Mbah Maridjan telah berpulang. Ada 1001 pertanyaan yang belum terjawab, sejak Mbah menghadap ke Sang Ilahi. Tapi ternyata, ada jutaan pesan dari ‘pemegang juru kunci’ Gunung Merapi itu, yang nyaris tak terkuak di tengah-tengah hiruk-pikuk evakuasi warga di lereng Merapi.
Sebelumnya saya pernah menulis berjudul "Apa Kabar, Mbah Maridjan?" di Kompasiana, yang intinya tentang kerinduan saya pada sosok Mbah yang 'mengabdi' pada Merapi.
Apa saja pesan-pesan itu?
Bagi saya yakni pertama, Mbah Maridjan tak akan turun gunung sebelum Merapi benar-benar akan meletus. Faktanya, Mbah telah wafat di rumahnya bersama sejumlah warga dan relawan, akibat turunnya awan panas dari puncak gunung. Rumah Mbah memang cukup dekat dengan puncak Merapi.
Bagi kalangan ilmuan, rumah tersebut masuk di zona paling bahaya dan harus dievakuasi. Tapi apa yang dilakukan Mbah dan sejumlah ‘pengikut’-nya menjelang wedhus gembel menerjang kawasan lereng Merapi? Ya, Mbah bergeming. Ia memiliki keyakinan, bahwa Merapi belum akan meletus.
Di sinilah pesan tersirat itu. Mbah Maridjan wafat bersama sejumlah orang lainnya, menjelang letusan Merapi yang bertubi-tubi. [Baca: Krisis Letusan Merapi Belum Berakhir] Itu berarti, Merapi pasti akan meletus ketika Mbah wafat. Itulah sebuah pesan berharga yang seharusnya digunakan pemerintah untuk melakukan evakuasi massal. Minimal, pemerintah seharusnya langsung memberi pengumuman ke warga di radius 15-20 Kilometer, yang dianggap rawan dampak letusan.
Kedua, Mbah Maridjan memiliki sifat patriotisme. Sikap ini ditunjukkan Mbah sebagai orang yang dipercaya Sri Sultan Hemengku Buwono IX, untuk tinggal menetap di lereng Merapi. Mbah pun pernah menolak perintah Sri Sultan HB X, dan mengaku hanya tunduk pada Sri Sultan HB IX. Tentu, hanya Mbah yang punya cara sendiri sebagai bentuk komunikasi dengan Sri Sultan HB X. Pada 2006, Mbah nekat bertahan di kediamannya meski sudah dipaksa untuk mengungsi.
Ketiga, Mbah Maridjan setia pada tugas. Sebagai bentuk tanggung jawab tersebut, Mbah selalu menjalankan tugas mengamankan Merapi. Mungkin info ini nyaris tak terdengar, ketika Mbah melarang pendaki naik ke Merapi atau ketika Mbah memarahi pengunjung membuang sampah sembarangan. Ia lebih mengenal kondisi dalam gunung, meski akhirnya ia harus mengakui keperkasaan Merapi.
Saya beranggapan, tiga pesan tersebut seharusnya menjadi modal bagi kita semua. Mudah-mudahan bisa teladan leluhur serta menjadi memacu semangat dalam aktivitas sehari-hari. Setidaknya, ini bisa jadi acuan bagi para relawan, yang masih terus berjuang bagi upaya penyelamatan umat manusia di lereng Merapi. Semoga tak jatuh korban lagi.
Salam Kompasiana !