskin dari RT, RW dan kantor kelurahan, agar saya bisa menikmati BBM bersubsidi? Pertanyaan yang terakhir ini, karena pikiran saya sudah gamang dengan slogan BBM non-subsidi.

Bagi saya, saat ini pemerintah harus mengeluarkan kebijakan strategis jangka panjang, agar dapat mengatasi polemik transportasi di Indonesia. Bukan hal yang mustahil, kemacetan yang rutin terjadi di Jakarta, akan terjadi di kota-kota lain, jika tak ada kebikakan baru.

Pajak bagi pemilik kendaraan bermotor, juga bukan solusi jangka panjang. Apalagi, jika tak disertai pengawasan, maka kendaraan-kendaraan siluman akan menambah padat ruas-ruas jalan. Kendaraan siluman di sini adalah kenadaraan yang belum bayar pajak, tanpa STNK/BPKB, plat nomor ganda, atau kendaraan orang kaya. Sudah saatnya, setiap rumah tangga tak boleh memiliki lebih dari 2 kendaraan, sebagai upaya mengatasi kemacetan.

Menurut Kepala Dinas Perhubungan Jakarta Udar Pristono, pertumbuhan kendaraan baik roda dua atau empat di ibukota mencapai 1.172 unit per harinya. Sebanyak 186 unit kendaraan roda dua dan 986 unit kendaraan roda dua terdaftar di Dinas Perhubungan Jakarta tiap harinya. Jika jumlah total kendaraan di Jakarta pada Juli 2010 sudah mencapai 6,7 juta unit, bisa dibayangkan jumlah kendaraan pada tahun-tahun mendatang.

Tampaknya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah menargetkan pertumbuhan kendaraan bermotor di DKI Jakarta pada 2011 tertekan hingga 4% dibandingkan dengan periode yang sama tahun ini. Optimisme Gubernur DKI Jakarta Bang Kumis ini, berkaitan dengan rencana penerapan skema pajak progresif untuk kendaraan bermotor yang akan efektif berlaku pada 1 Januari 2010.

Dan terakhir, saya cuma ingat janji Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Darwin Zahedy Saleh, yang pernah menyatakan, pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) menyusul naiknya harga minyak mentah dunia.

Pak Darwin di akhir tahun 2010 tampaknya masih optimis, melonjaknya harga minyak fosil dunia, justru bisa menjadi hikmah yakni mempercepat diversifikasi energi dan mengembangkan energi terbarukan.

Jika harga minyak dunia masih terus naik sampai akhir kuartal pertama 2011, maka pada saat itu rencana kebijakan Pembatasan BBM bersubsidi 2011 akan dilaksanakan (jika disetujui oleh komisi VII DPR ). Semoga ini bukan sekedar janji Pak Menteriā€¦.

Salam Kompasiana!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun