Akhirnya, pasangan gubernur-wakil gubernur Sulawesi Utara (Sulut) pemenang Pilkada 2010, Sinyo Harry Sarundajang-Djauhari Kansil resmi memimpin Sulut. Pasangan yang akrab disapa “SHS-Berhasil” ini, 20 September 2010 dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, atas nama Presiden melalui sidang paripurna istimewa DPRD.
Terlepas dari faktor keberhasilan SHS-Berhasil, saya ingin mencermati kelebihan seorang ”SHS” dalam memimpin Sulut. Daerah Sulut, memang mayoritas beragama Kristen, rinciannya adalah Protestan (65%), Islam (27%), Katolik (6%), Kong Hu Cu (1%), Buddha dan Hindu (1%).
Peta politik dan sosial-ekonomi Sulut hampir mirip dengan daerah lainnya. Orang Sulut banyak ditemui Sulawesi Tengah dan Maluku, propinsi tetangganya yang banyak warga penganut Kristen. Orang Sulut juga bisa dijumpai di kota Palu atau Poso, dua kota yang pernah dilanda konflik agama.
Lantas, apa yang menjadi ciri khas Sulut?
Bagi saya, Sulut adalah daerah yang mencirikan nilai Bhinneka Tunggal Ika. Di Sulut, sangat biasa ditemui ucapan Selamat Idul Fitri yang diucapkan orang Kristen, demikian juga sebaliknya. Di saat Lebaran misalnya, orang Kristen biasa bersilaturahmi ke rumah orang Islam, demikian juga saat Natal.
Untuk menu kuliner hajatan, sudah biasa disediakan dua jenis hidangan, yakni hidangan halal dan hidangan khas daerah. Tak ada sikap risih, ketika makan bersama. Malah, tak ada ucapan sinis, ketika seorang pindah agama.
So, benarkah tak ada masalah dalam kerukunan antar-umat beragama? Tentu ada. Tapi, semuanya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, minimal dilakukan oleh tokoh masyarakat dan pemuka agama. Warga Sulut memang berkharakter mudah menerima nilai. Segala sesuatu masalah dalam sebuah nilai, bisa dipecahkan secara kekeluargaan.
Inilah salah satu kelebihan Sulut. Siapa pun Gubernur yang terpilih, Sulut tak bergejolak. Semua orang mampu dan bersedia saling memaafkan. SHS yang pernah menjadi Gubernur Maluku dan Maluku Utara itu, bisa jadi telah lama memahami peta Sulut, sehingga dipercaya memimpin kedua kali.
Saya jadi teringat figur alm. KH Abdurrahman Wahid, saat menjadi Presiden RI. Gus Dur begitu dekat dengan kaum minoritas, bahkan melindungi kelompok ini dari sikap diskriminatif. Bukan saja melindungi, Gus Dur pun datang ke kelompok mayoritas, agar tetap bersikap toleran dan saling mengasihi sesama manusia.
Pernah suatu kali SHS bicara di hadapan umat Budha, "Mari kita jaga lingkungan, saling menghargai pluralisme, mengembangkan cinta kasih, saling tolong menolong serta senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa."
Sikap ini saya pikir, bukan semata-mata ucapan seorang SHS sebagai Gubernur. Ucapan tersebut mewakili aspirasi banyak anggota masyarakat. Selamat bertugas kembali, Pak Gubernur!