BAGI sebuah tim, tak ada istilah kekalahan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Yang ada adalah keberuntungan tim kampanye pada kandidat yang berhasil meraih hasil suara terbanyak. Tak dapat dipungkiri, seluruh tim kampanye dari masing-masing kandidat, telah bekerja keras dalam merebut simpati masyarakat menjelang Hari-H Pilkada.
Menjelang Pilkada di Manado Sulawesi Utara, pada 3 Agustus 2010, saya memberikan pressure kepada seluruh anggota tim kampanye. (Di Sulut, tim kampanye lebih familiar disebut tim sukses, yang disingkat menjadi TS.) Pressure seperti apa itu?
Pressure atau tekanan dari atasan kepada anak buah, adalah hal yang wajar dalam sebuah kegiatan usaha. Di dunia bisnis, seorang atasan harus memberikan arahan kepada bawahannya, dan demikian juga, bawahan tersebut memberikan arahan kepada anak buahnya. Isi dari arahan itu harus satu komando, dan tidak boleh diterjemahkan berbeda. Model kedisiplinan dan attitude (sikap dan perilaku) seperti ini, yang saya lakukan sejak saya menjadi kandidat, sekaligus menjadi pemegang kekuasaan tertinggi tim kampanye.
Dalam tugasnya, Sang Ketua yang memimpin tim kampanye harus mampu menerjemahkan instruksi dari saya, sekaligus bertukar pikiran tentang persoalan yang terjadi di lapangan. Mungkin itu hal yang tidak mudah bagi orang yang berkarakter pekerja biasa. Hal yang membedakan tim kampanye saya dan tim kampanye kandidat lainnya adalah tim kampanye saya harus mengikuti instruksi yang saya berikan. Sedangkan rapat yang digelar oleh Ketua Tim, lebih sebatas mengkomunikasikan cara dan sistem kerja dengan anggota tim teknis.
Namun berbeda dengan sebuah tim khusus yang bertugas merancang strategi kampanye dan lobi-lobi politik. Mereka saya persilakan mengeluarkan ide dan menguji ide tersebut dihadapan tim kampanye lain. Ide-ide inilah yang sangat menentukan kondisi terkini di lapangan. Jika ide tersebut sudah tak lagi up-date, maka harus ada ide cadangan dalam mengatasi hal itu. Maka tak heran, jika gerakan kampanye yang sudah direncanakan sehari sebelumnya, bisa berubah 180 derajat.
Guna menghindari miss-komunikasi, saya mewajibkan anggota tim mengaktifkan ponsel 24 jam. Minimal, komunikasi via pesan singkat SMS tetap berjalan, jika ada anggota yang istirahat. Sedangkan tim harian dibagi dua sift kerja, agar dapat mengatur waktu kerja, keluarga dan waktu istirahat.
Salah satu yang berkesan pada tim kampanye yang saya bentuk, yakni kekompakan di antara tim. Kebetulan, anggota tim adalah anak-anak muda, aktivis mahasiswa dan politisi partai yang berjiwa muda. Saya sangat bangga dengan mereka yang telah berjuang dengan gigih, hingga titik tenaga penghabisan. Saya salut dan menyampaikan rasa terima kasih atas pengorbanan yang diberikan.
Salam Kompasiana!