Ya, akhirnya begitulah saya memandang Kompasiana. Banyak jebakan fatamorgana bagi para musafir yang tengah melintas. Selalu waspada dan jangan gampang percaya.
Kadang ada yang menulis reportase mengharu biru, ternyata hoax. Ada yang menjadi terkaporit, eh ternyata kontroversial. Untungnya, di Kompasiana, ketika banyak yang terjebak, muncul Kompasianer yang dengan kerelaan hati memandu rekan-rekannya kembali kejalur yang tepat. Kadang para pemandu ini menjadi pesakitan - dianggap sirik. Namun seperti kata pepatah, kebenaran pada akhirnya selalu tersingkap.
Dibanding sisi negatifnya, saya menemukan lebih banyak hal positif di Kompasiana. Ini menjadikan saya tetap setia menjadi Kompasianer dan rajin membaca aneka tulisan kawan-kawan Kompasianer lainnya.
Sempat ada kawan yang sudah sangat muak dengan kondisi Kompasiana akhir-akhir ini dan mengajak "pensiun" dari Kompasiana. Ajakan yang sempat hendak saya iyakan, tapi kemudian saya tolak. Masa sih karena nila setitik, saya kehilangan tempat belajar menulis. Kalau ada yang sesuka hatinya, dengan argumentasi ini dunia maya, kemudian membuat tulisan tanpa rasa tanggung jawab dan etika - kok saya yang mengalah. Boleh dong saya juga ikut menulis sesuka hati saya dan semoga tetap dengan bertanggung jawab dan beretika.
Kalau sedang kesal bermain di Kompasiana, saya biasanya memilih mendengarkan musik. Salah satu favorit saya adalah Tong Kosong milik Slank, yang sering mengingatkan kalau saya itu kadang seperti tong kosong. Kebanyakan komentar dan melarang. Hehehe
"...Hak manusia untuk bicara,
Hak manusia untuk bernyanyi
Kalau sumbang janganlah didengarkan
Kalau merdu ikutlah bernyanyi
Jangan ngelarang-larang.
Jangan banyak komentar
Apalagi menghina...."
(Tong Kosong by Slank)