Ketika seseorang melanjutkan pendidikan ke fakultas kedokteran maka dia akan mempelajari Ilmu Kesehatan Individu dan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Ilmu Kesehatan Individu meliputi Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Penyakit Syaraf, Ilmu Kedokteran Kejiwaan, Ilmu Penyakit Mata, Ilmu Penyakit Telinga dan Tenggorokan, Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Ilmu Anestesi dan Reanimasi, Ilmu Bedah, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, dan lain-lain. Dengan bekal Ilmu Kesehatan Individu itulah seorang dokter mampu melakukan analisa terhadap gejala yang dialami oleh seseorang sampai akhirnya ditemukan sebuah diagnosa penyakit yang akan menjadi dasar pemberian terapi atau pengobatan.
Disamping Ilmu Kesehatan Individu ada lagi yang tidak kalah penting yaitu Ilmu Kesehatan Masyarakat. Dari Ilmu Kesehatan Masyarakat seorang calon dokter bisa mempelajari kecenderungan penyakit yang terjadi dalam masyarakat tertentu sesuai gaya hidup, latar belakang sosial ekonomi dan juga bisa menentukan sebuah penyakit akan berkembang menjadi wabah atau tidak. Di dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat seorang calon dokter harus mempelajari tentang epidemiologi penyakit, statistik, ilmu gizi, ilmu kesehatan lingkungan, dan sebagainya.
Apakah cukup sampai disitu ? Belum. Seorang dokter disamping mempunyai keilmuan yang cukup masih dituntut untuk trampil dalam mengaplikasikan ilmunya. Trampil dalam menganalisa sampai melakukan tindakan yang diperlukan, baik untuk menegakkan diagnosa ataupun untuk pengobatan. Selain trampil dalam menangani pasien secara individu, seorang dokter juga dituntut untuk trampil dalam kehidupan bermasyarakat.
Proses untuk menjadi seorang dokter sangat menyita waktu, biaya dan tenaga. Minimal 6 tahun baru bisa mendapat gelar dokter. Saya tidak akan membahas tentang bagaimana prosesnya, yang jelas membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Lebih lengkap tentang jurusan dan biaya untuk sekolah di kedokteran, pembaca bisa langsung lihat di http://www.pmdk.unair.ac.id/2011/psmd. Itu belum termasuk biaya hidup, kerja praktek di masyarakat, buku dan lain-lain.
Disini, saya hanya ingin menyampaikan pendapat bahwa pengobatan gratis bukanlah tanggung jawab dokter. Seperti tulisan saya terdahulu bahwa Tidak Ada Profesi Mulia, disitu saya sampaikan bahwa kemuliaan sebuah profesi adalah terletak pada sang profesionalnya, bukan pada profesinya. Apapun profesinya dan apapun tugas yang diembannya.
Mengapa saya katakan dokter tidak bertanggung jawab terhadap pengobatan gratis ? Karena seharusnya tanggung jawab itu terletak pada pemerintah. Jika pemerintah bisa memberikan Jaminan Pelayanan Kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat maka masalah yang berkaitan dengan pengobatan gratis, terutama untuk masyarakat miskin, mungkin tidak akan muncul.
Saat ini sebenarnya sudah ada Jaminan Pelayanan Kesehatan ( JPK ) resmi yang disediakan oleh pemerintah antara lain ASKES untuk PNS dan JAMKESMAS untuk masyarakat miskin. Kepemilikan dan penggunaan masing-masing JPK tersebut mempunyai syarat dan prosedur tertentu. Mempunyai alur pelayanan yang berjenjang sesuai kewenangan dan fasilitas yang disediakan. Mulai dari penentuan sasaran JPK oleh Badan Penyelenggara ( Bapel ), Pusat Pelayanan KesehatanTingkat Pertama ( PPK I ), Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua ( PPK II ).
Memang masih ada banyak kendala dalam pelaksanaannya. Dan jika melihat alur pelayanan yang meliputi Badan Pelaksana ( BaPel ) dan Pusat Pelayanan Kesehatan ( PPK), itu artinya kendala yang muncul juga tidak bisa dilepaskan dari kedua unsur itu. Bukan hanya dari sisi pelaksana pelayanan kesehatan saja, tetapi juga dari sisi pemilik JPK itu sendiri.
Pelayanan ASKES bagi PNS dikelola oleh Bapel PT Askes Indonesia. Dalam pelaksanaannya juga tidak bisa dikatakan tanpa masalah. Apalagi JAMKESMAS.
JAMKESMAS sempat beberapa saat dikelola oleh PT Askes Indonesia dan muncul dengan memakai istilah ASKESKIN, tapi sekarang sudah tidak lagi dikelola PT Askes Indonesia dan kembali dikelola oleh Depkes dengan nama JAMKESMAS.
Beberapa kendala yang banyak dan sering terjadi dalam pelaksanaan JAMKESMAS, antara lain :
1.Tidak tepat sasaran.
Banyak warga miskin yang ternyata tidak memiliki kartu JAMKESMAS. Biasanya mereka adalah penduduk nomaden yang tidak tercakup dalam daftar penduduk di wilayah setempat. Atau bisa juga penduduk yang tuna wisma alias tidak mempunyai tempat tinggal. Disinilah sebenarnya peran Dinas Sosial, tapi seringkali peran itu kurang atau tidak tampak sama sekali. Padahal sudah tercantum dalam UUD 1945 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Tapi, disamping itu sering juga ditemukan pasien yang mendadak miskin setelah dinyatakan oleh PPK I ( Puskesmas ) bahwa penyakit yang dideritanya memerlukan pengobatan di rumah sakit, entah untuk dilakukan tindakan, rawat inap atau sekedar rawat jalan.
Penentuan sasaran JAMKESMAS mempunyai kriteria tertentu. Ada team penilai dari desa atau kelurahan yang menentukan nilai dan hasil akhir apakah seorang kepala keluarga beserta anggota keluarganya berhak mendapat kartu JAMKESMAS atau tidak. Setiap beberapa tahun sekali dilakukan validasi data, tentunya dengan harapan semakin berkurang jumlah rakyat miskin, tapi ternyata selalu semakin bertambah, bahkan ada yang hampir seluruh kepala keluarga dalam satu desa didaftarkan miskin.
2.Tidak lengkap administrasi
Banyak warga miskin yang tidak memiliki identitas diri seperti KTP dan Kartu Keluarga. Padahal, kedua identitas itu adalah salah satu syarat mutlak yang harus disertakan disamping kartu peserta JAMKESMAS. Mereka beralasan kesulitan mengurus. Entah sulit beneran atau memang tidak mau sulit ( tidak mau berusaha, red. ).
Perlengkapan administrasi yang tidak dapat dilengkapi dalam kurun waktu tertentu bisa menyebabkan hambatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. Hambatan terbesar adalah tidak dapatnya PPK I dan atau PPK II untuk mengajukan klaim atas pelayanan kesehatan yang sudah diberikan kepada BaPel. Hasil akhirnya PPK akan kesulitan mengatur sistem keuangannya.
Sistem keuangan yang lancar adalah syarat mutlak keberlangsungan sistem pelayanan kesehatan oleh PPK. Coba bayangkan darimana PPK ( puskesmas dan atau rumah sakit ) membayar biaya listrik, telpon, air, obat-obatan yang disediakan untuk pasien, makan pasien, dan lain-lain. Juga perlu diketahui bahwa PPK adalah salah satu asset pemerintah dalam pemasukan anggaran ( APBD ) dengan kata lain PPK ditarget retribusi untuk disetorkan ke daerah.
Mungkin ada yang beranggapan kalau ditunjukkan kartu dari awal tidak akan dilayani. Kekhawatiran itu mungkin benar terjadi di beberapa tempat, tapi tidak di semua tempat. Yang perlu diingat, JAMKESMAS tidak berlaku di rumah sakit swasta. Ini yang sering tidak dipahami oleh pemegang kartu JAMKESMAS.
3.Alur pelayanan belum berjalan dengan baik
Pelayanan pada tingkat PPK II atau rumah sakit bisa dilayani tanpa rujukan jika dalam kondisi gawat darurat. Selain itu harus melalui PPK I terlebih dahulu yaitu puskesmas. Tapi, yang sering terjadi adalah pasien langsung datang ke rumah sakit tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu ke puskesmas. Yang sering terjadi juga, beberapa oknum perangkat desa memaksakan kehendak untuk mendapatkan rujukan bagi warganya meski sebenarnya warga tersebut tidak termasuk dalam daftar rakyat miskin. Ketika akhirnya terjadi kesalahpahaman selalu dokter yang jadi sasaran, dianggap tidak bersedia memberikan pelayanan kepada rakyat miskin.
4.Kurangnya tenaga medis.
Bisa dikatakan tenaga medis di Indonesia masih jauh dari cukup. Terutama di daerah-daerah yang terpencil. Pelaksanaan Wajib Kerja Sarjana yang hanya diwajibkan untuk dokter tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, terutama pembangunan dalam bidang pendidikan.
Sebenarnya tidak ada ketetapan berapa jumlah maksimal yang bisa dilayani oleh sebuah instansi pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan atau rumah sakit, tetapi setiap instansi pelayanan memiliki jumlah kapasitas maksimum tertentu dalam pelayanan, termasuk jumlah tempat tidur, jenis dan jumlah obat-obatan, tak terkecuali jumlah tenaga pelaksana pelayanan.
5.Kurangnya tenaga ahli di daerah
Setiap manusia mempunyai tahapan perkembangan dalam hidupnya, tak terkecuali dokter. Kendala yang cukup besar dirasakan dokter ketika harus bertugas di daerah adalah kurang meratanya pembangunan terutama dalam bidang pendidikan, sehingga akses pendidikan yang cukup baik untuk anak-anaknya sulit untuk dijangkau. Jadi tidak bisa disalahkan jika mereka memilih untuk menetap di daerah dimana akses pendidikan yang baik bisa dijangkau ketika mereka sudah berkeluarga. Jika di kota besar masih banyak sekolah yang tidak layak untuk dijadikan tempat pembelajaran, di daerah, khususnya terpencil, sangat jauh lebih banyak.
Tidak banyak daerah yang bersedia menyekolahkan tenaga dokternya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat ahli atau spesialis. Justru ada beberapa daerah yang menghalang-halangi niat tenaga dokter di daerah untuk sekolah lagi meskipun dengan biaya sendiri.
Mungkin masih banyak lagi kendala dalam pelaksanaan jaminan pelayanan kesehatan untuk rakyat miskin. Yang perlu digarisbawahi disini adalah bahwa pengobatan gratis untuk rakyat miskin bukanlah tanggung jawab dokter. Semua berjalan di dalam sebuah sistem dari sebuah negara, yaitu sistem pelayanan kesehatan. Tentunya pelaksanaan sistem itu tidak bisa terlepas dari sistem pemerintahan dalam negara itu sendiri.
Dokter hanyalah salah satu dari sekian banyak profesi yang menjalankan tugas dan kewajibannya dalam sebuah negara. Kalaupun ada beberapa yang terlihat tidak berpihak kepada rakyat miskin, itu hanya beberapa dari sekian banyak dokter. Saya yakin dokter yang baik sangat sangat sangat jauh lebih banyak, hanya saja mereka bukanlah orang yang ingin tampil dengan jas putihnya. Artinya, mereka melakukan kebaikan sebisa mungkin tanpa sepengetahuan orang lain. Bukankah dikatakan berikanlah sedekah dengan tangan kananmu sedangkan tangan kirimu tidak mengetahuinya ?
Tulisan yang lain :
Tidak Ada Profesi Yang Mulia