Sebagai Orang Indonesia yang menjadi warga negara Amerika, telah mengabdi dan bekerja hampir 46 tahun di Indonesia, dan memberbuat sekuat tenaga demi kemajuan dan meningkatkan harkat dan martabat Indonesia. Saya ingin sekali menanggapi tulisan mas Irham Wp, dan Mas Faisal Basri dalam menuliskan mengenai pro dan kontra nya Rupiah, mata uang resmi Indonesia yang tercinta ini.
Tanggapan saya kepada ke dua Kompasioner, dan beberapa Kompasioner lainnya yang mencoba menulis dan memiliki interest terhadap kemajuan, dalam bidang ekonomi Indonesia bukan untuk membuat controversial, atau merendahkan pendapat dan keahlian mereka dalam mengamati, serta menganalisa apa yang terjadi, tetapi saya hanya ingin menuliskan apa yang dibicarakan, dan diskusikan dibalik pintu, dibalik pertemuan-pertemuan bilateral, multi nasional, dengan para bankers, investors, para ahli pembangunan, dan ahli ekonomi yang saya, secara prabadi mengenal dengan baik, dari pihak Negara-negara maju, khususnya dari Amerika Serikat.
Untuk itu saya akan membedah tulisan mas Irham Wp, dan mas Faisal Basri beberapa paragraph, dan kalimat yang saya anggap cliché, alias hanya mengikuti apa kata yang Formal, atau dalam istilah diplomatiknya, hanya sekedar being nice.
Apa yang dimaksud kata-kata atau pernyataan yang cliché dan being nice yang dilontarkan, di beritakan di media massa oleh para pengamat pasar, ahli ekonomi, dan pialang-pialang baik dari luar negeri, maupun dari dalam negeri?
Yaitu, kata Emerging Market, seperti pernyataan mas Irham Wp, dibawah ini; “Prediksi penulis karena faktor ekonomi global yang dampaknya masih akan menyelimuti perekonomian dunia, maka selain Rupiah beberapa negara emerging markets, mata uangnya juga akan melemah.”
Sejak 1971, kata ini selalu digunakan, sampai memuncak di tahun 1995an, dimana Negara-negara emerging markets, sampai disebut-sebut sebagai The New Asian Tigers.
Jika anda mengamati business news around the worlds, seperti Al Jazeera, CNN, CNBC, BBC-Business Reports, ABC-Business Reports, WN-Business Reports, dan pernyataan-pernyataan dari banyak pengamat Ekonomi di dunia, selalu menggunakan istilah ini, seolah-olah menjadi kata yang lumrah, dan less, dalam arti yang sebenarnya disebut sebagai Negara-negara less, alias Negara kere( dalam pandangan para pengamat yang memiliki penghasilan 100 kali lipat dari penghasilan pengamat yang ada di Indonesia, atau di Negara-negara yang berkembang).
Sedangkan New Zealand, Australia, Canada, Jepang, bahkan Saudi Arabia, tidak pernah dikatakan sebagai Negara-negara emerging market. Padahal perekonomian mereka dilakukan secara konservatif, justru terlihat stagnan. Hanya setelah munculnya raksasa China, Korea Selatan, dan Taiwan, mereka akhirnya terbangun untuk ikut mengejar ketinggalan dalam pembangunan Negara mereka.
Jadi secara jujur, kata Emerging market, melekat dan digunakan secara istilah yang melekat khususnya untuk Indonesia, adalah pernyataan bahwa Indonesia adalah Negara keok, alias Negara miskin.
Tentunya mas Irham Wp, tidak terasa mengikuti stereotype dengan menggunakan istilah ini, seperti istilah Negara-negara berkembang alias emerging market.
Sungguh lucu, mas Irham, memberikan pernyataan bahwa Akar dari Lemahnya Rupiah itu ada tiga. Seperti saya copas dibawah ini;
Pertama, keluarnya sebagian besar investasi portofolio asing dari Indonesia. Keluarnya investasi portofolio asing ini menurunkan nilai tukar Rupiah karena dalam proses ini investor asing menukar Rupiah dengan mata uang utama dunia, seperti Dolar AS untuk diputar dan di investasikan di negara lain.
Menurut saya, bahwa pernyataan ini mencoba menjelaskan seperti mencoba menjelaskan ayam atau telur yang dahulu berada.
Mengapa sebagian besar investasi portfolio asing keluar dari Indonesia?
Lucu sekali, jika alasan ini dijadikan sebagai penyebab pertama Rupiah melemah. Karena rupiah sudah lemah dari dulunya. Banyak pengamat ekonomi, missing the point, mengapa rupiah melemah. Alasan seperti diatas ini, tidak menjawab pertanyaan yang fundamental mengapa beberapa investor asing hanya menginvestasikan dananya di open market bond, and saham.
Jawaban yang sebenarnya menurut saya adalah Fundamental semua Negara yang maju, adalah Infrastruktur yang Modern, Kepastian Hukum Investasi yang Jelas, dan Bisa Dipercaya.
Contohnya, adalah seperti hari ini boleh investasi langsung, besok tidak boleh. Atau hari ini hanya penambang, besok harus menjadi penambang, dan pengolah hasil tambang, tetapi tidak bias menjual di pasar domestik. Lalu sudah disuruh mengolah, disuruh membuat pembangkit tenaga listrik sendiri, disuruh buat jalan sendiri, disuruh beli kapal pengangkut, disuruh membuat pelabuhan sendiri.
Dahulu, saya dan tim tidak hanya membangun semuanya, mulai dari jalur pengiriman exportnya, sampai ke hulunya, memang seperti mas Irham katakana itu gaya neoliberal. Tetapi pihak Indonesia, khususnya pemerintah Indonesia hanya mau terima mentahnya saja, lalu menggunakan tangan satu lagi, untuk menghujat upaya dan usaha pembangunan yang dibuat. Pemerintah Indonesia tidak mengeluarkan biaya sepeserpun. Hanya Modal tanah Negara, dan menunjuk itu Gunung siap di gali. Lalu ke gunung itu pakai apa? Kata pemerintah, pake uangmu sendiri, Pokoknya kami Minta Jatah, mulai dari ini dan itu, dan meminta anak-anak nya duduk di dalam perusahaan menerima kickback payment without doing anything.
Walaupun dengan perjanjian itupun, pihak saya, dan tim saya tetap setuju, karena saya tidak ingin melihat Indonesia seperti Mexico, atau lebih parah seperti Argentina, yang merasa diri mereka Kaya Raya, tetapi tidak pernah perduli kesejahteraan rakyatnya.
Padahal, Infrastruktur adalah memiliki tujuan mengangkat kesejahteraan rakyat, secara ekonomi, tentunya akan menguntungkan bukan saja pihak saya, tetapi seluruh rakyat Indonesia, dan seluruh dunia, karena rakyat Indonesia, semakin hari semakin bertambah, dan membutuhkan makanan, pendidikan, dan tempat tinggal, dan terutama Pekerjaan yang Memadai, which is Job that Pay their Bill. Bottom line GDP nya menjadi tinggi.
Kalau soal saham, bond market itu adalah hilirnya, bukan hulunya. Banyak para pengamat ekonomi, yang sekolah tinggi, seperti hidup di dunia yang berbeda. Pernyataan dan kritik ini pernah saya tayangkan didepan rapat para penasehat bapak Presiden Soeharto, Bapak Sri Sultan Hamengkoeboewono ke IX, dan didepan ahli ekonom handal seperti yang terhormat bapak Widjojo Nitisastro, dan bapak Soemitro Djojohadikoesoemo, mengenai Indosat, Pelucuran Satelit Palapa, kabel komunikasi bawah laut, Krakatau Steel, Bontang, Freeport, Pertamina, Pulau Button, PLN, dan infrastruktur jalur laut, darat, dan udara.
Jadi alasan mengenai QE dari pemerintah AS, adalah lagu-lagu yang digoreng, sebagai alasan dari para investors, hengkang dari Indonesia, and take their profit with them. Tetapi bagi, investor yang membangun Indonesia, secara nyata, dari hulu ke hilir, mereka justru tidak memiliki pemikiran seperti ini. Mereka adalah pekerja yang nyata, dan mencoba membangun secara nyata, bukan sekedar profit taking seperti alasan diatas.
Contohnya,
Astra International, Indo Mobil, Nissan Indonesia dengan perusahaan otomotif Jepang, Eropa, dan AS. Dan ratusan perusahaan asing yang bekerja sama dengan anak negeri membangun pabrik, finasial, asembli line, dan pertambangan di Indonesia.
Alasan Kedua, adalah faktor yang menyebabkan tingginya penawaran dan rendahnya permintaan atas Rupiah, adalah neraca perdagangan Indonesia yang defisit, ekspor lebih kecil daripada impor.
Alasan ini sangat cliché lagi.
Mengapa?
Jawaban nya sangat simple sekali. Alasan bisa saja terus dicari-cari. Padahal masalah yang sebenarnya adalah beberapa hutang swasta Indonesia jatuh tempo di tahun 2013.
Silahkan cari tahu, mengapa Bank Mutiara, Merpati Nusantara Airlines, beberapa perusahaan yang dipegang para politisi Indonesia memerlukan Bailout dari Pemerintah Indonesia?
Apakah perusahaan-perusahaan ini harus menunda, atau harus direkonsolidasi utang-utangnya, dalam istilah awamnya kicked cans down the road again?
Mengapa Menteri Keuangan dijadikan Gubernur BI?
Mengapa Indonesia masih terus mengimport Uang Rupiah?
Bagi pembaca yang budiman, silahkan riset sendiri untuk menjawab pertanyaan diatas. Jika saya menjelaskan secara detail, nanti anda akan tertidur atau mungkin akan masuk rumah sakit jiwa, atau masuk kubur.
Jawaban yang simple adalah Infrastruktur. Infrastruktur Informasi Superhighway, storage system, cloud system, security system yang Modern. Pengalaman saya mengenai proyek Palapa, yes….. Palapa adalah demikian, memudahkan transaksi baik antara depatemen, intra depatemen, dengan rekanan-rekanannya, komunikasi yang cepat dan tepat.
Proyek Palapa adalah mengurangi cash tramsaksi khususnya dalam departemen, dan pemerintahan, mulai dari pembayaran gaji pegawai, guru, dan rekanan diseluruh Indonesia. Sehingga peredaran uang Tunai bisa diawasi, dan dikendalikan. Yang paling penting sector perbankan khususnya BUMN bank, bisa dengan mudah melakukan transaksi intra-bank, antar bank, seperti yang dilakukan bank BNI 46, dan Bank BCA sebagai bank pelopor electronik transaksi.
Jadi Infrastruktur itu jawaban yang simplenya.
Lalu pasti ada yang bertanya mengapa tidak terlaksana dengan baik?
Oleh sebab itu akhirnya Orde Baru di runtuhkan dengan Hormat. Karena Gagal, membuat Badan Khusus yang Bergerak Above Politics, Nepotisme, Korupsi, dan SARA. Seperti China, Jepang, Taiwan, Korsel sekarang ini mengikuti gaya Amerika Serikat. Dimana Presiden, Perdana Menteri, atau para politikus, dan neoliberalisme investor, tidak dapat menyentuhnya. Badan Khususnya bisa terlihat dari kebijaksanaan pemerintah tidak bisa mempengaruhi Badan Khususnya.
Mengapa?
Because Presiden, atau perdana menteri tidak memiliki clearance dan wewenang untuk mengoveride atau melangkahi kebijaksanaan dari badan nasional ini. Di Indonesia, badan itu akhirnya berbicara, ingatkah para pembaca yang budiman apa yang dikatakan Alm Yang Terhormat Presiden Gus Dur? Dan mengapa presiden SBY hanya menjadi biduan saja?
Di AS, badan-badan seperti NSA, US Wealth Funds, Federal Reserve adalah Badan Nasional, dan masih ada beberapa badan lainnya, sangat independent.
Lalu pernyataan ini, highly dependent on import, membuat rupiah lemah. Tidaklah tepat. Karena akan keluar pertanyaan awalnya, WHY?
Sekali lagi Indonesia Memerlukan Infrastruktur.
Alasan Faktor ketiga, adalah faktor kultur bangsa kita yang bersifat konsumtif dan boros serta public policy terkait hutang. Karena pemerintah akan kesulitan berhutang didalam negeri, maka kekurangannya akan dilakukan dengan berhutang ke luar negeri.
Alasan ini Mengambang alias Ngawang-ngawang. Karena kenyataannya Indonesia adalah Negara yang sangat Konservative sekali dalam kebijaksanaan fiskalnya.
Oya?
Iya, coba lihat saja, APBNP Indonesia hanya 2,000 Triliun saja. Lebih dari 60 persenya hanya membiayai pegawai, dan pengeluaran pemerintah Pusat. Dari pengeluaran pemerintah pusat inilah yang banyak sekali tidak teralisasikan dalam bentuk nyata, karena memiliki mental koservative yang salah kaprah alias alon alon asal kelakon. Kata Terlambat, Kata Malas, Kata Part time, kata Sibuk main golf, jalan jalan keluar negeri.
Dan parahnya dari APBNP yang dipakai hanya sekitar 80 persennya.
Jadi jawabannya Infrastruktur. Kalau rakyat dari Sabang Sampai Merauke bertanya Mana Jalan Raya, Listrik, Gas, Jalur Laut, Pelabuhan, baik udara, dan laut yang Memadai?
Rekan-rekan saya dari pihak investor, bankers, ahli ekonomi, ahli pertambangan, ahli social, ahli infrastruktur, Masih Malu-Malu secara Gamblang mengatakan apa yang menjadi Kendala, mengapa pemerintah Indonesia, yang saya maksudkan pejabatnya2 dari dulu, seperti Bipolar, tangan kanan, dengan tangan kiri tidak singkron. Terlihat dari pernyataan-pernyataan yang suka saling kontradiksi, alias seperti berbicara dengan orang yang membutuhkan professional help, maybe need to go to sanotorium.
Contohnya, pernyataan Gubernur BI, bertentangan dengan pernyataan pejabat dibawah naungannya. Pernyataan Menteri BUMN, dengan Menteri Keuangan, dan gubernur BI. Pernyataan menteri Pertanian, dengan menteri Perdagangan. Pernyataan Ketua DPR, dengan Ketua Partai.
Penyataan Presiden SBY, sebagai presiden bertentangan dengan pernyataan SBY sebagai ketua partai Partai Demokrat. Pernyataan Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Dalam Negeri.
Di bilang Politik, justru semakin Bipolar, karena sulit mendengar Politisi ini bicara sebagai Anggota DPR, atau Monster, atau Setan, atau Koruptor, atau Kiai, atau Profesor, Ahli Nujum, atau rakyat?
Kesimpulan saya, seperti saya katakana kepada para ekonom wahid Indonesia dulu, Indonesia harus Membangun Infrastruktur. Belajarlah dari Negara-negara maju, dan kini belajarlah dari China.
Mengenai Utang, Jawabannya adalah Bukan Berapa Utang Anda, Tetapi Bagaimana Anda Memiliki Utang Bisa Secara Disiplin, dan Dipercaya Membayar Obligasi pembayaran cicilan Utang Anda.
Utang adalah Kepercayaan. Contohnya Merpati Yang Bogus, sampai Kalau Beli Avetur dari Pertamina, HARUS Bayar Cash.
Jika anda Hanya memiliki Kartu Nama, Bukan Kartu Kredit, bisa Membeli Apapun yang anda Inginkan, itu baru Namanya Memiliki Kredit Rating Yang Dipercaya.
Bagaimana China bisa bangkit dari Komunis, menjadi Negara maju, tidak seperti Rusia?
1. Listen dari Negara-negara yang maju bagaimana membangun Infrastruktur yang Modern.
2. By pass HongKong.
3. Bangun Infrastruktur secara Masif. Seperti Dam, jalan raya, pelabuhan laut, dan udara.
4. Persiapkan Lahan Internasional Area khusus perusahaan investor asing.
5. Pride About Your Heritage. Know where came from, help you go to where're you want to go.
Jadi Jujurnya banyak rekan-rekan saya yang sangat berpengalaman, mengatakan Rupiah is Worthless, without Modern Infrastructure.
Salam Indonesia
Jack Soetopo