Kali ini saya tidak tahan untuk menulis tanggapan dari Kompasioner terkenal ini...yang berjudul "Gugatan Pilpres ke MK: Sejatinya Pelajaran Berdemokrasi." Karena menulis seolah-olah perlajaran berdemokrasi itu yang semau edelnya saja.
Dengan gaya bak wartawan kelas duniaya, Ira Oemar mencoba menggiring lagi publik kepada narasi yang sudah kedaluwarsa alias ketinggalan jaman.
Mengapa demikian?
Ira Oemar menggunakan alasan-alasan di pemilu lalu, yang jatuh nya dengan persoalan yang sama atau itu itu saja.
Padahal jika ini menjadi pelajaran berdemokrasi, tidak akan terulang dalam pemilu 2014. Lalu mengapa pihaknya yang diam-diam didukung, sekarang menjustifikasi bahwa ini adalah pelajaran yang bagus.
Jawaban saya, justru demikian,
'Fool me once, shame on you, Fool me Twice, shame on me.' Nah kini 'Fool me third times, shame on who?'.
Kalau kata kasarnya, jawaban 'Fool me third times, shame on your mamma.' Tetapi artinya sangat kasar sekali bukan.
Lalu ini pemikiran dari Ira Oemar sebagai pembela, saksi, penasehat, capres nomor 1. Entah dia katakan dimuka umum atau tidak. Itu hak nya sendiri, kan itu hak asasi dirinya. Tetapi menulis opini yang menggiring, kepada narasi, bahwa menggugat ke MK sebagai pelajaran itu sangat bagus. Artinya secara jujur, dia memberikan jawaban atas pernyataan saya diatas... yaitu 'Fool me third times, shame on who?'
Saya jadi teringat, pernyataan dan tanggapan saat itu, Ahok sebagai anggota DPR dalam rapat dengan Baswalu, dan KPU, mengenai kasus ada beberapa warga yang merasa hak pilihnya sebagai WNI di larang.
Sebagai, kebijaksanaan kali ini, Bawaslu dan KPU, menerbitkan DPKTb, dan kebijaksanaan yang ada lainnya. Gunanya pelajaran dari 2 pemilu yang lalu. Itupun sebenarnya diakui oleh pihak yang menggugat di MK. Istilahnya gaya orang barat itu disfranchisement voters. Oleh sebab itu dilakukan kebijkasanaan DPKTb yang biasa disebut absentee ballot.
Jadi mencegah adanya kecurangan yang masif.
Dan juga pihak pemerintah sebagai penyelenggara sudah mengsukseskan di pemilihan Caleg. Dimana Pihak Koalisi 1 diuntungkan. Dan mereka tidak marah, dan mengajukan gugatan ke MK. Padahal dalam pengamatan saya, banyak daerah-daerah yang menggunakan cara yang tidak benar. Khususnya di Banten, Sumbar, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Tetapi secara keseluruhan tidak ada satupun partai yang mengajukan gugatan ke MK soal pelaksanaan pemilihan umum calon legislatif ini.
Dan ini dari pihak pengamat yang sudah memiliki jaringan yang sangat luas sedunia, apalagi di Indonesia, dimana saya bisa memonitor jalannya pemilu di Indonesia dimana saja. Untuk caranya saya tidak akan diskusikan disini. Karena itu kekuatan saya dan keperkasaan pihak saya selama ini.
Lalu pelajaran berdemokrasi mana yang diajarkan dari pasangan nomor 1 yang dibela-bela oleh Ira Oemar ini?
Nah, ini yang saya sebut, 'What you said will used against you in the court of law.' Dimana saya mencoba frase dari Miranda Law di AS.
Penggiringan narasi ini sungguh lucu berkesan, Ira Oemar sendirilah yang tebang pilih alias pilan plan. Karena dia itu bagian dari tim sukses capres nomor 1. Menunjukan kesimpulan bahkan saya tidak menuduh lagi tetapi mengatakan jelas, bahwa Ira Oemar seperti orang yang sudah Pintar tidak ajak, malah membodohkan orang lain, sudah bodoh tidak mau ikut,' mengutip kata-kata Ahok.
Apakah pernyataan saya untuk menjelekan dirinya?
Jawaban saya, "Tidak sama ssekali, karena saya menggunakan pernyataan dan sikap dirinya melawan dirinya sendiri di depan umum. Untuk menunjukan kemunafiqun dan kepura-puraan tidak tahu soal politik. Jadi saya tidak mencoba memfitnah beliau sama sekali. Hanya saya memberikan penjelasan kepada khalayak umum, bahwa banyak orang yang pandai suka sekali mencoba menggiring opinii sesat kepada umum, supaya menarik simpati atas langkah2 yang dia dan kawan-kawan nya ambil.
Jadi apakah salah?
Tentu saja tidak salah sama sekali.
Justru menjadi pelajaran buat umum, memang manusia manusia di Indonesia, maupun di dunia ada dan selalu akan ada yang seperti ini.
Tugas saya selama ini adalah memberikan imbangan dan penjelasan kepada umum, bahwa kita tidak akan selalu duduk selevel, bahkan sejajar dalam pemikiran. Karena faktor keberpihakan (bias) yang ada, entah itu sudah terima duit yang nikmatz, atau agenda2 pribadi seperti SARA, dan kenimatan hidup lainnya.
Alasan lainnya, adalah bahwa banyak generasi muda yang sudah mengikuti gaya yang sama. Mencoba bermain politik gaya seperti ini.
Oleh sebab itu, seperti generasi muda, seperti Ahok katakan, 'Akan kita adu, mana yang lebih kuat.' Seperti dalam kampanye, pilgub dimana Jokowi dan Ahok ditertawakan ketika memberikan penjelasan seperti akan membuat Indonesia baru, dan ternyata Jokowi dan Ahok menang, perlahan-lahan terlihat sekali apa yang dikatakan, dilakukan oleh mereka berdua.
Tidak ada dari pihak pilpres koalisi 1 yang mencoba menggugat ke MK saat itu.
Keseluruhan, kesimpulan saya. Gugutan pilpres kali ini yang dilakukan Capres Koalisi nomor 1 pelajaran untuk semua pihak jangan menghitung telur, sebelum ayam nya bertelur, dan ini bisa leboh jelas akan dibagi dalam beberapa fase, salah satunya adalah
1. Kemalasan dari para saksi yang ada di tingkat TPU didaerah-daerah.
Mengapa?
Pelajaran pertama. Politik adalah lokal.
Jadi jalankan tugas menjadi saksi.
Pelajaran kedua. Tanda tangan itu mengikat.
Jadi serius, kalau sudah tanda tangan, jangan mencoba menarik justru teliti sebelum tanda tangan.
Pelajaran ketiga. Jika sudah hari H nya semua harus sudah siap.
Jadi siap untuk mengawasi, siap untuk membuat bantahan. Tidak lagi beropini. Karena inii bukan Kompasiana lagi.
Pelajaran ke empat. Persiapan Mental.
Jadi kalau kalah menangnya itu sudah harus diputuskan saat perhitungan suara. Jangan beropini dan berfantasi serta fiksi ria lagi. Kereta sudah sampai ke Jakarta, baru menggugat. Itu namanya Malas.
2. Kemalasan tim sukses yang menggugat di pusat khususnya di Polonia.
Karena mereka duduk manis saja, berpesta pora dan berkampanye fitnah. Menghitung bahwa dengan koalisi besar mereka akan dapat 60juta pemilih. Padahal Pemilihan Caleg itu berbeda dengan pemilihan Capres.
Ini menjadi pelajaran fatal,
1.Contohnya saja Partai Demokrat yang kehilangan puluhan kursi di Caleg. Partai PKS yang kembali melempem dan menuju ke status yang sama sepuluh tahun yang lalu.
2. Persepsi masyarakat yang sudah maju karena informasi yang lancar selama ini.
3. Persepsi masyarakat yang melihat tidak ada kemajuan yang berarti secara infrastruktur di daerah-daerah.
4. Enegi yang dilakukan Jokowi dan Ahok, dimana partai Gerindra justru memetik buahnya dengan kemenangan Jokowi dan Ahok menjadi Gubernur DKI Jaya. Dan terus menerus membangun Jakarta.
5. Kecerobohan membiarkan isu2 fitnah merambah justru membuat efek 'Membangunkan Silent Majority'.
6. Kalkulasi yang salah dan fatal, tidak memperkirakan fitnah2 ini justru akan membuat Wanita Indonesia yang sselama ini sebagai silent majority akan bangki, dan menuntuk hak pilihnya.
7. Kalkulasi yang salah dan fatal, menganggap golput yang selama ini duduk manis seperti tukang2 becak, tukang tahu, tukang ojek, dan rakyat akhirnya bangkit menuntut hak pilihnya/
8. 'You can fool people, but you can not fool people all the time". Jadi gaya kampanye Fitnah, dan Busuk memang akan menjadikan banyak orang jadi apatis. Tetapi membodohkan orang dengan fitnah, akhirnya membuat orang mengertahui bahwa anda bukan seorang pemimpin yang diinginkan. Rakyat menolak.(Mayoritas) Bahkan yang tadinya memilih anda akan menjadi kecewa berat. Seperti kasus PKS, PD yang akhirnya di hukum oleh pemilihnya sendiri.
9. Menggugat ke MK adalah strategi yang salah kaprah. Jika diawal nya seperti di TPU sudah diselesaikan dengan jeli dan cermat oleh pihak capres nomor 1.
10. Mengakumulasi persoalan dengan cara mencopas gugatan dari pemilu yang lalu.Justru menunjukan ketidak ada pengertian yang nyata terhadap demokrasi yang ada. Padahal contoh selama kunker ke luar negeri sudah ada.
Saya secara pribadi tidak akan mengajarkan para pecundang seperti capres nomor 1 ini karena
1. Arogansi.
2. Gloth.
3. Korup.
4. Tamak.
Untuk ini saya tutup dengan good note, bahwa ini adalah pernyataan pribadi saya, dan memberikan penjelasan kepada umum, bahwa kita kini hidup di persimpangan jalan, dimana para pengikut status quo, dan para pengikut perubah Indonesia menjadi NII, akan selalu ada, dan terus bertarung dengan para pembela Pancasila, dan NKRI ini.
Seperti Ahok katakan," Saya bukan Setia kepada Konstituen, tetapi kepada Konstitusi, setelah saya di sumpah menjadi pejabat negara ini."
Dan Selamat kepada Wanita Indonesia yang telah bangkit dari kediaman selama ini. Menunjukan mereka bahwa Wanita adalah bagian yang sangat penting dalam demokrasi Indonesia. Baik sebagai lawan seperti Ira Oemar, maupun seperti wanita-wanita Indonesia, lainnya.
Itulah demokrasi Indonesia yang menuju kepada kedewasaan dalam memberikan opini.
Salam Tukang Becak Di Persimpangan
Jack Soetopo