”Tabea, Selamat pagi,” begitu sapaan pertama petugas security setiap kali masuk pintu Hotel Aston Manado. Mereka juga bersikap ramah, ketika memeriksa tas bawaan di dekat alat metal detector. Dan biasanya, sesampai di meja resepsionis, sapaan serupa kembali diucapkan. Saya sempat heran, apa maksud karyawan hotel menyampaikan salam khas Minahasa tersebut.
Di meja resepsionis, saya berjumpa dengan gadis Minahasa bernama Liane Lantang. Kemudian, karyawan Hotel Aston ini bercerita, bahwa ‘tabea’ merupakan sebuah ‘salam pembuka’ yang ditujukan ke para tamu hotel. Yang saya tahu, ‘Tabea’ adalah bahasa Totemboan, salah satu dari sekian bahasa daerah di Minahasa. Saat ini, salam hangat itu digunakan sebagai icon salam pembuka, bagi setiap tamu yang datang.
Saya kagum dengan icon salam pembuka ini. Mungkin, ini bisa menjadi brand positif, dalam upaya merangsang tingkat hunian hotel. Tapi bagi saya, mempopulerkan bahasa daerah, meski hanya satu kata, sudah merupakan upaya melestarikan nilai-nilai budaya luhur.
Sejalan dengan era otonomi daerah, Minahasa telah berkembang, dan terbagi dalam beberapa kabupaten, yakni Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara dan Minahasa Selatan. Saya jadi ingat sewaktu masih kecil dulu, warga kampung Tareran Minahasa Selatan saling menyapa dengan mengucap ‘Tabea’. Salam ini begitu akrab dengan di telinga, apalagi disampaikan dengan senyum ramah.
Penduduk Sulawesi Utara terdiri atas tiga kelompok etnis utama, masing-masing Suku Minahasa, Suku Sangihe dan Talaud, dan Suku Bolaang Mongondow, Masing-masing kelompok etnis terbagi pula subetnis yang memiliki bahasa, tradisi dan norma-norma kemasyarakatan yang khas. Inilah yang membuat bahasa di provinsi itu terbagi dalam Bahasa Minahasa (Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Batik); Bahasa Sangihe Talaud (Sangie Besar, Siau, Talaud); dan Bahasa Bolaang Mongondow (Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang). Namun demikian, Bahasa Indonesia digunakan dan dimengerti dengan baik.
Ketika liburan Natal lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua di Desa Lansot Tareran Minahasa Selatan, ucapan salam serupa kembali terdengar. Inilah kebanggaan saya sebagai warga Sulut. Jika di Tanah Batak ada sapaan ‘Horas’, ternyata di daerah saya juga masih terpelihara sapaan ‘Tabea’.
Sambil menikmati sop buntut goreng di Cinammon Resto Aston, saya kembali disapa oleh seorang karyawan hotel. Namanya Priehadono Setiabudhi. Ia pun menyapa, ”Tabea, selamat pagi...” Jelas--A’a panggilan pria itu—bukan orang Minahasa. Tapi, ia menganggap sapaan itu memang cool untuk diucapkan, karena memiliki aura positif dalam berkomunikasi.
”Sop buntut gorengnya maknyos lho, tanpa MSG,” kata Assistant Food Beverage Manager itu, berpromosi. Lidah memang tak dapat berdusta. Cita rasa Indonesia memang kaya raya dan rasa. Ucapan salam pembuka yang selaras dengan hidangan Nusantara.
Salam Republik Kompasiana !