Master Plan
Aku tak tahu mengapa belakangan aku tak lagi bisa menulis cerita yang mendayu-sendu. Biasanya, seperti yang aku tahu, aku akan menulis cerita romantis. Cerita romantis yang perjalanannya penuh tangis.
Aku bahkan masih mempunyai hutang dengan satu orang teman dan seorang seniorku terkait cerita romantis. Aku.. belakangan belum mampu meneruskannya.
Ah, mengapa begini?
Mbak Rini, bisakah kau membantuku bercerita? Kau tahu, terkait perasaan satu itu, aku tak pandai bicara.
Mungkin selama ini aku terlalu banyak bicara dan menilai perjalanan cinta orang lain. Sehingga, ketika lambat laun kenyataan itu harus kujalani sendiri, aku tersadar bahwa sensasinya begitu luar biasa! Aku menjadi sangat sibuk karena cinta. Ah, bukan. Karena perjalanan cintaku sendiri.
Subhanallah...
Beginikah rasanya cinta? Duhai Allah, bisakah aku mengendalikannya?
Sebatas pengetahuanku, aku harus bisa mengendalikan perasaan satu ini, karena salah langkah bisa saja membawa penyesalan, bisa saja menambah beban, bisa saja mengundang kekecewaan. Akan tetapi, jika langkah yang kuambil adalah benar, tentu saja menambah kebahagiaan, bukan?
Beranikah aku mengambil risikonya, atau aku akan diam saja seperti diriku biasanya dan menunda kedatangannya? Dia dengan huruf d kecil.
Allah...
Aku sedang bicara tentang sebuah rencana. Rencana besar yang tak mampu kubangun sendirian. Rencana yang memang harus aku bagi bersamanya. Ini terkait dengan bagi-bagi tanggung jawab. Menikah bagiku bukanlah menjadi impian untuk mendapatkan hidup lebih nyaman, tapi sebuah perjananan kenaikan tingkat. Tentang kesiapan untuk belajar bersama, berbagi makanan sepiring berdua, membesarkan anak-anak bersama.
Sudah luluskah aku di tahap yang sekarang, untuk kemudian naik tingkat menuju kesana?
Allah...
Aku harus menyusun lagi perencanaan-perencanaan itu. Aku.. aku tidak sedang bicara soal siapa yang lebih dewasa, siapa yang lebih pintar, atau siapa yang lebih kaya. Aku ingin bicara soal keinginan untuk belajar bersama.
Allah... aku ingin menyusun rencana besar itu dengannya. Aku ingin masuk dalam perencanaan hidupnya, kemudian menyelipkan rencana-rencana kecilku di dalamnya.
Aku tak menginginkan banyak hal. Aku hanya ingin belajar bersama. Aku ingin dia menghargai keinginanku untuk selalu belajar agar kami berdua bisa bersama-sama menemukan-Mu. Dia yang mencintai anak-anak (yang mungkin mengizinkanku untuk dekat dengan anak-anak kurang beruntung yang lain) dan tidak membagi dirinya dengan wanita lain.
Allah... bisakah aku mulai menyusun perencanaan itu sekarang? Atau Engkau masih menginginkanku untuk belajar lagi?
Allah.. bagaimana cara meyakinkanku bahwa aku mampu membuat rencana besar itu bersamanya? Sudah pantaskah aku? Sudah pantas kah waktuku? Atau aku terlalu terburu-buru?
Aku mencari jawabannya di setiap doa malamku, ya Allah. Berharap Engkau membisikkan jawaban terbaikMu.