Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Buaya Buntung dan Banjir yang Tak Berujung

4 Februari 2014   11:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 418 0
Menonton banjir di Kampung Melayu lewat tivi, membuat bulu kuduk saya merinding. Ada kesedihan berbalut kenangan melihat riak air berwarna kecoklatan menggenang hingga ke Mester, Jatinegara. Banjir sepertinya sudah menjadi bagian dari kehidupan warga Jakarta. Sejak zaman Benyamin Suwaib sampai era Ariel Noah, warga Jakarta kerap ketiban sial limpahan hujan dari Bogor. Karena secara geografis posisi Jakarta berada di hilir.
Waktu kecil, saya pernah tinggal di bantaran Sungai Ciliwung, tepatnya di Kampung Tanah Rendah, Jatinegara, Jakarta Timur. Rumah orangtua saya persis berada di pinggir Kali Ciliwung, sekitar 50 meter tepatnya.
Kalau sekarang, warga bisa tahu banjir kiriman dari Bogor akan menerjang wilayahnya, sangatlah mudah. Karena teknologi informasi semakin berkembang pesat. Akses informasi terkait curah hujan dan ketinggian air di hulu sungai Ciliwung bisa diketahui dengan cepat. Sehingga tentunya warga bisa melakukan antisipasi dengan cara mengevakuasi barang berharga dan keluarganya ke tempat yang aman.
Kalau dulu, zaman saya masih kecil, banjir datang tiba-tiba, meskipun langit di atas rumah cerah dan tidak ada hujan. Biasanya cara masyarakat bantaran Sungai Ciliwung di daerah saya tinggal, untuk mengetahui akan datangnya banjir dengan pergi ke atap rumah, dan melihat apakah langit di arah selatan atau Bogor dalam keadaan menghitam. Karena memang akses informasi tidak semudah sekarang. Di mana televisi nasional saling berlomba menginformasikan prakiraan cuaca dan ketinggian air di Bogor atau Depok, ketika hujan deras mengguyur Jabodetabek. Pokoknya saat itu, banjir kiriman itu serupa hantu bergigi taring yang bisa menghisap darah manusia kapanpun dia mau.
Kalau dulu, waktu saya masih tinggal di bantaran Kali Ciliwung, salah satu cara lain untuk mengetahui akan datangnya banjir kiriman, biasanya warga bantaran Ciliwung melihat isyarat dari ikan di sekitar bantaran sungai Ciliwung. Masyarakat bantaran Ciliwung biasa menyebutnya ikan mabok. Biasanya kalau akan datang banjir kiriman, ikan-ikan pada menepi dan melompat-lompat di atas air. Ikan-ikan itu sangat mudah ditangkap, tidak seperti biasanya. Jika fenomena ikan mabok muncul, biasanya warga langsung berkemas-kemas mengevakuasi barang dan keluarganya ke bioskop Nusantara, Mester. Benar saja, tidak lama kemudian banjir datang.
Menurut kepercayaan orangtua saat itu, fenomena ikan mabok terjadi karena munculnya seekor buaya yang buntut ekornya buntung. Masyarakat sekitar bantaran Ciliwung menyebutnya Buaya Buntung. Konon Buaya Buntung tersebut muncul ke permukaan untuk memberitahu warga bahwa akan ada banjir kiriman. Keberadaan Buaya Buntung itulah yang membuat ikan melompat-lompat ke atas permukaan air dan banyak menepi.
Menurut cerita orangtua di bantaran sungai Ciliwung, Buaya Buntung itu ditemukan oleh salah satu sesepuh warga bantaran Ciliwung. Saat ditemukan, buaya tersebut masih kecil dan dalam kondisi sakit parah mengalami infeksi. Kemudian oleh sesepuh, buaya itu dirawat dan dipelihara, lalu buntutnya terpaksa dipotong agar infeksi tidak menjalar ke tubuh buaya itu. lalu setelah dewasa, buaya buntung itu dilepas ke Ciliwung. Sekian lama buaya itu lenyap, dan selalu muncul ketika akan datang banjir kiriman. Menurut cerita versi orangtua lainnya, Buaya Buntung merupakan hewan peliharaan Pitung, pendekar terkenal di Betawi. Namun saat ini, kisah kepahlawanan Buaya Buntung sudah tidak lagi terdengar. Tapi bagi warga yang pernah tinggal di Bantaran Ciliwung sekitar era 80-an, pasti mengenal legenda Buaya Buntung tersebut.

Normalisasi Sungai
Jauh setelah legenda Buaya buntung lenyap, seiring dengan perkembangan sosial, politik juga pesatnya teknologi informasi, semua pejabat pemerintah meributkan solusi banjir di Jakarta. Karena memang bagaimanapun, Jakarta adalah wajah bangsa, di mana berdiri pusat ibukota negara. Tentu ketika ibukota tenggelam, mau taruh di mana wajah bangsa ini. Kira-kira begitulah gambarannya mengapa kemudian Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sibuk mencari solusi yang tepat untuk menangani banjir di Jakarta.
Sejumlah wacana solusi banjir mengemuka, mulai dari menormalisasi sungai, penertiban villa di Puncak Bogor yang menghancurkan daerah resapan air, membangun bendungan hingga sodetan Ciliwung-Cisadane.
Untuk wacana sodetan sepertinya tidak mungkin dilakukan, meski memang sangat efektif untuk mengurangi air kiriman dari Bogor ke Jakarta. Tapi kelemahannya akan memindahkan banjir Jakarta ke Tangerang. Sehingga tidak heran setelah wacana sodetan berkembang, warga Tangerang kompak menolaknya. Bahkan saat Jokowi blusukan melihat langsung debit air sungai Cisadane disambut dengan maraknya spanduk penolakan sodetan se-Tangerang Raya.
Hasil peninjauan langsung sungai Cisadane, akhirnya semua pihak sepakat untuk menangani banjir, salah satu cara yang bijak adalah melakukan normalisasi sungai. Mulai dari sungai Cisadane, Ciliwung, Cidurian, Ciujung, dan sejumlah kali yang melintas di wilayah Jabodetabek.
Di sisi lain, normalisasi sungai tidak semudah abrakadabra pesulap-pesulap di layar kaca. Sekali mengibas-ngibas tangan simsalabim, selesai perkara. Normalisasi sungai juga terkendala oleh beberapa hal. Salah satunya pembebasan lahan warga yang mendiami bantaran sungai. Pasalnya, warga memiliki sertifikat tanah yang resmi secara hukum. Belum lagi ada saja oknum yang meninggikan NJOP, sehingga otomatis anggaran pembebasan lahan menjadi naik. Meskipun memang kalau mau ditelusuri lahan yang ditempatinya itu adalah lahan milik negara. Pada posisi inilah persoalan banjir seperti benang kusut yang sulit diurai. Pemkot Tangerang saja menyiapkan ratusan miliar untuk pembebasan lahan guna normalisasi Kali Angke. Kemungkinan besar biaya pembebasan lahan bisa mencapai triliunan, jika semua kali dan sungai yang melintasi Jabodetabek.
Selain persoalan administrasi pertanahan yang semrawut di bantaran sungai, ada lagi persoalan kultur masyarakat bantaran sungai yang enggan pindah. Di Kota Tangerang saja, Pemkot Tangerang menyediakan rumah susun untuk warga bantaran sungai yang kerap diterjang banjir, tapi tawaran itu tidak ditanggapi serius oleh warga.
Setahu saya, warga bantaran sungai itu sudah sangat betah dengan kehidupan bermasyarakat yang terbangun bertahun-tahun. Di Tanah Rendah, Jatinegara misalnya, warga sudah menempati bantaran sungai lebih dari setengah abad. Bukan saja beranak pinak, tapi sudah bercicit-cicit. Dalam satu kampung di bantaran sungai itu, satu sama lain bertalian darah. Sehingga bantaran sungai sudah menjadi kampung halaman yang sulit rasanya ditinggalkan, meskipun mendapat fasilitas lengkap untuk tinggal di tempat yang baru.
Pada posisi inilah, diperlukan solusi yang bijak untuk membujuk warga agar bisa pindah dari bantaran sungai, sehingga proses normalisasi sungai dapat berjalan lancar. Mungkin salah satu caranya adalah mengumpulkan warga bantaran sungai untuk bermusyawarah menjelaskan program normalisasi secara lengkap dan detil, termasuk risiko terberat yang akan dihadapi warga nanti. Jika tahapan itu tidak bisa ditempuh, maka air akan terus mengalir tak berujung. (**)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun