Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Syair Pengakuan Dosa Abu Nawas Meluluhkan Hati Imam Syafi'i

11 Juli 2023   00:00 Diperbarui: 11 Juli 2023   06:32 1227 3
Mendengar nama Abu Nawas mengingatkan kita pada Kisah Seribu Satu Malam yang sangat terkenal di dunia sastra, yang tinggal di bawah kekuasaan Khalifah Harun Al Rashid di Baghdad, yang merupakan bagian dari kekhalifahan Abbasiyah pada masa itu.

Abu Nawas digambarkan sebagai tokoh yang lucu, cerdas,   banyak akal,  dan licik. Dia menggunakan kecerdasannya untuk menyampaikan pesan-pesan moral atau mengkritik kekuasaan, kebijaksanaan atau kritik sosial dengan gaya yang konyol dan menghibur.

Akan tetapi ada perdebatan diantara para sejarawan dan peneliti apakah Abu Nawas adalah tokoh nyata ataukah fiktif.

Bagaimana sebenarnya kisah tentang Abu Nawas ini ? Mari kita simak ulasannya.

Menurut catatan sejarah, Abu Nawas atau Abu Nuwas memiliki nama asli Abu Ali Al HAsan Ibn HAni Al Hakami yang hidup pada abad ke-8 Masehi.  Lahir pada tahun 145 H atau 747 M di kota Ahvaz, Persia (Iran). Ayahnya berdarah Arab sedangkan ibunya berdarah Persia.

Dalam perjalanan hidup berikutnya, Abu Nawas ditinggal oleh sang ayah menghadap Ilahi, sehingga dia tumbuh sebagai anak yatim. Oleh ibunya, Abu Nawas kecil dibawa ke kota Basra, Irak. Di sana dia mulai memperdalam ilmu agama Islam seperti Al Qur'an dan hadits serta sastra yang kemudian melambungkan namanya.

Abu Nawas belajar sastra Arab kepada Abu Zaid al Anshari dan Abu Ubaidah. Belajar ilmu tentang Al Qur'an kepada Ya'qub Al Hadrami, dan belajar hadist kepada  Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Said al Qattan dan Azhar bin Sa'ad as Samman.

Dari sekian banyak tokoh sufi, Abu Nawas merupakan salah satu sufi yang paling terkenal. Bukan hanya karena syair dan puisi yang diciptakannya tetapi juga karena perangainya yang nyentrik. Selain itu dia juga seorang filsuf dan jester (penghibur istana) yang dikenal karena kecerdasan dan satirnya.

Masa muda Abu Nawas penuh perilaku kontroversi, gemar melakukan maksiat. Memang pencapaiannya dalam menulis puisi diilhami oleh kegemarannya dalam bermaksiat itu. Akan tetapi justru di jalan gelap itulah Abu Nawas menemukan nilai-nilai ketuhanan.

Ternyata Abu Nawas hidup sejaman dengan Imam Syafi'I. Di akhir hidupnya, saat kematiannya disampaikan kepada Imam Syafi'I, bagaimanakah reaksi Imam Syafi'I ? Beliau hampir tidak mau mensholatkannya karena tahu bagaimana kehidupan Abu Nawas di masa mudanya yang suka mabuk-mabukan, gemar melakukan maksiat.

Singkat cerita, orang yang memandikan jenazah Abu Nawas menemukan sebuah tulisan di bawah bantalnya. Tulisan itu merupakan syair yang ditulis oleh Abu Nawas.

"Ilaahi lastu lil firdausi ahlaan.
Walaa aqwaa 'ala naaril jahiimi.  
Fahabli taubatan waghfir dzunuubii fainnaka ghaafirudzdzanbil 'adziimi.
Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali fahabli taubatan yaa dzal jalaali.
Wa 'umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzanbii zaaidun kaifah timaali.
Ilaahi 'abdukal 'aashii ataaka muqirran bidzunuubi wa qad da'aaka.
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka."

"Wahai Tuhanku, hamba tak pantas menjadi penghuni surga.
Namun hamba pun tak sanggup menjadi penghuni neraka.
Terimalah taubat hamba dan ampunilah dosa-dosa hamba. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun atas segala dosa yang hamb perbuat.
Dosa-dosa hamba bagaikan tumpukan pasir. Terimalah taubat hamba, wahai Yang Maha Mulia.
Sementara umur hamba kian hari kian berkurang. Dan dosa hamba kian bertambah, bagaimana mungkin hamba mampu memikulnya.
Wahai Tuhanku, hambaMu yang penuh dengan dosa ini, kini menghadapMu memohon ampunan. JIka Engkau mengampuni, pantaslah karena Engkau Maha Pengampun. Namun jika Engkau menolak permohonan hamba, kepada siapa lagi hamba berharap selain Engkau."

Syair tersebut sampai sekarang menjadi salah satu karya yang terkenal dari Abu Nawas yang dikenal dengan Al I'tiraf yang artinya pengakuan dosa. Syair ini berisi tentang ekspresi penyesalan seorang hamba yang menyesali dosa-dosanya dan mengharapkan ampunan Allah Subhanahu wata'ala.

Diceritakan, setelah mengetahui isi dari syair tersebut, maka Imam Syafi'I pun berkenan mensholatkan jenazah Abu Nawas. Dalam vesi lain, Imam Syafi'I mengantarkan sampai ke pemakaman dan mendoakannya.

Hikmah atau ibrah dari kisah ini adalah bahwa kita tidak boleh menghakimi orang dengan hanya melihat masa lalunya yang mungkin bergelimang dosa. Karena kita tidak tahu bahwa ternyata orang itu sudah bertaubat kepada Allah Subhanahu wata'ala.

Saat melihat ada orang yang melakukan dosa atau berbuat maksiat sebaiknya jangan dicela, tapi didoakan. Bisa jadi dari doa-doa yang dilantunkan menembus langit sehingga mengubah orang tersebut untuk mendapatkan hidayah.


Semoga bermanfaat.

Dari berbagai sumber.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun