Sambil menggeleng-gelengkan kepala, kang Tamidjo menggerakkan kain lap ditangannya. Ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah lalu berputar-putar tak beraturan. Sesekali kain lap tipis yang semakin tipis karena teramat seringnya dipakai itu dicelupkannya kedalam bak berisi air, diperas untuk kemudian diserahkan kembali kepada “nasibnya”, dicengkeram oleh tangannya yang halusnya seperti kulit jerut purut itu dan diputar-putar mengelap mobil satu-satunya milik Ndoro kesayangannya.