INI bukan fiksi. Ini cerita pengakuan dari perempuan muda, yang baru saya kenal, Mbak Yanti, di Plasa Ex Jakarta. Perempuan cantik ini mengaku kehilangan
Blackberry bold-nya, lantaran antri berdesak-desakan saat membeli ponsel merek Nexian dengan kartu Esia. Ternyata, Mbak Yanti adalah salah satu 'pengunjung dadakan' di Plasa Ex. Pertemuaan Mbak Yanti dan saya, terjadi ketika saya sedang menyantap makanan di restoran A&W. Kebetulan saat itu saya sedang haus, dan kepingin menghilangkan dahaga dengan rootbeer. Nah, di kursi makan itu saya bertemu Mbak Yanti yang sesegukan menahan tangis. "Kenapa Mbak?" spontan saya bertanya. Mbak Yanti kemudian bercerita. Ia mengaku bekerja di sebuah perusahaan swasta dan tinggal di kos-kosan di kawasan Depok. Hari ini, ia terpaksa berbohong ke atasannya, dengan alasan izin keperluan keluarga. Mbak Yanti merasa tergiur dengan promo iklan di Kompas, yang menyebut adanya launching Nexian-Esia, dengan harga Rp 99 ribu. Seratus ribu? Wah, hati saya tertawa karena kepingin ikut beli. Penjualan dengan harga khusus itu hanya berlaku hari ini. Saya terpaksa membatalkan niat saya antri, setelah melihat kerumunan orang yang tiba-tiba mendekat ke foodcourt, tempat kami santap siang. Dan tiba-tiba ada bunyi riuh di sebrang blok. Entah, itu mirip bunyi tong sampah yang terjatuh, dan diiringi suara ketakutan pengunjung wanita. Si Jose pun sempat ketakutan. Beruntung petugas keamanan dalam gedung langsung bertindak, dan membuat pagar betis. Rootbeer saya baru habis setengah gelas. Tapi saya memutuskan pulang, karena melihat ada kemungkinan suasana yang tak beres. Saya dan Jose bergegas ke bawah ke arah parkir mobil. Selama perjalanan melintasi lorong etalase, saya dapatati ketakutan para karyawannya. Hampir semua etalase memilih tutup, dan berjaga-jaga dibalik rolling door transparan. Sepertinya, beberapa saat yang lalu, baru saja ada kegaduhan di sini. Ratusan orang tampak hilir-mudik tak tentu arah, kemungkinan hanya mengikuti gerak arus massa yang terbanyak. Menjelang memasuki tangga darurat, saya menemui seorang perempuan tua yang pingsan, digotong oleh 4 orang patugas keamanan. Wajahnya pucat dan keringat membasahi keningnya. Saya dan Jose tiba di tempat parkir. Beruntung si Agus sopir saya, sudah stand by di depan mobil. "Aman kan, Pak? Saya baru aja baca beritanya, ricuh pak." tanya Agus. Ternyata si Agus saat itu lagi denger radio sambil baca
kompas.com. Ia sempat mengontak HP saya, tapi saya tak mengangkatnya. Mungkin saat saya dan Jose sedang berupaya menerobos kerumunan massa. Saat keluar dari Plasa Ex, saya masih melihat kerumunan orang di tempat parkir luar gedung. Di sana ada 2 mobil box yang disemuti oleh ratusan manusia. Mungkin jumlahnya mencapai 1.000 orang, dan ini belum termasuk di dalam gedung, tempat saya makan siang di footcourt. Saya jadi ingat cerita Mbak Yanti. Kasihan sekali ia harus kehilangan blackberry-nya hanya demi sebuah ponsel baru yang terbilang sangat murah. Mudah-mudahan ia sadar, bahwa taruhan nyawa lebih penting dari itu semua. Tapi yang jelas, bukan hanya buruknya budaya antri yang saya sorot. Anggap saja satu hari ini ponsel Nexian-Esia bisa terjual 1.000 unit senilai Rp 100 juta. Faktanya, dampak negatif yang diperoleh lebih besar dari itu, yakni banyaknya pengelola etalase yang menutup gerai lebih awal. Ini belum lagi nilai kerugian korban pengantri yang pingsan atau kecopetan. Dan lebih dari itu, kejadian ini adalah preseden buruk manajemen antrian, yang tak beda jauh dengan antri bantuan langsung tunai (BLT). Mudah-mudahan kejadian ini tak terulang lagi. Sekali lagi, tulisan ini bukan keluhan Mbak Yanti yang juga kepingin ponsel murah, tapi mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi untuk siapa pun, khususnya jika mengelola event besar yang menggunakan embel-embel budaya antri.
Salam Republik Kompasiana!
KEMBALI KE ARTIKEL