GELI rasanya membaca berita ini di kompas.com. Judulnya, "
Krisis Listrik, Instansi Pemerintah Harus Berhemat". Saya kok rasanya pesimis tindakan itu akan dilakukan, meskipun akan ada instruksi presiden (inpres) yang isinya meminta instansi pemerintahan melakukan penghematan. Lha wong gimana mau berhemat, jika aliran listrik lagi padam. Malah,
Pak Menakertrans aja pernah jadi korban pemadaman listrik. Saya berpikir, pemerintah saat ini terlalu naif menghadapi krisis listrik. Bagi saya, upaya penghematan dengan cara memadamkan sebagian aliran listrik yang dianggap tak perlu, sudah tak mampu dilakukan. Segala macam kampanye penghematan aliran listrik, tidak mungkin dilakukan secara seragam. Apalagi di sektor industri, kini terpaksa malakukan cara-cara khusus untuk menyiasati
jadwal pemadaman bergilir yang dilakukan oleh PT PLN. ** Dalam konteks ini, kita semua mungkin sepakat bahwa
energi listrik sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Contoh sederhananya, ya menulis di kompasiana ini, sudah barang tentu menggunakan komputer, laptop atau ponsel jenis tertentu. Sejak
saya pertama kali menulis di kompasiana dengan semangat anak muda yang menggebu-gebu pun, saat itu membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Mohon dimaafkan, jika saya masih rada gaptek dan orang baru di dunia blog. Jadi, saya belum bisa berhayal sambil menulis 1 judul di bawah satu jam. Lantas, apakah itu yang dinamai pemborosan energi listrik? Kembali ke soal rencana
Pemerintah untuk kembali mengeluarkan instruksi presiden. Meski instansi pemerintah melakukan penghematan listrik akibat kekurangan pasokan listrik di Indonesia, saya berpikir hal itu harus dijabarkan lebih rinci. Jangan sampai malah menurunkan kinerja pegawai negeri sipil, lantaran banyak komputer dimatikan hanya untuk menghemat aliran listrik. Apalagi, jika kantor-kantor kelurahan, imigrasi dan bea-cukai memadamkan komputernya, wah bisa-bisa antrian urusan birokrasi dan administrasi panjangnya sampai ke jalan raya. *** Nah, bagaimana menghemat listrik di kantor? Pertama, penghematan ditujukan pada perangkat elektronik yang tidak terlalu dibutuhkan. Misalnya mematikan sebagian besar penyejuk udara AC, dan kemudian menambah heksos di beberapa ruang tertutup. Heksos ini sudah saya coba gunakan di rumah, dan hasilnya cukup membuat udara segar. Dan, kini rumah kami terasa nyaman tanpa AC, terlebih saya sudah berhenti merokok. So, berhentilah merokok di dalam ruangan, karena asap rokok membuat kinerja AC lebih maksimal, sehingga memboroskan aliran listrik. Kedua, ubah kebiasaan dan (jika perlu) ganti alat elektronik yang menyedot banyak aliran listrik. Pompa air dan kompor listrik biasanya ada di kantor pemerintah. Nah, sudah saatnya menggunakan bak penampung, sehingga pompa air hanya dinyalakan pada pagi dan siang hari saja. Untuk kompor listrik, sudah saatnya di-museumkan, dan ganti ke kompor gas. Bagi yang biasa ngopi atau nge-teh, mbok ya hanya pagi saja. Beranikah aparatur pemerintah mengubah gaya hidup ini? Hmm... Dan ketiga, aksi-hemat listrik hanya bisa dilakukan dengan keteladanan pemimpin. Jika pemimpin di kantor-kantor pemerintahan malah cuek dengan inpres, ya jangan disalahkan anak buahnya yang boros menggunakan energi listrik. Ketiga hal di atas hanya sebagian kecil yang bisa jadi cara menghemat listrik di instansi pemerintahan. Apalagi kabarnya, gerakan ini juga dimotori oleh Gubernur DKI Jakarta Pak Foke, yang akan menerapkan
hemat listrik di kantor swasta dan pusat-pusat perbelanjaan. Sebagai rakyat jelata kita
hanya bisa nrimo saja atas kebijakan ini. Bisa juga
klik ini, untuk mengetahui tips-tips menghemat aliran listrik di rumah tanpa AC. Dan terakhir, jika kita sudah melakukan upaya-upaya menghemat listrik di saat krisis energi, maka tak salah jika bicara soal masa depan energi listrik di Tanah Air. Jadi, sebagai warga negara yang baik, adalah tanggung jawab siapapun untuk memberi kritik dan saran. Saat ini tak ada waktu untuk saling menyalahkan, siapa atau instansi mana yang menjadi penyebab krisis listrik. Saya sekarang sudah tak tega ngomel-ngomel lagi lewat hot line 123 PLN, karena sebenarnya inti masalah krisis ini ada di grand design kebijakan jangka panjang pemerintah. Jadi, penanganannya bukan hanya 5 tahun di pemerintahan saat ini, tapi harus lebih dari jangka waktu tersebut. [
jackson kumaat]
Salam Kompasiana!
KEMBALI KE ARTIKEL