Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Maaf, Aku Merokok Malam Ini

30 Maret 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 275 0
“Aku tak kan pernah merokok”, begitulah sumpahku dalam hati–setidaknya hingga beberapa menit yang lalu.

Waktu itu, menakjubkan pikirku bagaimana ketika semua orang tahu bahwa sebuah batang nikotin yang terbakar dapat memenuhi rabu dengan asap dan racun, mereka tetap menikmatinya. Menarik pikirku ketika semua orang yang menghisap batang itu tahu bahwa dengan menghisapnya membuat orang yang membencinya  pun menghirup asapnya, tapi orang-orang itu tetap melakukannya. Lucu melihat bagaimana orang-orang itu berkata ’sayang’ kepada manusia tersayangnya sembari menghisap rokok yang dibakar. Cara menyayangi mereka dengan membunuh pelan-pelan. Unik sekali, bukan?

“Daripada gak merokok lebih baik gak makan”, seorang kawan pernah berkata. Tangannya sedari tadi sibuk mencari lighter yang ternyata lupa dibawanya. Sebatang rokok yang telah dikeluarkan dari bungkusnya pun ia simpan kembali dalam saku bajunya. Ia gelisah tak  bisa meracun. Aku hanya tersenyum.

Kali lain, seorang teman yang baru putus cinta memutuskan untuk kembali bercinta dengan rokok setelah sekian lama berpisah. Tubuhnya yang sekal terlihat tidak cocok–setidaknya buatku–dengan sebatang rokok di tangannya. Kami sedang duduk di bangku taman sore itu, ditemani embusan angin berkisah tentang teman kami yang sedang dibuat tersipu oleh cinta. Ia minta izin untuk merokok  padaku dan kuperbolehkan, toh itu pilihannya dan kuanggap ia sudah dewasa. Tanpa banyak waktu ia nyalakan satu batang, bibirnya menghisap pelan sembari berdesis seolah menemukan kenikmatan di dalamnya. Embusan pertama, asapnya sedikit. Embusan kedua, asap tertiup angin sedikit-sedikit. Embusan ketiga, air mataku turun rintik-rintik.

Mereka selalu berkata bahwa dengan mengepul masalah mereka jadi lebih baik, atau setidaknya merasa lebih baik dengan masalah mereka. Benar semudah itukah masalah pergi? Benar semudah itukah memperbaiki rasa? Aku masih tak mengerti, kupikir itu hanya sugesti.

Mereka tak sadar betapa khawatirnya aku melihat mereka–orang tersayangku–bergumul dengan racun berasap itu. Mereka tak tahu bahwa setiap aku melihat mereka melakukan itu aku selalu merasa gagal untuk membuat mereka mencintai diri mereka sendiri. Aku gagal sebagai seorang anak, teman, atau sahabat atau kasih. Pun mereka tidak sadar betapa jengkelnya aku ketika mereka berkata “ini hakku untuk merokok” , mereka lupa bahwa aku juga punya hak untuk menghirup udara bersih. Lagipula udara tanpa asap rokok pun sudah kotor, kenapa memperparah? kenapa membuatku menghirup racunnya juga? kenapa dan kenapa lainnya yang jika kutanyakan hanya akan berjawab “yaelaah”.

**

Cuaca hari ini tak begitu bersahabat, awan tampak mendung. Ia seperti suasana dalam ruang ini, murung. Hanya aku dan dia yang tersisa dalam ruang yang sempit ini. Ia bersender ke dinding merah jambu itu seraya kaki kirinya menyilang menindih kanannya. Tak jauh di depannya secangkir kopi hitam  menanti diseruput. Ia iri karena sedari tadi orang itu lebih memilih mengepul dengan sahabatnya yang lain daripada dirinya–rokok. Setelah menghela napas panjang, ia menghisap rokok itu, sayup terdengar suara abu terbakar. Bibirnya setengah terbuka ketika ia menikmati aliran asap yang melewati giginya. Matanya memejam.

” Aku pergi. Agaknya memang  lebih baik tanpaku”, ujarnya.

Aku menelan ludah. Ia menghisap rokok dalam-dalam.

“Hari ini aku pusing, setelah percakapan kita pagi tadi. Aku terus-menerus memikirkan itu hingga sore hari. Dan sudah kuputuskan aku akan pergi”

Hah, kau tak tahu saja bagaimana aku menangis menyesali perkataanku  setelah percakapan kita tadi pagi. Kau tak tahu, tentu saja, sebab aku hanya berani ucap dalam hati. Matanya membuka, tatapannya terlihat menerawang. Ia menghisap lagi. Sudah setengah habis. Ia mampirkan rokoknya ke asbak, buang abu.

“Perkataanmu benar. Keadaan sudah berbeda dan itu semua karenaku. Kebertahananku untuk tetap di sisimu hanya akan membawa dampak buruk buatmu”

Luar biasa, sekarang kau sudah tahu masa depan rupanya. Kalimat itu hampir kukeluarkan namun entah kekuatan apa yang membuatnya tercekat di tenggorokan. Suaranya terdengar berat, seperti memikul beban tak terkira. Rokoknya jadi pertanda. Ini sudah yang kedua.

“Kau terdengar sangat kesepian” adalah kalimat pertama yang berhasil kuucap  setelah hening yang cukup lama hingga membuatnya menikmati rokok yang ketiga.

Ia menarik napas dalam. Pun aku. Rokok di tangannya sudah hampir habis. Ia terlihat berpikir, sepertinya hendak menemukan kata-kata yang pas untuk menghujamku. Seolah-olah semua asap rokok di ruang ini belum mampu membuatku sesak.

“Ya, aku memang kesepian. Tapi aku ahli dalam berdamai dengan kesepian. Kau pun akan baik-baik saja, aku yakin. Lagipula kita tetap berteman.”

Aku seakan lupa bagaimana caranya bicara malam itu. Sepanjang percakapan ia seperti sedang bermonolog. Aku penontonnya. Aku sampai berpikir rokoknya itulah penolongnya dalam mengeluarkan kata-kata secara lancar. Sedangkan sesakku oleh asap rokoknya hanya berhasil membuat kata-kataku tercekat meski sebenarnya banyak kata yang ingin kumuntah. Sial. Aku tak ingin dia pergi. Kalaupun ada satu keadaan yang menguntungkan dari situasi ini, itu hanyalah ketika asap rokok yang mengepul itu membuat mataku yang memerah menahan tangis seakan perih karena asap.

“Baiklah, kalau begitu. Aku pulang. Sampai jumpa?”

Intonasiku menggantung, aku berharap jawaban. Tapi yang kudapat hanya sebuah kalimat yang membuat rasaku makin campur aduk tak karuan.

“Tentu kita ‘kan jumpa lagi, Arimbi, setelah aku berhasil menemukan Tuhan”

***

“Aku tak ‘kan pernah merokok”, begitulah sumpahku yang tertanam sekian lama dalam hati– setidaknya hingga beberapa menit yang lalu sebelum aku berdiri di titik antara menunggu atau pergi . Maaf, aku merokok malam ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun