SIAPA yang tak kenal politik uang (money politics)? Mungkin saat ini sudah hampir semua orang kenal istilah ini. Atau bisa jadi, secara tak sadar pernah berhadapan dengan politik uang.
Money politics sebenarnya bukan istilah baru. Dalam contoh kasus yang saya alami di pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Manado Sulawesi Utara, istilah money politics cukup akrab di masyarakat. Tapi lantaran etika dan estetika, biasanya politik uang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Di tulisan ini, saya ingin berbagi kisah suka-duka sebagai salah satu kandidat Pilkada Manado, khususnya menjelang pemungutan suara ulang (PSU), yang rencananya digelar pada 21 Oktober 2010.
Sebelumnya pernah saya sampaikan, pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah Kota Manado, harus diulang karena terbukti adanya pelanggaran berat. Mahkamah Konstitusi menilai ada pelanggaran yang bersifat masif, sistematis dan terstruktur.
Ternyata, money politics menjelang Pilkada 3 Agustus 2010 juga kembali terjadi menjelang PSU 21 Oktober 2010. Bukti-buktinya? Itu menjadi kewenangan pihak kepolisian dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Saya tak ingin mencampuri tugas dan kewenangan mereka.
Sekali lagi memang benar, politik uang sulit terlihat, tapi bisa dirasakan. Saya berusaha sebisa mungkin untuk menghindarinya. Tapi makin dihindari, makin bertubi-tubi ‘teror’ politik uang pada diri saya dan anggota tim kampanye. Lho kok politik uang bisa jadi ‘teror’ bagi kandidat?
Menjelang pemilihan kepala daerah kali ini, banyak warga yang mendatangi kantor sekretariat Posko Kampanye, untuk mengajukan proposal dengan alasan permintaan bantuan sosial, keagamaan, olah raga dan kegiatan lainnya. Proposal yang datang pun tak sedikit. Malah, satu wilayah kelurahan bisa mengirimkan lima proposal berbeda.
Ada juga sejumlah yang menelepon langsung atau mengirim pesan singkat (meski isinya panjang), perihal sebuah kegiatan yang bentuknya pengerahan massa.
Padahal, menjelang PSU Manado, KPU-D melarang seluruh kandidat melakukan segala bentuk kampanye. Apalagi politik uang dan bagi-bagi sembako, itu haram hukumnya. Saya dan tim tidak bisa melanggar aturan ini.
Namun peta politik Sulawesi Utara, khususnya Manado, memang cukup unik dibandingkan dengan daerah lain. Pendukung dan simpatisan fanatik untuk kandidat Si-A, bisa berubah haluan ke Si-B, jika Si-A tidak melancarkan politik uang. Bahkan, warga pemilih terdaftar yang sejak awal bersikap apatis dan golput, bisa tergiur untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS), jika diberi imbalan uang atau dalam bentuk barang.
Saya sangat berharap, masyarakat tidak memancing kandidat untuk berkampanye, menjelang PSU Pilkada Manado. Jika kandidat nekat menggelar kampanye terbuka dan terlibat money politics, maka akan terancam digugurkan oleh KPU-D Manado. Juga kepada jajaran anggota KPU kota Manado yang baru terpilih, harus bersikap independen dalam melaksanakan tugasnya, dengan tidak memihak pada salah satu kontestan Pilkada. Panwas Pilkada Manado harus segera memberi sanksi tegas kepada kandidat manapun, yang kedapatan melakukan politik uang.
Kita harus sepakat, semua kandidat dan KPU harus memberikan eduksi politik kepada masyarakat, bahwa kampanye dan politik uang dapat merusak demokrasi yang terbangun. Jika kandidat terpilih karena hasil politik uang, maka tak menutup peluang pemimpin yang baru melakukan korupsi.
Mudah-mudahan, Pilkada Manado tak diulang kembali gara-gara money politics. Cukuplah sudah Pilkada digelar, 21 Oktober nanti. Kalau Pilkada diulang lagi, itu sama saja pemborosan uang negara. Kasihan nasib rakyat melihat kecurangan berlanjut terus.
Salam Kompasiana !